"Aku mungkin bukan Alpha Tauri yang kaucari"

74 4 0
                                    

Dengan menulis ini, mungkin aku benar-benar tak tahu diri.

Camellia, selamat malam, petang, siang, pagi. Entahlah, yang jelas rotasi Bumi terasa tak sama lagi semenjak kau pergi.

Lia, dari kasak-kusuk yang kudengar belakangan ini, aku memang mendengar kau akan pindah. Tetapi, lagi-lagi gagal dan selalu gagal kuberanikan diri untuk bertanya langsung padamu, ke mana kau akan menuju.

Lia, kau tahu alasan mengapa aku menyukai teh? Kandungan kafein pada teh selalu mengingatkanku padamu. Satu sisi, kau membuatku fokus dan terjaga. Tetapi di sisi lain, kau membuat jantungku terus berdebar keras tanpa jeda.

Selama ini aku lelah menyembunyikan pura-pura tak ada rasa. Bagaimana bisa, sementara sejak pertama kali kudengar suara tepuk tanganmu menyapa telingaku, saat itu pula aku sudah langsung jatuh hati padamu.

Tapi aku merasa tak cukup pantas diri.

Bahkan untuk menyebut namamu saja, Lia, masih membuatku gugup hingga detik ini.

Membaca puisi dan cerita-ceritamu, aku yakin kau sudah menyukai dan menemukan orang lain yang lebih pantas. Yang pandai, yang pemberani, yang mampu menaklukkan seisi galaksi.

Maka dari itu, meski aku mungkin bukan sosok Aldebaran yang kau dambakan, meski aku mungkin bukan Alpha Tauri yang kaucari, ingin rasanya sekali saja aku memberanikan diri untuk mengutarakan ini.

Lia, aku menyerah untuk menebak siapa Aldebaran dan siapa Antares dalam ceritamu. Terlepas dari siapapun itu, semoga kalian bahagia selalu.

Lia, selamat tinggal. Aku menyukaimu.

p.s. Aku menulis tentangmu di sini, lewat lirik dan melodi. Meski sederhana, kuharap kau berkenan mendengarkannya barang sekali saja.

p.p.s. Jika aku sudah bisa menggelar konser betulan suatu hari nanti, kuharap aku bisa mendengar kembali suara tepuk tanganmu di antara riuh-rendah penonton, meski rasanya semustahil aku bisa menemukan Antares di antara miliaran isi galaksi.

*

'Prokk prokk prokk...' Camellia bertepuk tangan dramatis, kali ini dengan lelehan air mata yang entah mengapa bergulir begitu saja hingga membasahi secarik kertas yang memang sudah tampak remuk di hampir seluruh bagiannya itu. Mungkin dulu sempat terguyur hujan, atau memang sudah kodratnya lekang tergerus zaman.

Yang terpenting, tulisan tangan khas Leo belia, dan perasaan yang ternyata sudah dipupuk Leo untuknya sejak lama, masih sangat jelas untuk dibaca.

"Kasetnya hilang," Leo menggaruk tengkuk dengan nada menyesal. Penyesalan yang sama yang selalu menghantuinya berdasawarsa ini.

Ingatan pria itu kembali ditarik ke masa sekolahnya silam, pada suatu hari ketika Camellia berpamitan dengan teman-teman sekolahnya terkait rencana kepindahannya. Leo, yang duduk di kelas berbeda, masih tampak sibuk sendiri mengaduk-aduk isi tas sekolahnya, mencari hadiah kenang-kenangan yang telah dipersiapkannya sepenuh hati. Namun nihil, kaset mungil berisi rekaman lagu pertama ciptaannya untuk Camellia tersebut sama sekali tidak ditemukannya. Bahkan surat berisi ungkapan perasaan yang ditulisnya semalam suntuk pun, turut tak bisa ia jumpai wujudnya.

Apa mungkin tertinggal di rumah?

"Le, ayo kumpul di lapangan!" teriak seorang teman.

Acara perpisahan sederhana di lapangan sepakbola itu--Camellia sengaja memilih tempatnya di sana dengan harapan ia bisa menjumpai sosok sang kapten tim sepakbola--rupanya tidak berlangsung lama. Kedua orang tua Camellia sudah menunggu untuk menjemputnya. Di satu sisi, sang putri dengan bola matanya yang sedari tadi tidak bisa fokus, berpendar kesana kemari mencari sosok yang dinanti-nanti, terpaksa menelan rasa kecewa karena bahkan untuk yang terakhir kalinya pun Leo tidak mau menemuinya.

Di Antara Dua RasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang