LIBAS

3 0 0
                                    

Ranum matangnya matahari di ufuk timur. Melandaikan pesona dari paginya hari, cahaya-cahaya memasuki celah jendela dari bilik kamar. Mereka merangsek masuk tanpa mengucapkan salam.

Kicauan burung saling bertukar informasi. Apa saja yang mereka lihat di pagi hari ini, mereka bagikan satu sama lain.

Libas dengan seragam sekolah rapih telah siap untuk mengusung target pencapaian tinggi. Waktunya sekolah, Libas tidak mau untuk disaingi perjalanannya termasuk oleh sinar matahari yang mulai terik. Sebisa mungkin Libas berangkat saat awan-awan masih belum metamorfosa menjadi wujud sempurna.

"Kak!" Seru Rafta mulai bergema di telinga Libas. Seruan manis, dengan tingkatan ceria yang mewakilkan anak sebayanya terdengar keluar dari mulut Rafta.

Rafta si anak 9 tahun yang memiliki kepintaran dan daya ingat yang cukup tinggi. Menghafal rumus matematika dan memahami ilmu pengetahuan alam, itulah hobinya. Ini sesuatu anugerah yang diberi Tuhan kepadanya. Kecerdasan Rafta selalu dibandingkan kakak-kakak kelasnya di sekolah yang 2 tahun lebih tua darinya.

"Aku kemarin dapet nilai 98 pelajaran matematika. Kakak pernah janji, kan sama Rafta?" Ucap Rafta mencoba agar kakaknya mengingat janji yang ia ucap sebelumnya.

"Kok 98? Nggak seratus?" Tanya Libas penasaran.

"98 itu yang paling tinggi, kak!" Jelas Rafta, "nilai kedua terbesar bernilai 72!"

Libas tak terkejut dengan keterangan Rafta. Bagi Libas adiknya ini sudah biasa melampaui batasan yang ada dari anak seumurannya. Tetapi Libas seperti biasa membuat seolah dirinya terkejut, agar Rafta senang.

"Oh ya? Keren, dong! Pasti Bu Renata muji kamu lagi!" Senyum Libas merekah seraya menyipitkan kedua matanya.

"Itu nggak penting. Yang penting itu, janji Kak Libas apa sama Rafta? Kalau Rafta bisa dapet nilai tertinggi ulangan Matematika di sekolah?"

"Janji, ya?" Pikir Libas seraya berlutut menyesuaikan tingginya dengan Rafta.

"Kak Libas pikir-pikir dulu, ya?" Senyum Libas sambil mengusap rambut adiknya lembut.

"Apa, ya?" Libas mengangkat kedua alisnya menanyakan balik kepada Rafta.

"Kak Libas Janji. Bakal jadi pelari pertama di sekolah saat jam olah-raga lari hari ini!" Ingat Rafta dengan tawa seraya memperlihatkan gigi putihnya yang menawan.

Ini memang yang diajarkan Libas kepada Rafta. Karena ekonomi keluarga yang sedikit terhimpit. Libas selalu mengajarkan Rafta sesuatu tantangan. Bila salah satu Rafta atau dirinya mendapatkan nilai tertinggi di sekolah, maka Rafta dan Libas harus melakukan hal yang sama. Bukan dengan uang tapi dengan menjadi unggulan di kekuatan mereka masing-masing.

Rafta pun sudah memahami. Bahwasannya kakaknya hebat dalam bidang non-akademik dan dirinya tangguh dalam materi akademik. Baik Rafta dan Libas sudah melakukan ini bertahun-tahun. Dan keduanya menikmati itu.

Namun di sisi lain. Rafta memiliki wajah tampan atau kita sering sebut dengan "bibit unggul". Berbeda dengan sang kakak Libas yang culun dan tidak mau merawat wajahnya. Meskipun begitu Libas-lah yang merawat adiknya sehebat mungkin hingga Rafta mempunyai wajah tampan. Libas pun senantiasa memberikan pembelajaran sosial kepada Rafta. Seperti bahwasannya manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing di dalam kehidupan. Hingga Rafta tumbuh menjadi anak yang tidak sombong saat ia bisa melakukan sesuatu hal lebih baik dari yang lain.

Rafta pun terjauh-kan dari sikap merendahkan orang lain.

"Kalau gitu, kak Libas pergi dulu, ya!" Usap Libas sembari menaikkan lututnya dan mulai berdiri seraya siap menuju sekolah.

LIBASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang