BAB 1 Selamat Tinggal Luka

0 0 0
                                    

Kita tidak pernah bisa memilih lahir dari orang tua seperti apa. Tidak bisa. Tapi bukan berarti Tuhan tidak adil. Kita saja yang tidak tahu apa yang Tuhan siapkan buat kita melalui orang tua kita. Tugas kita hanyalah bersyukur dan memberikan yang terbaik untuk orang tua dan keluarga. Buatlah mereka bangga memiliki kita.

Terlahir dari keluarga yang berantakan mengantarkan Widya Ayu Lajita, gadis cantik mahasiswa keguruan Universitas Negeri Yogyakarta menjadi wanita tangguh dan mandiri. Walaupun keluarga Subagyo masuk dalam jajaran keluarga kaya di Magelang, pemilik “Maju Lancar Furniture”. Usaha mebel terbesar di Magelang. Nyatanya kemewahan yang dimiliki tak menjadikan kebahagiaan buat Widya. Baginya kehangatan keluarga hanya ada di film “Keluarga Cemara” atau novel yang ia baca ketika mengusir kejenuhan.

Kata orang sejauh apapun pergi, tempat ternyaman untuk kembali adalah rumah. Tapi tidak berlaku bagi Widya. Kembali ke rumah membuatnya semakin tertekan. Nyatanya senyum bapaknya hanya ada dalam foto keluarga yang terpampang di ruang keluarga berbingkai kayu jati berlapis emas. Kedekatan bapak ibu hanya saat lebaran saja. Ketika semua keluarga besar berkumpul. Sedangkan keseharian mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Bila pun mereka bersama bisa dipastikan ada saja pertengkaran yang mewarnai kebersamaan mereka. Ibarat peribahasa kurang-kurang bubur, lebih-lebih sudu. Masalah sekecil apapun akan menjadi masalah besar di mata bapak dan ibunya.

Bagas, kakaknya yang seharusnya jadi panutan sungguh tak bisa diandalkan. Pergi pagi pulang malam, bahkan kadang tak tahu jalan pulang. Hidupnya sangat jauh dari kata teratur. Ia hanya asik dengan dirinya sendiri. Ia lebih suka menghabiskan waktu diluar rumah bersama teman-temannya. Menghabiskan uang orang tua untuk bersenang-senang sebagai pelampiasan mencari kebahagiaan yang tak bisa didapatkan di rumah. Homesick  yang dirasakan sebagian anak saat mereka jauh dari keluarga bagi Widya dan Bagas adalah Bullshits. Omong kosong. Jauh dari keluarga adalah kebebasan dan kebahagian.

Setelah mengalami penggojlokan dosen pembimbing yang membuat Widya kurang tidur dalam beberapa bulan ini. Serta ujian sidang skripsi yang membuat perut Widya mual tak menentu seperti naik roller coaster yang sangat menguji adrenalin. Akhirnya tibalah saatnya untuk menerima hadiah atas perjuangannya selama ini. Dua undangan pendamping wisuda sudah ada ditangan. Bukannya senang, tapi takut yang tak terhingga menyerang relung hati terdalam. Peristiwa yang telah terjadi empat tahun silam hadir dalam ingatannya. Seakan mengatakan sudah waktunya mengakhiri semua kesenangan dan kebebasan yang empat tahun ini ia rasakan. Saatnya kembali ke dalam sangkar pesakitan yang telah menanti. Sangkar berhiaskan emas yang sebagian orang menginginkannya tapi tidak dengannya.

Berkali-kali ia menggelengkan kepala, pertanda ia tak mau bayangan yang ada di kepalanya menjadi kenyataan. Ia tak bisa membayangkan harus masuk lagi dalam kurungan dan diikat dengan rantai besi lagi kuat.

"Nduk… setelah kamu lulus, Bapak akan menikahkanmu dengan anak teman Bapak". Kata-kata Pak Subagyo kembali berdengung di telinga Widya.

Sekali lagi ia menggelengkan kepalanya. Otaknya mulai tidak karuan. Dadanya naik turun Membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi jika ia memberikan surat undangan pendampingan wisuda seminggu yang akan datang.

Walau dalam hati kecilnya mengatakan, ia tak mau jadi anak durhaka yang menolak perintah Bapaknya. Tapi ia tidak mau untuk menikah di usia muda. Terlebih ia ingin meraih cita-cita nya dahulu. Menjadi seorang guru. Lagipula menikah bukanlah tujuan hidupnya. Sejak kecil ia melihat orang tua yang selalu bertengkar membuat ia tak percaya adanya cinta. Ia tanamkan tekad kuat-kuat dalam hidupnya, menikah bukanlah hal yang menyenangkan. Menikah hanya akan membawa kesengsaraan.

Dengan pikiran kacau ia mengendarai motor matic kesayangannya. Perjalanan Yogyakarta Magelang melewati jalur kebon agung menjadi pilihannya. Jalan Yogyakarta Ringroad Utara yang padat kendaraan saat sore hari tak dapat membuat ia mengalihkan pikirannya dari bayang-bayang yang ia ciptakan sendiri dalam pikirannya. Beberapa kali ia harus fokus dan menguasai dirinya. Ketika tak sengaja ia harus mengerem mendadak atau banting setir ketika akan menabrak kendaraan lainnya.

Kemacetan Jalan Yogyakarta Ring Road telah ia lalui. Kini ia telah masuk jalan kabupaten Yogyakarta Magelang. Mendung mulai menggelayut, pertanda hujan akan segera turun. Ditambah waktu pulang kerja membuat jalanan semakin ramai. Laksana antrian bantuan dana sosial saja, banyak mobil dan motor berderet panjang ke belakang. Bukan manusia namanya kalau tak menyerobot antrean, menambah kesemrawutan jalanan sore ini. Dengan pikiran kacau dan jalan licin akibat gerimis mulai turun, Widya kembali kehilangan konsentrasi. Alih-alih cepat sampai, ia kehilangan kendali dan bersenggolan dengan mobil SUV putih saat belokan tajam menuju jalan kabupaten Magelang. Seketika badannya terpental ke badan jalan dan tak sadarkan diri.

Orang-orang yang ada di sekitar segera membawa Widya yang tak sadarkan diri ke Rumah Sakit terdekat dengan mobil salah seorang yang baik hati. Sementara pemilik mobil SUV putih yang mengalami luka ringan ikut mendampinginya sebagai bentuk tanggung jawab.

Bermodal KTP  dan kartu nama yang ada dalam dompet Widya, akhirnya pengendara SUV putih itu bisa mengetahui identitas gadis yang tergeletak di pinggir jalan dengan darah yang mengucur deras dari kepalanya itu. Ia langsung menghubungi orang tua Widya untuk memberitahukan bahwa Widya mengalami kecelakaan.

Satu jam kemudian pak Subagyo dan Bu Indri istrinya datang dengan langkah cepat menyusuri koridor RS. Bagaimanapun Widya adalah anaknya, ia tak mau terjadi hal buruk pada anaknya. Sesampainya di RS mereka langsung menuju ruangan perawatan Widya.

Widya yang baru membuka mata bingung, melihat Bapak, Ibu, dan dirinya ada dalam kamar. Bukan kamarnya. Yang ia ingat adalah ia sedang mengendarai motor kesayangannya untuk pulang. Dan kini ia terbangun di kamar serba putih, seperti RS begitu pikiran yang berkecamuk dalam dirinya.

"Sudah sadar nduk?" Suara bu Indri menyadarkannya. "Mana yang sakit nduk?" Pertanyaan Ibunya berhasil mengingatkannya pada kejadian tadi. Seketika rasa sakit ia rasakan di kepalanya. Dirabanya kepalanya seperti ada yang menempel di kepalanya.

“Kamu tadi jatuh dari motor”, terdengar suara bariton pak Subagyo dari belakang bu Indri. “Bukankah sudah Bapak bilang, kalau naik motor hati-hati, ndak usahlah ugal-ugalan seperti mas mu”. Sakit dikepala yang Widya rasakan tak ada artinya. Lebih sakit hatinya mendengar apa yang dikatakan Bapaknya barusan. Memang benar apa yang dikatakan bapaknya itu, tapi bagi Widya nada suaranya sangat tidak enak di dengar. Itulah yang membuatnya malas untuk pulang kerumah. Selalu saja seperti itu.

“Oh ya Nduk, minggu depan setelah kamu wisuda, keluarga om Gunawan akan datang kerumah. Cepatlah sehat, kamu akan bertemu dengan Reynald”. Lagi...tanpa basa basi bu Indri mengatakan itu pada anaknya. Tanpa melihat keadaan Widya yang terbaring lemah di ranjang pesakitan.

Dunia seketika runtuh, luruh bersama perasaan yang tak bisa digambarkan. Menangis dan meraung pun tak ada gunanya. Hanya sakit yang dirasakannya, Bapak dan Ibu pasti tak akan mendengarnya. Begitulah gambaran perasaan gadis cantik yang diperban kepalanya itu. Kata-kata terakhir ibunya berhasil memporak porandakan pikirannya. Meninggalkan luka yang menganga disana.

Pikirannya terus terganggu. Sakit dan sakit yang dirasakannya. Lari...bagaimana caranya untuk bisa lari dari keadaan yang sulit. Ia tak dapat berpikir jernih. Emosi yang memuncak menguasai pikirannya. dengan cepat ia melepas selang infus yang menempel di tangan. tertatih ia mencoba bangkit dari ranjangnya. entah kekuatan dari mana yang mendorongnya mampu menegakan badan, menguatkan langkah untuk sampai ke atap rumah sakit. ditatapnya halaman rumah sakit yang terlapisi paving. Ditariknya nafas dalam-dalam, dipejamkan matanya, kakinya diayunkan ke depan. Dalam hitungan ketiga ia akan terbang melayang. Mencapai surga. Bebas dan lepas dari semua masalah yang menghimpitnya. Begitulah pikiran picik merajai logikanya.

satu, dua, tiga…
Seketika terasa sakit di pergelangan tangannya. Tubuhnya bergelantungan di balkon rumah sakit dengan tangan yang dipegang erat oleh dua tangan kokoh. meskipun ia berusaha memberontak dan menginginkan tubuhnya jatuh ke tanah, namun tangan kokoh itu berhasil mengangkatnya naik ke atap.

Seketika ia berpikir, “Tuhan… inikah jalanMu untukku?”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 13, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Senandung Lagu CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang