Tidak banyak yang mengetahui bahwa hobi Mashiho adalah menjelajah alam. Ia suka dan cinta pada pesona ciptaan Tuhan tersebut. Pepohonannya, pijakan terjal, tebing curam, hewan-hewan tersembunyi dalam lubang gelap.
Berbaring di bawah untaian bintang-bintang tak terhitung jumlahnya, ditemani sebuah map dan kompas, selalu menjadi kesenangan pribadi. Menatapi langit malam, membayangkan seluruh keluarga dan kawan pasti tengah beristirahat nyaman di atas ranjang empuk masing-masing, oposit dengan si surai keunguan di atas kantung tidur kepompongnya yang beralaskan lahan bebatuan nan dingin.
Sudah tidak terhitung berapa banyak bukit dan gunung yang telah ia tapaki, setali tiga uang dengan gunungan foto-foto panorama maupun macro yang telah ia abadikan dengan kamera profesionalnya.
Senyum mengembang tipis di kala menekan tombol back di kamera, mengingat-ingat pemandangan indah yang telah ia lalui namun akan selalu membekas dalam hati. Memandangi foto-foto itu seperti memandangi anak pertama, tidak akan pernah bosan dan bila perlu ditambah dengan objek-objek yang tidak akan kalah indahnya. Hanya sebuah kerikil unik pun selalu cukup sebagai moodbooster-nya.
Mengganti mode kamera menjadi mode off, Mashiho memasukkan benda kesayangannya tersebut ke dalam tas kamera. Benda pematri suasana tersebut tidak dapat selalu bersapa dengan keadaan ekstrim sebab probabilitas error atau parahnya rusak cukup besar. Apa yang telah terekam dan tersimpan tidak boleh hilang. Kesenangan memperolehnya tidak dapat terjadi dua kali.
Kuapan lebar menyeruak keluar. Lama berdiam diri di alam terbuka ditambah angin sejuk malam membuatnya terkantuk. Nyaris terlupakan pula bahwa waktu telah menunjukkan pukul 11 malam. Bayaran atas pendakian selama nyaris belasan jam (walau sebagian besarnya habis oleh memotret) benar-benar terlunasi oleh keindahan ciptaan Sang Kuasa.
Berdoa dan mengucap syukur atas hari yang telah ia lewati, Mashiho menarik zipper kantung tidur hingga bagian leher, dengan sebelumnya tak lupa mengirim pesan selamat tidur melalui telepon genggam kepada keluarga tercinta yang selalu menunggu kepulangannya.
Tanpa pernah tahu akan takdir di esok hari.
.
Sstt... apa kau melihatnya? Di pojokan sana, di balik pohon rindang yang itu. Iya benar, iris berwarna hitam mengerikan tengah memerhatikan kita dengan pandangan lapar.
.
.
.
Dalam fotografi, satu waktu yang tidak boleh terlewat memiliki istilah golden moment. Setiap menit bahkan detik dan angin berkecepatan 0,1 km/jam saja dapat menentukan keberhasilan foto yang direkam kamera. Belum lagi segala tetek bengek pengaturan seperti bukaan lensa dan waktu pengambilan cahaya. Melenceng sedikit, maka golden moment itu akan 'terbakar'.
Itu sebabnya Mashiho telah mewanti-wanti untuk tidak terlambat bangun. Ia telah berada di posisi yang tepat di mana ia akan bersapa sang mentari. Semalam ia beristirahat di titik tepat ini, walau harus menahan dingin yang cukup menusuk padahal jaket yang memeluk tubuhnya berjumlah tiga lapis. Salah Mashiho sendiri yang memang tidak tahan dingin. Sialnya lagi ia lupa membawa minuman alkohol favoritnya untuk sekadar menghangatkan tubuh dari dalam.
Mashiho menggeliat pelan dari balik kantung tidur. Mengucek mata sesaat tanpa memedulikan bagaimana awut-awutannya surai keunguan miliknya. Toh tinggal diguyur air nanti juga pasti nurut, itulah yang selalu menjadi alasan dirinya bila sudah mendapat teguran bahkan oleh orang tak dikenal. Ia bangun 2 jam lebih awal dari waktu perkiraannya terhadap terbitnya matahari. Ingat, ia masih harus mengatur kamera.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twist [Treasure HaruMashi]
Mystery / ThrillerMashiho sempat mengira Haruto adalah orang yang ramah. Namun sketsa-sketsa yang dibuat kenalan barunya itu sepertinya menepiskan pikiran tersebut.