Hanya Harapan

71 1 0
                                    

          Kalian tahu, kenapa aku melakukan semua ini. Ini demi penerimaan, ini demi rasa sakit yang terlanjur membekas. Aku melakukannya demi air mata yang sudah kering karena kalian. Apakah seekor itik buruk rupa bisa menjadi angsa putih yang terlihat bersinar. Itulah aku saat ini, mungkin kalian lupa siapa itik buruk rupa itu, tapi kalian tentu tahu siapa angsa putih yang kalian kagumi.

          Ya, rasa sesak yang kalian berikan dulu masih terasa begitu memilukan hingga saat ini. Saat napasmu seakan ditekan oleh sebuah benda asing bisakah aku menahan penderitaan itu lebih lama lagi.

          Hinaan, cacian, dan ejekan semua itu adalah sarapan pagi, makan siang dan makan malam bagiku. Tak ada hari yang manis selain satu hari dimana seorang anak lelaki dengan kacamata yang bertengger di hidungnya membela dan memberiku semangat.

          "Jangan pernah perdulikan mereka, kecantikan fisik bukanlah segalanya. Jika kamu berhasil melebihi mereka pada akhirnya kamu akan dihormati. Tunjukkan pada mereka hal itu!"

          Masih kuingat dengan jelas, lelaki itu memakai jaket berwarna coklat tua. Wajahnya biasa saja, warna kulitnya sama seperti orang Indonesia pada umumnya, sawo matang namun dimataku dia begitu mempesona. Dia adalah pahlawan sekaligus cinta pertamaku.

          Karena pertemuan dengannya, sebuah dorongan positif datang. Aku berusaha menyelesaikan sekolah dengan usaha keras, walaupun wajahku tak cantik tapi otakku masih bisa menyaingi mereka. Para pencela yang tak tahu diri, akan kutunjukkan bahwa aku bisa melebihi mereka.

          Tahun demi tahun aku lalui dengan setitik cahaya putih, pesan anak lelaki itu adalah motivasi bagiku. Saat dalam keadaan terburuk aku akan membayangkan ada dirinya disampingku dengan jaket cokelat dan kacamata ciri khasnya, dia memberiku semangat lewat sebuah senyuman.

          Saat ini, aku telah berhasil. Ya, aku telah menjadi perancang kenamaan. Rancanganku terkenal baik di dalam ataupun diluar negeri, Marissa Amalia si buruk rupa telah berubah menjadi angsa putih, itulah aku. Dengan uang yang kumiliki aku bisa memperbaiki penampilanku, dengan statusku aku bisa memberi pelajaran pada orang-orang yang telah menghinaku dulu. Banyak orang yang bermuka dua di depanku setelah tahu siapa diriku, namun aku sudah muak bahkan untuk melihat wajah-wajah mereka yang begitu menggelikan sekaligus memuakkan di mata dan hatiku.

          Aku bisa menikmati semua ini dengan caraku, tapi hatiku hampa. Ya, layaknya rumah yang begitu mewah dan megah diluar namun di dalamnya tak ada furnitur apapun bahkan hanya selembar kain penutup jendela.

          Hingga detik ini, anak lelaki itu tak pernah bisa kutemukan. Apakah dia tidak mengenaliku ataukah dia telah lupa padaku, aku tak tahu. Yang jelas, aku sangat ingin bertemu dengan anak lelaki itu lagi. Aku ingin mengucapkan terima kasih dan entahlah mungkin aku akan memeluknya tanpa alasan. Bisakah aku melakukan itu?

          Saat ini lelaki yang dulu mengejekku mengejar ngejarku, memberiku bunga seakan aku adalah seorang putri. Kamu pikir, hatiku akan mencair hanya karena perlakuan manis sesaat seperti itu, bodohnya dia. Semenjak hatiku terluka, hatiku semakin membeku dan tak bisa merasakan apapun lagi selain rasa benci ambisi dan dendam.

          Senang rasanya bisa bertemu dengan lelaki itu lagi, dia ternyata membuka sebuah toko buku yang tidak terlalu luas namun memiliki koleksi yang cukup lengkap. Saat aku bertemu dirinya, jantungku berdegup kencang. Pipiku terasa panas, aku jadi merasa begitu gugup mengalahkan kegugupanku saat melakukan fashion show. Entah kenapa aku jadi seaneh ini, aku merasa menjadi Marissa yang bukan siapa-siapa hanya dengan berdiri dihadapannya. Bahkan sebelum lelaki itu mengucapkan sepatah katapun.

          "Selamat siang!" sapanya, suara yang terdengar di telingaku sama seperti irama yang begitu memukau. Benar saat orang bilang, cinta bisa membuatmu kehilangan orientasi.

          "Ada yang bisa saya bantu, buku apa yang sedang anda cari. Mungkin bisa saya carikan." tawarnya ramah, disertai sebuah senyuman manis yang membuatku kehilangan nafas sesaat.

          Dia tidak berubah baik wajah, warna kulit ataupun kacamatanya selain tinggi badan dan tatanan rambut yang sedikit agak berbeda. "Apa yang tengah anda cari?"

          Kembali dia bertanya, aku kebingungan saat ditanya seperti itu. Tujuanku datang adalah untuk bertemu dengannya, bukan membeli buku. Aku merasa sangat konyol saat ini, aku sempat berpikir untuk memeluknya di pertemuan pertama. Pikiran gila yang tidak masuk akal, bahkan melihat matanya saja aku tak sanggup.

          Kebingungan ini membuatnya menatapku lama, hingga seorang wanita dengan penampilan sederhana masuk dan menyapanya. Mereka saling tersenyum penuh arti lalu terdengarlah kalimat yang mengejutkanku.

          "Kamu kan sedang hamil, kenapa kemari?" tanyanya pada seorang wanita yang mungkin seusiaku.

          "Tidak apa, aku hanya ingin membantu." jawab wanita itu seperti menenangkan.

          "Sudah, kalau begitu duduk saja. Aku tidak mau terjadi sesuatu pada anak kita." ungkapnya penuh kekhawatiran.

Deg

          Seusai mendengar kalimat terakhir itu aku merasakan dadaku seperti terhimpit. Begitu menyesakkan. Fakta yang kutahu ini begitu mengejutkan dan tak terpikirkan sama sekali. Ternyata, orang yang kuinginkan telah dimiliki oranglain. Orang yang kupikir bisa mengisi hatiku yang kosong ternyata telah terikat.

          "Maaf, buku apa yang anda cari?" tanyanya kembali. Mungkin dia bingung karena sejak tadi, tak sepatah katapun yang kuucapkan selain menatapnya.

          "Ah...aku salah masuk. Maaf...kupikir ini toko CD." ini hanya alasan, aku sebenarnya ingin segera menjauh secepat mungkin.

          Setelah berbohong, segera saja aku melenggang pergi dengan hati yang sakit. Ini pertama kalinya aku merasakan rasa sakit yang menyesakkan, apakah begini rasanya patah hati?

XxxxxxX

Ini cerita sebenernya bikin sakit mata, tapi entah kenapa aku ingin mem-publishnya disini. Oke, anggap saja angin lalu :)

14 Mei 2015, Kamis

Hanya HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang