Satu tahun sudah berjalan, tapi selama itu pula Melody menutup telinganya dari masa depan. Ia masih mau menetap di masa lalu. Perempuan itu masih ingin meratapi apa yang sudah terjadi.
Melody menghirup udara yang semakin hari semakin berat, seolah ia bukan menghirup oksigen melainkan karbondioksida yang menyesakkan. Ia berdiri, lalu meraih ponselnya menatap lurus ke arah balkon rumah seberang yang tepat menghadapnya. Sudah satu tahun kamar itu kosong, tidak ada yang menempati.
Melody membuka riwayat panggilan, lalu memencet nama 'Panca' di sana.
Panggilan pertama tidak ada yang menjawab, hanya suara operator. Lalu panggilan kedua kalinya ia mendengar suara bahwa panggilannya telah diterima.
"Halo?" ucap Melody sendu, rasa rindunya mulai menggerogoti rongga dadanya. Ia ingin menghambur kepelukan laki-laki yang satu tahun ini selalu menghantui pikirannya.
"Iya, Kak?" dan jawaban di seberang sana membuat Melody merasa tertampar oleh realita. Dia bukan Pancanya, dia adalah Panji.
Hening. Melody memejamkan matanya sebentar, lalu kembali menatap lurus, tepat ke kamar kosong itu lagi.
"Melody kangen Panca, Panca kapan selesai main petak umpetnya?" tanya Melody dengan senyum yang dibuat-buat.
"Kakak kangen Kak Panca?" tanya di seberang sana, Melody diam. Perempuan itu memilih memejamkan matanya lagi, meresapi suara yang mirip dengan orang yang satu tahun ini ia rindukan.
"Ji, main gitar lagi dong, gue kangen," pinta Melody.
Panji diam, seharusnya ia marah karena tidak suka disama-samakan dengan orang yang jelas jelas sudah tidak ada di muka bumi.
"Kak hari-"
"Please...."
Panji menghela napas, lalu meraih gitar yang baru saja ia letakkan. Lalu mulai memetiknya, menyiptakan melodi yang semakin membuat dada Melody kian sesak.
365 hari bayangmu masih menghalangi hati kuberlari
Bagaimana kubisa temukan cinta yang baru bila kau masih di pikiranku
Masih jelas di telinga manisnya suara
Derap langkah kita yang biasa seirama
Kau tuntunku tuk mencinta namun tiba-tiba kau melangkah ke arah berbeda...Melody tidak kuat lagi, perempuan itu mulai terisak pelan. Perlahan tubuhnya luruh ke lantai.
"Hufttt...." Panji menghela napas, ini bukan pertama kalinya Melody memintanya seperti ini bahkan rasanya sudah ratusan bahkan ribuan kali. Ia bahkan hafal jika perempuan itu meneleponnya ia pasti akan dianggap sebagai Panca, kakaknya, bukan dirinya sendiri. Entah sampai kapan.
"Hiks... hiks... Ca, gue masih kangen," lirih Melody.
"Kak, kita ke rumah pohon sekarang aja, yuk?"
Baru tiga hari Melody tidak datang ke rumah pohon tapi rasanya ia seperti telah setahun tidak mengunjungi tempat itu. Tempatnya masih asri, dikelilingi pohon tinggi menjulang lalu ada lapangan kecil dengan ring yang menggantung di pohon yang sama di mana rumah pohon di bangun.
Tanpa menunggu lama lagi, Melody segera berlari menuju ke rumah pohon. Menaiki tiap pijakan yang hanya dibuat dari kayu dengan tergesa tanpa peduli jika ia akan jatuh.
Sempit
Melody mengusap ukiran namanya dan Panca yang ia buat diam-diam saat berusia dua belas tahun. Ia kembali terisak.
Melody berada di tempat yang sama, tapi dengan perasaan yang berbeda.
Melody menatap langit yang sama, tapi dengan orang yang berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
365(TAMAT)
Teen FictionMelody tahu, segala sesuatu di dunia ini memang sudah menjadi takdir. Tapi ia masih tidak mau menerimanya. Melody tahu, apa yang datang akan pergi. Tapi ia ingin egois, menahan semua yang datang untuknya untuk tidak pergi. Melody tahu, kalau bersed...