cerpen ini saya buat kurang lebih 2 tahun lalu, didampingi sepupu saya yang palingcantik. semoga kita jangan pernah menyerah ketika menyanyangi seseorang karena Allah. enjoy! :)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Namaku Rizal. Umurku 22 tahun. Hampir sepertiga umurku kuhabiskan untuk menyia-nyiakan hidupku. Aku terlahir di tengah keluarga yang tidak harmonis. Orang tuaku tidak pernah rukun. Aku harus mendengar mereka bertengkar setiap hari sejak aku kecil. Rasanya sudah kebal telingaku mendengar benda-benda di dalam rumah dibanting hingga remuk, seremuk hatiku.
Ketika SMA, aku aktif dalam genk sekolah. Tawuran, mencorat-coret tembok di sembarang tempat, minum minuman keras hingga mabuk sering aku lakukan ketika itu. Di dalam keluargaku, agama tidak menjadi pedoman yang kuat. Pernah suatu saat aku diusir oleh ayahku.
“Pulang pagi, mabuk-mabukan, dipanggil kepala sekolah, kerjamu hanya mempermalukan ayah saja!” kata ayahku.
“Lebih baik aku mabuk-mabukan di luar daripada harus mendengar ayah dan ibu bertengkar setiap hari. Sebenarnya ayah bisa mendidik anak atau tidak?” balasku lebih keras. Mendengar itu ayahku langsung menampar pipi kananku.
“Anak tidak tahu sopan santun! Tahu apa kau soal mendidik anak, hah? Pergi kau dari rumah ini dan jangan kembali jika kau belum bisa memperbaiki sikapmu!”
“Aku bisa hidup tanpa ayah!” kataku sok jagoan.
Setelah itu aku tinggal di kos temanku. Walaupun aku sudah diusir oleh ayahku, tetapi ibuku tidak pernah lupa mengirimiku uang melalui rekening bank yang beliau buatkan untukku. Tanpa sepengetahuan ayah tentunya. Meski aku masih belum bisa menjadi anak baik, ibuku tetap sabar menghadapiku.
Setahun berlalu hingga aku lulus SMA. Aku melanjutkan kuliah di salah satu universitas terkenal di Jogja. Suatu hari sepupuku meneleponku. Ia berkata bahwa ibuku meninggal dunia karena serangan jantung. Aku tidak tahu bagaimana hancurnya perasaanku. Satu-satunya hal yang membuat seorang jagoan seperti aku menangis. Setelah mendapat telepon dari sepupuku, aku segera pulang ke rumah demi melihat jasad ibuku untuk yang terakhir kalinya. Semua berjalan bagaikan angin topan. Ibu adalah satu-satunya orang yang bisa menerimaku apa adanya. Ibu adalah orang yang paling aku cintai. Ibu yang selama ini membuat aku mampu bertahan hidup.
Setelah ibu tiada, ayahku minta maaf padaku dan memintaku kembali ke rumah. Awalnya aku enggan. Aku merasa tanpa ibu, hidup ini tidak akan ada artinya lagi. Namun ayahku terus memaksa. Akhirnya kuterima juga pintanya.
Dulu waktu aku masih kecil, ibu berkata bahwa aku harus menjadi orang yang mandiri. Ibu ingin aku terus sekolah hingga menjadi anak yang bisa dibanggakan. Tapi apa yang kuperbuat selama ini justru menyakiti hati ibu. Karena ibu juga, aku ingin terus melanjutkan kuliahku.
Hari itu jam kuliahku sudah habis. Aku berjalan tanpa tujuan.
“Allahu akbar allahu akbaaaar…”
Aku mendengar azan dzuhur. Kulangkahkan kakiku menuju masjid kampus yang cukup megah. Selesai solat berjamaah, aku duduk termenung, masih menghadap kiblat. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir aku solat. Ya Allah, ampunilah hambaMu yang tidak tahu diri ini.
Seseorang yang sejak solat tadi berada di sampingku menepuk pundakku, membuyarkan lamunanku. Aku menoleh. Seorang pria berpeci, mengenakan kemeja putih bersih dengan sorban melilit lehernya. Aku membalas senyum pria itu.
“Ayo, mas, kita duduk di pinggir sana. Di sebelah sini akan dirapikan untuk pengajian,” ajaknya ramah.
Kami mulai berbincang. Pria itu bernama ustadz Fauzi. Ternyata ustadz itu yang akan mengisi pengajian kampus hari ini. Ustadz Fauzi menanyaiku banyak hal. Aku merasa beliau adalah orang yang bisa diajak bercerita. Akhirnya, kuceritakan tentang semua yang kualami dalam hidupku, juga tentang keinginanku memperbaiki diri. Aku ingin bertaubat. Ustadz Fauzi menanggapiku dengan ramah dan menyenangkan. Beliau menyarankanku berkunjung ke Pondok Pesantren Sirotul Mustaqim milik teman ustadz Fauzi. Aku diberi alamat lengkapnya.