Arya sore itu baru pulang sekolah karena mengikuti bimbingan belajar. Dia dijemput oleh sopir ibunya. Saat baru membuka pintu, matanya membesar melihat ruang tamu yang berantakan. Barang-barang berjatuhan dan vas bunga pecah, kristalnya berserakan di mana-mana.
Ayahnya sedang duduk di sofa, tersenyum dan berbicara sendiri. Samar, Arya mendengar kalau ayahnya itu sedang berencana untuk hiking, lalu ingin diving, lantas di menit selanjutnya lelaki paruh baya itu berkata bahwa ia harus ke restoran karena sedang lapar.
"Oh, kamu sudah pulang, Arya?" tanya lelaki itu, tangannya melambai sebagai tanda agar Arya segera menghampirinya.
Ragu dan gemetar, Arya mendekat. Dia melangkah pelan dan hati-hati agar tidak menginjak beling yang ada di mana-mana. Kepalanya tertunduk, tidak berani melihat wajah ayahnya.
"Papa sangat rindu sama kamu." Handika--ayah Arya--memeluk anak lelaki berseragam merah-putih itu. "Rasanya sudah lama sekali Papa tidak memelukmu. Anak kebanggaanku." Dia menepuk-nepuk punggung kecil Arya.
"Bagaimana sekolahmu?" tanya Handika setelah melepas pelukannya. "Papa dulu sangat pintar di sekolah. Ada guru namanya Sahril, guru matematika, dia sangat menyukai Papa. Ah, kemarin juga Papa beli es krim, kamu suka es krim, kan? Lalu kita bisa menonton sambil makan popcorn karamel. Juga berenang, pasti kamu akan suka. Masih ingat saat kita pergi memancing dan ada banyak ikan di laut. Tidak? Kamu lupa? Papa tau otakmu encer seperti Papa. Pak Komar di sebelah rumah katanya meninggal, dia orang yang baik. Apa sebaiknya Papa saja yang meninggal?" Handika berbicara sangat cepat dan tidak jelas arahnya.
Arya mengatupkan bibirnya erat. Dalam hati berdoa agar segera terlepas dari ayahnya. Badannya telah dingin dan benar-benar gemetaran. Keringat bahkan sudah memenuhi keningnya.
"Kenapa kamu tidak lihat Papa, Arya?" tanya Handika lembut.
Handika menoleh ke kiri, menggeleng-geleng sambil berbisik tidak jelas. Wajahnya sendu, seakan-akan ingin menangis. Tidak lama, berbalik lagi kepada Arya yang masih menggigil ketakutan. Mimik Handika seketika berubah, dipenuhi amarah.
"Lihat Papa, Arya!" teriak Handika.
Terlalu takut, Arya mulai menangis, merintih memanggil ibunya agar segera datang. Tiba-tiba dia terkesiap, saat Handika berteriak histeris menganggapnya sebagai anak tidak berguna. Arya linglung seketika saat tubuhnya diguncang oleh Handika kasar.
"Ayo, lihat Papa! Kamu kira papamu ini setan sampai kamu takut seperti itu."
Air mata terus menetes di pipi Arya, mencoba menguatkan diri untuk mengumpulkan keberanian. Perlahan dia mendongak, meski tubuhnya terus diguncang.
Tangan Handika yang berada di bahu Arya berpindah ke pipi basah anak lelaki itu. "Anak pintar," puji Handika. "Sekarang cepat ganti baju dan kita pergi ke mall. Papa akan belikan banyak mainan."
Arya bergeming. Dia sudah sering melihat ayahnya seperti itu saat kambuh, tapi dia tidak pernah sendiri seperti sekarang. Dia yakin pembantu di rumahnya sudah lari karena takut melihat kondisi ayahnya, apalagi pembantu itu baru bekerja dua minggu. Tidak akan ada pekerja yang tahan di rumah itu karena kondisi ayahnya.
"Cepat, Arya! Kita bisa bermain sepuasnya di Ancol."
Arya pun pergi, tapi tidak langsung ke kamar. Pertama-tama, dia memastikan semua pintu terkunci. Setelahnya, kunci itu dia bawa bersembunyi di dalam lemari kamarnya. Kata ibunya, jika sakit ayahnya kumat, maka Arya tidak boleh membiarkannya keluar dari rumah karena bahaya.
Di dalam lemari kayu besar yang terhubung dengan tembok itu, Arya memanjat hingga rak paling atas. Dia berbaring melengkung sambil memeluk lutut. Tubuhnya masih gemetaran dan kepalanya mulai sakit. Hal yang bisa didengarnya adalah musik yang berdentum dan suara ayahnya yang bernyanyi, lebih pantas dianggap berteriak-teriak.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Other Half
General Fiction(Spin-off Suddenly Marriage and Renaissancelove) "Aku pergi bukan karena aku tidak mencintaimu, Yu. Sebaliknya, aku harus meninggalkanmu karena aku sangat, sangat, sangat mencintaimu." Jiwaku tercabik-cabik sebelum bertemu dengannya, gadis bermata c...