Aku masuk ke dalam apartemenku. Aku mencoba meraba tembok di belakang pintu. Mencari saklar untuk menyalakan lampu. Langit yang sudah beranjak petang membuat ruangan ini begitu gelap. Aku tidak ingat sudah meninggakan ruangan ini untuk berapa lama.
Aku menemukan tombol itu. Aku menekannya, dan seketika ujung tombol yang menonjol telah berpindah ke bagian atas. Kamar studio ini akhirnya terlihat jelas dimataku karena lampu telah menyala.
Namun pandanganku tetap terlihat begitu kosong. Aku hanya melihat ruangan ini menjadi terang tapi mataku tidak bisa mendeskripsikan satu persatu benda apa yang kulihat.
Aku berjalan gontai, totebag yang ku kenakan terlepas begitu saja dari tanganku dan tergeletak dilantai. Mataku penuh dengan genangan air, tapi air itu tidak mau menetes. Kepalaku terasa berdenyut hebat, sakit sekali. Mungkin jika tidak ada rambut disana, aku bisa melihat warnanya telah menjadi biru.
Tulang pipi dan rahang bagian kananku juga terasa sakit sekali. Aku sempat menyentuhnya tadi, dan itu membuatku tidak nyaman. Bahkan ujung bibir kanan ku terasa perih dan sedikit asin, seperti ada darah yang sempat keluar dan kini telah mengering.
Aku terduduk di depan cermin meja riasku. Lihatlah, betapa berantakannya diriku. Pantas saja, supir taksi yang tadi kutumpangi menatapku kasihan. Aku tersenyum pada diriku didalam cermin. Lihatlah orang bodoh ini, akhirnya ia bisa melepaskan diri dari hubungannya yang toxic.
Malam ini aku bangga pada diriku sendiri, yang telah berani menghadapi kenyataan dan berani mengambil keputusan. Aku lupa bahwa aku memiliki luka diujung bibir kananku, sehingga senyuman lebarku membuatnya sedikit perih.
Aku meraih kotak obat-obatan di laci paling bawah meja riasku. Aku mengambil sebotol alkohol dan sehelai kapas. Kapas basah itu terasa perih ketika mengenai luka di bibirku. Bukan masalah untukku, karena biasanya aku merasakan yang lebih perih dari ini. Setelahnya, aku berikan obat merah agar lukaku cepat mengering.
Tapi ternyata, bagian tubuhku yang berdarah bukan hanya itu saja. Aku melihat ada tiga garis panjang dipergelangan tangan kanan dengan darahku yang sudah mulai mengering. Pantas saja sedari tadi aku merasakan perih dibagian sana. Lalu kulakukan hal yang sama seperti tadi.
Aku harus menutupinya dengan baju lengan panjang agar orang lain tidak melihatnya. Tapi luka diwajahku benar-benar tidak bisa kututupi, walaupun dengan make up.
Aku menengadahkan wajahku kelangit-langit. Sambil berusaha menghela napas panjang. Aku ingin wajah dan tubuhku kembali normal. Aku beranjak menuju lemari pendingin. Aku mencari ice cube di freezer. Kemudian membungkusnya dengan kain.
Aku bersandar di pantry sambil mengompres wajahku yang lebam. Berharap semoga besok pagi sudah tidak sesakit dan selebam ini. Aku mengompres sambil memejamkan mata. Aku tidak menyesali apa yang telah terjadi. Aku hanya bersyukur bahwa aku telah melewatinya, bukan lari.
Mengheningkan ciptaku terhenti saat aku mendengar smart lock pintu kamarku berbunyi. Seseorang berusaha masuk dengan menekan password. Aku tersenyum, karena aku yakin dia tidak bisa membukanya, karena aku sudah mengganti password-nya . Setelah tiga kali mencoba dan tidak berhasil, orang itu mulai menggedor-gedor pintu dan memanggil namaku. Berharap aku mau membukakan pintu untuknya.
"Nana, bukalah, kumohon, aku minta maaf,"
Kalimat itu membuatku merasakan dejavu, terasa sangat geli di telingaku. Sudahlah, kali ini pertahananku tidak akan runtuh. Aku bukanlah wanita selemah dulu.
Ponselku berdering. Aku mengambilnya dari saku belakang celanaku. Dilayar tertulis nama Adam. Rupanya ia tidak menyerah setelah aku tidak membukakannya pintu. Baiklah, aku akan tunjukkan seberapa kuatnya diriku kali ini.
"Nana, aku mohon, bukakan pintu, aku minta maaf padamu, tolong jangan begini, jangan tinggalkan aku,"
Belum sampai ponsel itu menyentuh telingaku, ia sudah bicara terlalu banyak. Aku muak mendengar kalimat itu berulang kali. Aku sudah memutuskan hubungan dengannya empat bulan lalu, namun ia masih seperti ini.
"Pergilah, aku sudah memiliki banyak bukti, jika kamu masih bertindak seperti ini, aku akan segera melapor pada polisi,"
"Jangan Nana, kita bisa menyelesaikannya baik-baik," pinta Adam.
"Kamu sudah melakukan hal yang tidak baik, sebelum aku membalasmu, kumohon pergilah," pintaku.
Sebenarnya aku sedang membenci diriku sendiri. Kenapa aku masih bersikap baik padanya. Sedangkan ia telah berulang kali menyakitiku. Usai kututup teleponnya, suaranya di depan pintuku sudah tidak ada lagi. Baguslah jika ia sudah pergi.
Aku menatap layar ponselku sambil tetap mengompres. Ya, aku benar-benar harus bisa lepas darinya. Aku tekan kontaknya dilayar ponselku, aku buka menu edit, dan aku geser halaman kontak itu hingga ke halaman paling bawah, dan aku menekan tombol blokir. Ya, aku sudah memblokirnya, kini ia tidak bisa menghubungiku lagi. Mungkin ini yang terbaik. Entah kenapa aku merasa sangat lega.
Adam, dia adalah kekasihku, tidak, maksudku mantan kekasih. Aku berpacaran dengannya saat semester pertama. Kami bertemu tidak sengaja ketika sedang menghadiri inaugurasi penyambutan mahasiswa baru saat itu.
Dia begitu baik dan setia. Iya, dia sangat setia, dia tidak pernah dekat dengan gadis lain ketika bersamaku. Jika kalian mengatakan tidak mungkin ya terserah, namun teman-teman dekatnya mengatakan itu padaku. Mungkin temannya menutupinya, ya mungkin saja. Namun kalian tahu kan, seorang wanita bisanya memiliki insting yang kuat saat pria sudah mulai tidak beres?
Dia adalah pacar pertamaku. Tapi aku tidak tahu apakah dia cinta pertamaku atau bukan. Kami berada di fakultas yang berbeda. Aku mahasiswa Fakultas pertanian dan dia adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi. Dia selalu mengantar dan menjemputku setiap hari karena ia memiliki banyak waktu luang dibanding denganku. Aku menyukainya, tapi akhirnya aku menyadari bahwa akhirnya aku tidak memiliki banyak waktu dengan teman-teman kampusku. Bahkan aku tidak memiliki banyak teman.
Aku sangat menyukainya, hingga akhirnya dia mulai bertindak kasar padaku. Setelah satu tahun lebih kami berpacaran, akhirnya aku dan Adam berhubungan badan selayaknya pasangan kekasih di semester tiga. Dari sana permasalahan ini bermula. Semenjak itu ia mulai terlihat lebih posesif padaku, diatas segalanya.
Ia tidak membiarkanku pulang kuliah telat. Ia tidak membiarkanku berbicara dengan teman-teman kelasku terutama teman lelakiku. Ia menyuruhku untuk selalu memegang ponsel, jika aku tidak membalasnya sedetik saja dia akan mulai marah dan menaruh curiga berlebihan.
Padahal ia tahu aku adalah mahasiswa Pertanian, yang selesai kuliah harus melakukan praktik dan menyelesaikan tugas kuliah dan tugas praktik. Sedangkan ia mahasiswa ekonomi yang tidak ada praktikum dan lebih santai dibanding aku.
Bahkan ia tidak mengijinkanku memakai pakaian yang menunjukkan lekuk badanku atau rok pendek. Semua tentangku diaturnya. Jika aku melanggarnya, maka seperti yang kalian bayangkan, ia akan memukulku hingga puas.
Dan aku harus menutupi semua perbuatannya dari orang-orang. Jika aku mendapat luka di bagian tubuh yang bisa di lihat orang, aku akan berusaha menutupinya dengan pakaian panjangku. Jika itu diwajah, maka aku berusaha memakai make up tebal.
Sungguh menyiksa. Tidak hanya fisikku, namun batinku juga terkuras. Aku sudah tidak memiliki perasaan apapun padanya. Perasaan yang aku punya hanya perasaan marah dan kecewa. Hingga akhir semester lalu aku mulai memberanikan diri untuk putus darinya.
Dia menolak dengan keras, dan aku terus memaksa. Senjatanya adalah selalu mengancam untuk bunuh diri. Aku yang kawatir, akan datang padanya untuk mencegah. Namun kalian bisa tebak? Lagi-lagi ia memukulku.
Hubungan kami sudah tidak baik, namun ia terus mencoba menarik perhatianku. Tapi maaf, kali ini pertahananku tidak akan goyah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfume Addicted To You
RomanceAthena Youra, mahasiswi yang akrab disapa Nana sedang berada dalam krisis mencari jati dirinya, ia menjadi tidak percaya dengan cinta. Ia pernah disakiti fisik dan batinnya oleh mantan kekasihnya. kini ia hanya mencintai dirinya sendiri. Finn Nevan...