❈ Bab 2 ❈

30 10 1
                                    

"Dan ketika para penciptaku pergi, Frida membawaku ke sini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Dan ketika para penciptaku pergi, Frida membawaku ke sini."

Ila menutup kisahnya yang singkat. Jujur saja, aku tercengang mendengar betapa sederhananya kisah Ila. Dia bahkan tidak banyak mengisahkan perihal keempat penciptanya hingga aku bahkan tidak menemukan banyak kesan tentang mereka. Kini, satu-satunya saksi malah tidak begitu jelas menyampaikan. Tapi, aku mungkin bisa mengorek sedikit informasi tambahan tentang mereka.

"Boleh lebih tahu tentang para penciptamu?" tanyaku. Apa reaksi para Penjaga jika tahu Ila kabur ke sini? Itulah yang kutakutkan. Terlebih jika keluargaku belum sepenuhnya mempersiapkan ini. Maka Ila satu-satunya harapanku.

Yang kutangkap dari kisahnya, Ila adalah ciptaan dari Empat Penjaga Vanam demi mengisi kekosongan hati. Mereka kesepian dan butuh hiburan juga. Maka, diciptakanlah anak yang mereka beri nama Ila. Seperti kebanyakan anak lainnya, diasuh hingga saat ini. Tapi, dia tidak diizinkan bermain di luar selain rumahnya sendiri. Sementara anak itu ingin sekali menjelajahi dunia luar.

Dari kisah Ila, aku sedikit belajar jika Empat Penjaga Vanam bahkan tidak menceritakan apa yang mereka lakukan di luar wilayah kekuasaan mereka. Ila hanya tahu jika mereka mengubah musim di Vanam kemudian pergi. Hanya datang di saat tertentu saja.

Aku merasa prihatin. Bahkan anak yang mereka bilang sangat disayang saja tidak tahu pekerjaan mereka. Andai Ila tahu. Tapi, aku tidak merasa perlu memberitahunya sekarang. Dia pasti bakal kebingungan. Maka, kutanyakan saja soal keempat penciptanya tadi.

"Nanti saja," balas Ila. "Sekarang, ceritakan padaku tentang keluargamu."

Aku terdiam. Menyadari jika aku tidak beda jauh dengannya. Tidak kenal dekat dengan keluarga sendiri, semua sibuk entah apa yang dilakukan. Sementara aku hanya menghabiskan waktu bersama buku sihir dan belajar hingga botak.

"Kurang lebih sepertimu," jawabku.

Ila menatapku, tampak bingung. "Apa mereka seperti Dama?"

Aku tidak yakin "Dama" yang mana dia maksud. Tapi, aku anggap itu mencakup keempatnya.

"Ya, mereka sangat sibuk," balasku. "Aku sering sendirian di sini bersama buku sihir. Kamu mungkin punya banyak teman di Vanam sana, bersama kupu-kupu dan makhluk kecil lainnya. Tapi, aku tidak menikmati semua kemewahan di sini."

"Benarkah?" Ila tentu tidak percaya.

"Kamu mungkin belum paham karena belum mengalami," balasku. "Tapi, aku juga tidak memahami keadaanmu karena aku pun belum pernah hidup seperti itu."

"Mau bertukar posisi?" tawar Ila.

Mudah mengucapkan, andai dia tahu hubungan keluargaku dengan para Penjaga. Perlukah kuberi tahu?

Tidak! Jangan sampai dia tahu atau informasi yang dibutuhkan bakal pupus. Aku harus memutar otak agar dia mau memberitahu segalanya. Tapi ...

"Tidak perlu." Aku menjawab dengan canggung. "Anu ... Kamu mau ke taman?"

"Taman?" beo Ila.

Aku mengiakan. "Bentuknya mirip dengan Vanam, tapi lebih sederhana."

"Mau!" Ila tersenyum cerah.

Aku pun menggandengnya ke taman. Letaknya cukup jauh dan berada di bagian belakang rumah. Tentu saja, keberadaan taman ini tidak lain hanya sekadar tempat bersantai.

Taman hanya terdiri dari beragam bunga yang dibeli di pasar. Begitu harum namun juga bikin risi karena gatal. Tapi, untungnya Ila tampak tidak keberatan lantaran dia sering menyentuh tanaman setiap hari di Vanam. Yang mungkin lebih berbahaya lagi bagi kami.

Ila mencium beberapa bunga. Dia lalu menatapku. "Boleh ambil satu?"

Karena ini hanya untuk bersenang-senang, keluargaku juga tidak peduli jika kehilangan setangkai saja. Lagipula, harganya jika tidak seberapa.

"Boleh."

Begitu kalimat itu lolos dari mulutku, Ila langsung memetik satu lalu menciumnya. Dia tampak bersinar di antara bunga yang mengelilingi. Begitu cantik.

"Arman pernah mencoba keluar rumah?"

Aku terkejut begitu pertanyaan terlempar padaku.

"Tidak." Tunggu, bukan begitu. "Maksudku, jarang. Aku hanya keluar jika diajak."

"Sepertinya seru," balas Ila, terdengar polos. "Aku justru dilarang keluar sama sekali."

"Tapi, bukannya hutan seluas Vanam sudah cukup?" balasku.

"Kamu akan bosan, begitu juga denganku," jawabnya. "Sudah bertahun-tahun menjelajahi, semua sama saja."

Aku dan Ila ternyata seumuran, kami berusia sembilan tahun. Dia mengaku sudah setiap hari menjelajah hutan Vanam hingga bosan. Tidak kusangka dia bosan begitu cepat sementara aku tidak merasa demikian. Barangkali karena dia memiliki jiwa petualang. Atau justru memang kurang menyukai tempat asalnya.

"Kalau begitu, Ila nanti mau ikut ke pasar?"

Aku tersentak begitu suara Frida muncul dari belakang. Dia rupanya mendengar percakapan kami. Terkesan menguping. Tapi, aku tidak sempat membahas.

Ila, tampak tidak ragu, mengangguk . "Mau!"

Frida tersenyum, "Arman nanti temani Ila sampai malam, ya. Keluarga kita bakal berkumpul. Jangan lupa bawa dia ke kamar bekasku dulu."

Kamar yang dimaksud Frida adalah kamarnya waktu masih kecil. Ketika remaja, dia pindah kamar ke atas sehingga ruangan itu kini tidak berpenghuni. Sama seperti kamar lain, begitu luas dan didominasi warna krem serta kasur lebar. Cocok untuk Ila, barangkali.

"Baik." Aku menanggapi, kemudian menatap Ila. "Ayo, kita ke kamar barumu."

Ila pun menggandeng tanganku, kami pergi ke kamar barunya.

Seperti biasa, dia akan menganggumi setiap jengkal rumah yang tertangkap di mata. Tentu saja gadis ini akan betah dalam beberapa waktu. Tugasku kini hanya memastikan bahwa dia nyaman, sementara aku akan mencoba kembali bertanya di lain kesempatan.

"Ini kamarmu," ucapku setibanya kami di kamar bekas Frida.

Ila masuk, dia berputar pelan, mengamati setiap detail kamar yang bagiku sederhana ini. Agak bersimpati aku karena rumah dia dulu hanya seperti gubuk. Sungguh aneh jika para penciptanya terkesan tidak memanjakan. Atau mereka mungkin saja tidak tahu caranya. Padahal Ila juga sama dengan makhluk berakal lainnya, dia butuh hal baru yang melebihi hutan biasa. Tapi, aku yakin para penciptanya belum memahami. Ya, bisa jadi mereka sebenarnya hanya ingin makhluk baru di Vanam.

Aku pun pamit dengan Ila. "Kujemput nanti malam. Kamu silakan beristirahat."

Aku lalu menutup pintu dan kembali ke kamar. Menarik napas lega, akhirnya semua berakhir. Meski hanya beberapa jam sebelum mentari terbenam. Tapi, aku cukup lelah dengannya bertanya terus. Semua kumaklumi karena aku juga sedikit bosan di rumah ini terus.

Barangkali karena aku seperti dia. Mungkin juga dia akan lelah jika aku bertanya tentang Vanam. Kami pada dasarnya sama. Bosan dengan nasib saat ini, ingin mengubah keadaan.

Suatu saat, semua ini hanya akan menjadi sekadar kepingan kecil dari kisah yang terkubur di masa lalu.

Suatu saat, semua ini hanya akan menjadi sekadar kepingan kecil dari kisah yang terkubur di masa lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Forest's Daughter [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang