"Antares, masihkah di sana?"

110 5 2
                                    

Stasiun Hineno pada tengah malam di awal musim panas tampak lengang, seiring kereta yang baru tiba membukakan pintu bagi beberapa pasang kaki yang melenggang santai menuju peron. Angin malam bertiup teduh memainkan tiap helai bulu mata, seolah mengajak sang empunya untuk berpetak-umpet dengan kantuk.

Leo Park baru saja mengakhiri konser bersama The Rose di Osaka, konser terakhir dalam rangkaian Japan Tour mereka. Konser itu ditutup meriah. Riuh rendah tepukan penggemar mereka di antara alunan melodi She's In The Rain beberapa jam lalu hingga kini masih akrab menyapa saraf pendengarannya.

Ia memutuskan berjalan-jalan sendiri, berpisah dengan rekan-rekan satu grupnya yang masih ingin menikmati suasana hingar-bingar di sekitar Universal Citywalk, mengitari Osaka di malam hari dengan menaiki taksi dari Konohana hingga turun di depan Stasiun Osaka, mengikuti nalurinya--yang sebenarnya buta peta--menekan mesin tiket di Stasiun Osaka dengan asal, lalu menaiki kereta apa saja yang berhenti di hadapannya, yang pertama kali dijumpainya di depan peron. Kereta itu membawanya singgah dari stasiun ke stasiun, hingga di Stasiun Hineno inilah ia kembali mengikuti nalurinya untuk turun.

Keluar dari bangunan stasiun, ia disambut nyala jidouhanbaiki yang tampak seperti kelap-kelip neon di tengah pekatnya malam jelang dini hari. Mesin penjual otomatis itu mengeluarkan sekaleng minuman setelah ia memasukkan sekeping pecahan lima puluh yen dan menekan tombol yang tersedia. Ia mereguk koucha itu pelan, merasakan sejuknya air teh segar mengaliri tenggorokannya yang semula gersang bak dihantam kemarau sepanjang tahun.

Camellia. Nama itu tiba-tiba terlintas di otaknya, saat ia tidak sengaja membaca label komposisi di balik kemasan kaleng minuman tersebut. Daun teh hijau, Camellia sinensis. Ia kembali mereguk koucha di genggamannya, merasakan bagaimana kesejukan yang ditimbulkannya bertambah sambil ia mengingat rupa nama itu, merapal sudut demi sudut wajah cantik itu dengan segenap sel-sel otaknya, yang beruntungnya dapat diajak bekerjasama.

Camellia. Ah, sudah lama ia tidak berjumpa teman masa sekolahnya ketika di Selandia Baru itu. Gadis impiannya sejak pertama kali ia mengenal cinta, yang padanya pula tak sempat diungkapkannya sepatah rasa. Gadis itu bagai lenyap tiba-tiba terhapus hujan, sebelum ia sempat mengutarakan isi hati terjujur yang selama ini dipendamnya, dan hanya hidup dalam kenangannya hingga detik ini.

Leo merekam Lia--sapaan akrab gadis itu--dalam banyak hal. Lukisan, minuman kesukaan, hingga bait lirik sarat pesan yang tak tersampaikan. Lia yang pergi tanpa jejak di suatu hari berhujan, berdasawarsa silam. Lia yang selalu dibayangkannya setiap kali ia menghubungkan garis-garis khayal di antara bintang-bintang yang menyusun rasi. Lia, sang Antares yang di matanya tampak paling terang dari seantero galaksi.

In my memory
your traces spread
as if the rain has soaked them up

I lose track of where to go
in your tears
of frozen reality

Lirik She's In The Rain yang ditulisnya bersama anggota The Rose yang lain--Sammy, Dylan, dan Jeff--kembali terngiang-ngiang dalam benaknya. Seketika rindu menari-menari di pelupuk matanya. Ia tidak merasakan kantuk sedikitpun. Kafein dari Camellia memang selalu ampuh membuatnya terjaga, menstimulasi neuron-neuronnya untuk terus berkreasi, ibarat sosok dewi-dewi Musai dalam mitologi Yunani yang senantiasa memberi inspirasi.

You used to be my muse, Lia.

No.
You still are.

Leo mengagumi Lia lewat cara gadis itu berpuisi maupun bercerita, merangkai aksara baik dengan pena maupun tinta maya. Sudah tak terhitung entah berapa kali dalam sehari Leo menyambangi alamat blog gadis yang dipujanya dalam diam itu, membaca baris sajak dan prosa yang ditulis gadis itu dalam laman demi laman buku harian daringnya. Ia selalu penasaran dengan tokoh Aldebaran yang dikisahkan gadis itu dalam cerita berseri karangannya: Aldebaran dan Antares, di Antara Dua Rasi.

Di Antara Dua RasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang