Hilalnya udah mulai keliatan.
Kawal sampai ending ya!🙂🙂🙂
"Maafkan papa, Nak."
Kuhapus airmata yang tidak mau berhenti sekalipun kami telah merenggangkan pelukan dan duduk di sofa pastel kamarku.
Papa memandangku sendu sekali, terlebih ketika melihat kondisi pipiku yang merah. "Sudah lebih tenang?"
Kupeluk lutut yang memang kunaikkan ke sofa. Wajahku kutenggelamkan di sana, lantas mengangguk. Inginku bertanya, papa ke mana aja selama ini? Kenapa baru datang? Tapi lidahku kelu, pertanyaan itu tertelan kembali.
Bisa kurasakan papa memandangiku dalam-dalam. "Tinggal sama papa lagi ya?"
Wajahku kontan mendongak, terarah pada tatapan serius papa. Berikutnya, kepalaku dielusnya. "Maaf karena papa bersikap pengecut selama ini." Usapan itu terhenti, terganti dengan menunduknya papa penuh penyesalan. "Papa terlalu membenci mama kamu sampai lupa untuk memberikan hak-hakmu sebagai seorang anak. Papa sibuk mengobati luka hati papa dengan membentuk keluarga baru sampai lupa ada kamu yang harus papa perhatikan. Papa tahu papa salah ..." Jeda sejenak, diiringi helaan napas berat. "Papa mencari pelarian, dan pada akhirnya melukai lebih banyak orang."
Aku mengerjap dengan sisa basah di sudut mata. Lebih banyak orang? Siapa? Istrinya? Keas?
Papa lalu tersenyum, mengusap kepalaku lagi. "Nana mau, kan, tinggal lagi sama papa?"
Aku mengerjap lagi. Kerongkonganku tercekat. Kuturunkan pandangan lurus pada lutut yang kupeluk erat. Tinggal dengan papa? Artinya tinggal dengan istrinya juga kan? Entah kenapa antusiasku hilang bahkan sebelum bangkit sepenuhnya.
Pada akhirnya, respon yang mampu kuberikan pun hanya menggeleng pelan, tanpa berani menatap papa.
Kepalaku dielus lagi. "Kenapa?"
"..."
"Papa tahu Nana benci papa, tapi apa boleh papa memperbaiki segalanya? Mungkin ini memang terlalu terlambat, Nak. Tapi papa memberanikan diri untuk menemui Nana meskipun malu."
Kugigit bibir kuat-kuat. "Nana gak suka Tante Merlin," lirihku pada akhirnya. Usapan papa kontan terhenti. Suasana pun terasa lebih senyap bersamaan bungkamnya papa selama beberapa saat.
Masih kuingat betul bagaimana pandangan tidak sukanya istri papa itu kala membawaku tinggal bersama mereka. Lalu disusul dengan ketidaksukaan-ketidaksukaan lainnya yang tercermin lewat sikap wanita itu. Aku menggeleng. Aku tidak mau hidup dalam situasi seperti itu lagi. Hidup sendiri lebih baik.
"Papa mengerti."
Aku kontan menoleh. Papa tersenyum mendapati raut heranku. "Papa serius soal permintaan papa yang ingin Nana tinggal bareng papa lagi."
"..."
"Tunggu sebentar lagi ya, Nak? Nana mau kan?"
✧❁❁❁✧
"Papa sama mama mau cerai."
Perlu waktu sekian detik untukku mencerna ucapan Keas.
"Yeah, tapi gue gak heran sih, mereka ribut terus tiap hari."
Kuamati Keas yang berusaha bersikap biasa saja. Sayang sekali dia tidak bisa menipuku. Terlebih, aku tahu betul rasanya.
"Sebenarnya ..."
Sebelah alisku meninggi heran. Ucapan Keas menggantung, lalu kudapati botol milo yang dia genggam sedikit penyok.
"Sebenarnya ... Mama sempat minta papa milih antara kami dan kak Thana."
![](https://img.wattpad.com/cover/277005119-288-k321641.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
IF (Friendshit, Broken Home, Love triangle)
Teen FictionThana hanya ingin dianggap ada. Thana hanya ingin kelahirannya diinginkan. Namun agaknya itu berlebihan ya? Pengandaian hanya milik manusia tanpa harapan. Manusia tanpa harapan itu menyedihkan. Dan Thana tidak mau jadi menyedihkan. Karena itu ... Th...