Susahnya Menjadi Ren

71 5 6
                                    

Pemuda bermata sayu itu menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. Ia melipat tangannya, menekuk wajahnya, dan menghembuskan napas kesal. Sekali dua kali ia menggembungkan pipinya. Beberapa saat kemudian pintu depan terbuka dan kakak dari pemuda tadi melangkah masuk sembari mengucapkan ‘tadaima’. Melihat adiknya yang duduk di sofa ruang tamu dan tidak menjawab ‘okaeri’, pemuda itu menghentikan langkah.

“Kamu kenapa, Kaito?”

Yang ditanyai menoleh dan memandang kakaknya yang berusia satu tahun lebih tua darinya.

“Sho-nii.” Jawab Kaito singkat. Mendengar jawaban Kaito, Ren memutar bola matanya.

“Kenapa sama Sho-niichan?” Ren menatap Kaito dengan malas. Ia tidak mengerti kenapa Sho dan Kaito seringkali bertengkar.

“Es krim yang kubeli dengan uang tabunganku dimakan!” Adu Kaito dengan berteriak. Wajah pemuda kelas 3 SMP itu terlihat kesal.

“Yang katamu mahal itu? Ya sudah, nanti kakak belikan.”

“Beneran? Uwa! Terima kasih, Ren-nii!” Kaito berteriak gembira. Ia lalu bangkit dan berlari memeluk kakaknya. Ia tidak melihat bahwa Ren kini tengah sibuk memijat pelipisnya.

************************

Ren menumpuk beberapa buku di atas meja di atas meja lalu mengenakan ikat kepala. Dua hari lagi ia akan mengikuti ujian sekolah dan ia ingin mempertahankan posisinya sebagai juara kelas. Setelah meraut pensilnya, pemuda elegan tersebut duduk di depan meja dan mulai berkonsentrasi.

Srak… Srak…

Ren sontak mendongak. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri karena mendengar suara aneh. Tapi karena tidak melihat siapa pun, Ren kembali menunduk dan berusaha berkonsentrasi pada buku sejarahnya.

Srak… Ctek

Seketika ruangan menjadi terang benderang. Ren sontak menegakkan tubuhnya dan menoleh ke belakang. Di sana ia mendapati Sho tengah bermain playstation dengan televisi di kamarnya dan Kaito.

Niichan ngapain di sini?” Tanya Ren terkejut. Sho menoleh tanpa benar-benar mengalihkan perhatiannya dari permainan.

“Televisi di kamarku rusak. Aku pinjam.”

“Tapi niichan─” Belum sempat Ren menyelesaikan keluhannya, Sho memasang kabel headphone ke televisi lalu memakainya sehingga suara Ren tidak mencapai gendang telinganya.

Sekali lagi, Ren memijat pelipisnya.

************************

Sho, Ren, dan Kaito berkumpul di ujung koridor. Ibu mereka berdiri sembari menepuk-nepuk rok panjang yang dipakainya, mencoba membersihkannya dari debu. Setelah meraih tas yang lumayan besar yang berada di samping rak sepatu, ibu mereka berbalik menatap ketiga anaknya.

“Mungkin ibu akan menginap beberapa hari di rumah nenek kalian. Ayah juga sepertinya baru pulang dari luar kota tiga hari lagi. Jadi, Ren, kau yang urus rumah ya?” Ibu mengulas senyum sementara Ren langsung terkejut.

“Eh? Kenapa?”

“Kaito masih kecil. Di antara kamu dan Sho, kamu lebih bisa urus rumah. Kamu saja ya, Ren?”

Pemuda elegan tersebut sebenarnya ingin mengutarakan protes lagi, tapi karena tidak mau berdebat dengan ibunya, ia pun mengangguk. Kaito dan Sho melambai riang ketika ibu mereka menghilang di balik pintu.

“Jangan lupa oleh-oleh dari Saitama, okaasan!”

************************

Hari pertama berlalu dengan heboh. Sho dan Kaito berada di ruang keluarga selama berjam-jam, mereka saling mengeja dan tanya jawab dalam bahasa Inggris. Sho mulai berhitung dalam bahasa Inggris dengan wajah cerah, tapi wajahnya mendadak keruh ketika ia selesai mengucapkan eight. Dengan wajah bingung, Kaito bertanya pada pemuda yang lebih tua dua tahun darinya tersebut apakah ada yang salah dengan dirinya. Dengan wajah penuh ekspresi, Sho menoleh dan berkata bahwa ia lupa bahasa Inggris dari sembilan dan sepuluh. Dengan wajah tidak percaya, siswa kelas 3 SMP itu memukul lengan Sho.

Selang beberapa waktu, Sho bercerita bahwa beberapa hari yang lalu ia dan Genki, temannya di SMA, pergi ke sebuah kafe dan memesan sebuah burger. Sho mencoba mengucapkan nama burger tersebut, tapi ia tidak kunjung bisa.

“Maksudnya abokado nama hamu baagaa?” Tanya Kaito menyelidik. Sembari menepuk tangannya, kedua mata Sho membulat.

“Naaah, itu dia. Abokado nama hamu… Hah?”

Abokado nama hamu baagaa.”

Abokabo….. Apa tadi?”

Abokado nama hamu baagaa.”

“Jangan cepat-cepat donk.”

“Aaaah, Sho-nii aja yang nggak bisa!”

Kembali, Kaito dan Sho ribut, kali ini hanya karena nama burger yang tidak bisa dieja oleh Sho. Beberapa langkah dari mereka, Ren tengah mencuci piring di dapur sembari sesekali memegang kepalanya.

************************

Hari kedua, Ren mengunci diri di kamar. Beberapa kali Sho mengetuk pintu kamar adiknya dan mengajaknya untuk membeli pisang, tapi Ren menolaknya. Saat berikutnya, ganti Kaito yang mengetuk pintu kamarnya dan kakaknya untuk mengajak kakaknya yang sedang mengurung diri itu membeli es krim. Sekali lagi, Ren menolak.

Masih di depan kamar Ren dan Kaito, Sho mengajak adik laki-laki keduanya tersebut untuk membeli burger yang namanya tidak bisa ia eja. Dengan wajah kesal, Kaito kembali mengeja nama burger itu untuk Sho.

Abokado nama hamu baagaa.”

Abokado namu hama─”

“Abokado nama hamu baagaa!”

“Abokabo─”

“Kok Sho-nii bisa lulus SMP sih? Nyebut nama burger aja dari kemarin nggak bisa.”

“Jangan salahin aku. Salahin nama burgernya.”

“Sho-nii!”

Pemuda berambut hitam legam di dalam kamar langsung menghempaskan dirinya ke atas tempat tidur dan menutup kepalanya dengan bantal. Kepalanya berdenyut-denyut dengan keras.

Urusai!!”

Susahnya Menjadi Ren [Sho, Ren, Kaito]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang