Blacklist

12 5 0
                                    


C

ahaya mentari mulai bersembunyi di balik gumpalan-gumpalan awan yang seakan sedang asik menari di langit sana. Beberapa gerombolan unggas tampak terbang meninggalkan suara kepakan sayap yang menghilang di ruang hampa. Begitu cepat waktu terasa berlalu. Rasanya baru beberapa waktu yang lalu aku turun dari metromini dan melangkah masuk ke dalam restoran ini. Bahkan suara teriakan kenek itu masih terngiang di kepalaku. Sekarang langit mulai berwarna keemasan, dan jalan raya yang berada tepat di depan restoran ini semakin ramai. Beberapa kelompok remaja dengan seragam sekolah tampak mulai memenuhi trotoar, wajah-wajah yang tampak letih itu masih sempat bercengkrama satu dan yang lain. Mataku beralih memandang sudut lain sepanjang jalan itu, di depan sebuah toko buku sana mataku menyaksikan sepasang kekasih bergandengan memasuki toko itu, wajah mereka tampak begitu bahagia. Aku mulai memandangi jam tangan kulit yang sudah hampir tiga tahun setia menemaniku di pergelangan tangan ini. pukul empat sore, itu artinya sudah lebih dua jam aku duduk di restoran ini.

"Ada yang ingin anda pesan lagi mbak" seorang pelayan pria datang menghampiri mejaku, mungkin maksudnya berbasa-basi bertanya agar aku segera pergi.

Aku hanya menggelengkan kepala lalu kembali memalingkan wajahku darinya. Pelayan itu melangkah pergi, dari sudut mata, aku masih bisa melihat pelayan itu mengangkat bahunya, dan beberapa orang temannya yang berdiri di dekat meja kasir hanya cengengesan menanggapi. Aku tak ingin terlalu ambil pusing dengan tingkah pelayan-pelayan itu, setidaknya aku tidak hanya duduk gratis di sini, aku bahkan membayar pajak makanan yang cukup mahal. Jadi tak ada salahnya sedikit berlama-lama duduk di sini, lagi pula, ini merupakan tempat yang tepat untuk mengenang dirinya. Ya dia. Dia yang meninggalkanku begitu saja beberapa tahun yang lalu. Dia yang memilih wanita itu dan tak memperdulikan perasaanku. Dan dia yang sampai saat sekarang ini masih saja menjadi pria yang mengisi hatiku meski telah memberikan luka yang sangat menyakitkan itu.

***

Aku berkenalan dengannya di restoran ini. Saat itu aku masih menjadi mahasiswa tahun pertama, dan dia sudah duduk di tahun ke dua. Itu bukan pertemuan yang luar biasa, bukan seperti cerita-cerita film yang mana tokoh wanita bertemu dengan sang tokoh pria karena mereka bertabrakan saat masuk ke dalam restoran yang sama. Hari itu tanggal 11 April 2010, aku masih sangat ingat setiap kejadian hari itu. Aku memasuki restoran ini bersama dua temanku, asik bercengkrama dengan mereka, membicarakan berbagai hal yang kami anggap cukup penting.

"Sebastian?" Salah satu dari temanku berteriak sambil menatap kearah pintu. Di sana tampak empat lelaki seusia kami muncul dari balik pintu restoran, salah satu dari mereka menoleh dan melambaikan tangannya.

"Hai, lama tak melihatmu. Apa kabar?" Ujar lelaki itu saat sudah berada dekat dengan meja tempat aku berada, tiga orang temannya ikut berdiri di sana.

Saat itulah aku berkenalan dengan dirinya. Kalau saja Sebastian tak mengajaknya ke restoran hari itu, atau aku menolak Sarah dan Merli makan di restoran ini, mungkin aku takkan pernah bertemu dan berkenalan dengannya. Hari itu ia mengenakan kemeja lengan pendek yang dipadukan dengan celana jins hitam, rambutnya tidak begitu rapi tetapi pas dengan wajahnya. Berawal dari curi-curi pandang, hingga akhirnya aku dan dia mulai akrab berbicara. Ia pria yang asik diajar berbincang, baik itu mengenai tren, makanan, tempat wisata bahkan mengenai politik, ia mampu mengimbangi pembicaraanku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 31, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BlacklistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang