PULANG MALAM JALAN KAKI

4 1 1
                                    

Medio 1989

Kejadiannya waktu itu kira-kira jam 11 malam. Gue lagi jalan pulang dari rumah sahabat gue Robert Chandra yang kebetulan satu sekolah dan sekelas dari SMP sampai SMA. Rumahnya dekat sekali dengan sekolah SMP gue dulu di kawasan Galur, Jakarta Pusat. Dan karena jaraknya yang dekat, maka gue selalu jalan kaki kalo main ke rumahnya.

Waktu itu gue udah diterima di IKIP Jakarta (Maaf ya bukan UNJ) melalui jalur UMPTN, which in my opinion was a miracle. Gimana gak miracle cuuuiiiiii... Gue itu salah isi formulir UMPTN. Non-kependidikan dan Kependidikan gue campur... Yaitu gegara, bokap gue yang maunya gue masuk ekonomi UI... Hahahahahahahahaha... Otak gue gak nyampe utk masuk UI cuuuuiiiiii... Gue rangking buncit di kelas... Sementara gue pilih Bahasa Inggris IKIP Jakarta dan Musik ISI Yogya, kalo gak salah.

Robert dan beberapa teman sekelas gue aja udah bilang sama gue, gue gak bakalan bisa lolos karena salah isi formulir... Dan gue cuma bilang, "Masa bodo lah, bokap gue yang mau gue ke ekonomi UI!" UMPTN pun berlalu dan pas pengumunan di koran. Koran apa ya, gue lupa euy... POS KOTA kalo gak salah ya?... Gue baca ada nama gue diterima di IKIP Jakarta. Wuahahahahahahahaha... I cheated the system!

Singkat cerita, gue waktu itu mau acara Jambaksos (Jambore dan Bakti Sosial) fakultas gue, yaitu FPBS (Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni)... Untungnya bukan jambakloe, cuuuiiiii... Hahahahahahaha... Nah gue main ke rumah Robert karena lagi weekend... Pertama kali dalam hidup gue, gue mulai kenal apa yang namanya weekend karena ternyata hari Sabtu itu libur, gak ada kuliah... Uuuhhhhhuuuuuyyyyy.

Ya seperti biasa kita ngobrol ngalor-ngidul dan gue juga cerita kalo gue mau pergi jambaksos. Gak lama sebelum gue pulang, Robert cerita tentang kakeknya yang belum lama meninggal di Padang (kebetulan papanya Robert itu asli Padang, sedangkan mamanya Sunda keturunan China, makanya nama belakang Robert pakai nama mamanya Chandra).

Suatu ketika waktu dia dan keluarga ke Padang untuk menjenguk sang kakek yang hampir meninggal namun pada waktu itu masih menunggu kehadiran papanya Robert. Sebelum Robert dan keluarga kembali ke Jakarta, salah seorang pamannya menitipkan sesuatu kepada Robert, yaitu sebuah gelang bahar. Yang menarik dari cerita Robert adalah cara pamannya memasangkan gelang itu ketangannya (tangan kiri atau kanan gue lupa). Gelang itu tidak dimasukkan dari ujung jemari tangan tapi seperti ditepukkan ke pergelangan tangannya sambil dibacakan mantera dan gelang pun terpasang di tangannya.

Nah, karena Robert tidak suka dengan barang-barang semacam jimat seperti itu yang dilarang dalam ajaran Islam, dia pun berusaha melepaskan gelang itu. Gelang itu berhasil dilepaskan dari tangannya dengan cara dipatahkan. Kemudian gelang itu di'satukan' lagi dengan cara diikat dengan kawat tembaga.

Robert akhirnya menitipkan gelang itu ke gue untuk jaga-jaga selama jambaksos. Memang ada beberapa catatan, yaitu tidak boleh ditaruh di saku celana, harus di saku baju, dan gak boleh dibawa ke kamar mandi. Gue yang lugu langsung bilang, "Lha, masak gue harus pakai kemeja melulu di gunung? Terus kalo mendadak mau ke belakang pas lagi bakti sosial gue mesti titipin ke orang gitu? Mending gak usah lah... Ribet!"

Tapi karena Robert tetap minta gue bawa itu akar bahar, jadi gue bawa aja. Dengan catatan gue gak mau tanggung jawab kalo ada apa-apa, karena gue gak biasa pakai barang begituan.

Akhirnya gue pulang dari rumah Robert, jalan kaki pastinya. Nah biasanya pas di jembatan Galur itu gue langsung nyeberang jalan LetJen. Suprapto yang lebarnya udah kayak jalan tol. Tapi tiba-tiba malam itu gue belok lewat jalan kompleks Tangsi Penggorengan yang melewati TK gue dulu. Waktu jalan gue gak mikir apa-apa yang negatif atau scary. Gue cuma fokus mau pulang. Anjing-anjing kompleks udah pada masuk rumah jadi kagak ada yang gonggongin gue selama gue lewat.

Pas gue lewat di depan TK, tiba-tiba aja gue merinding... ding-ding bak ding-ding cuuuuiiii... dari bulu kaki sampai ubun-ubun berdiri semua eeeuuuuyyyyy.

"Anjrit!... Apaan nih!" dalam hati gue... Asli kaki gue hampir gak bisa jalan, kayak ketanam coran semen... Ada sesuatu berbentuk hitam besar di belakang gue (itu yang gue rasa waktu itu)... Gue udah mau noleh atau balik badan untuk ngeliat sosok itu dan ajak berantem (maklum gue jebolan Boedoet cuuuuuiiiii... Naluri tawuran itu begitu kental sepeti saos spaghetti... Hahahahahahaha).

Tapi ada suara yang ingatkan gue, "Gak usah balik badan... Gak usah noleh... Kamu belum sebanding dengan dia... Power kamu belum cukup kuat untuk melawan... Jalan terus dan belok ke jalan raya di depan itu... Saya yang jaga dan lindungi kamu!"

"Ini bukan suara batin gue cuuuuiiii, beda tone suaranya. Ini suara siapa?" tanya gue dalam batin. Tiba-tiba tangan kiri gue megang ke kantong baju dan gue remas akar bahar yang dititipkan Robert tadi.

"Saya ada di sini!... Tenang dan fokus melangkah ke depan... Tidak usah pedulikan yang mengganggu kamu saat ini." ucapnya.

"Oke! I trust you!" ujar gue dalam hati, karena memang gak bisa ngomong juga.

Sosok hitam di belakang gue berusaha nahan bahkan narik gue. Gue bersusah payah melangkah. Udah kayak narik pesawat boeing 747-400 yang penuh muatan.

Selangkah demi selangkah gue tapaki. Malam itu jadi perjalanan terlama pulang ke rumah sepanjang hidup gue gegara diganggu mahluk gak ada akhlak ini. "Nanti gue lepas, gue gampar loe, Nyet!... Iseng amat loe gangguin gue jalan pulang!" gerutu gue dalam hati.

Alhasih gue bisa lepas dari ikatan atau tarikan hantu tersebut pas gue bisa belok ke jalan yang menuju ke jalan raya. Dan benar aja gue langsung balik badan ke arah TK itu dan gue coba lihat mahluk macam apa tadi. Gue udah mau nyamperin balik, tapi sekali lagi gue ditahan sama si 'akar bahar' di kantong baju gue.

"Sudahjangan kamu lawan dia!... Yang penting kamu sudah selamat lepas dari dia!...Pulanglah!,,, Dan beristirahatlah!" ucapnya.

HANTU TAMAN KANAK-KANAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang