BAB -11-

1.8K 137 29
                                    

            Aku terdiam dengan sempurna di dalam kamar mandi, sialnya, kenapa tidak ada satu orang pun yang datang. Bahkan aku sampai tidak bisa meminta bantuan, hingga mataku terasa sangat berat dan aku mengantuk, pintu itu pun akhirnya terbuka.

Lapar, tentu saja. Lelah, apa lagi. Ingin menangis, jangan ditanya. Semuanya merasuk menjadi satu dalam hidupku dengan sempurna. Aku sama sekali tidak tahu kenapa bisa mengalami kesialannya ini dengan sangat nyata, bertemu dengan manusia-manusia jahat seperti pemuda kota yang sok keren itu, sok berkuasa dan seolah dunia ini adalah miliknya. Dia tidak tahu siapa aku, bahkan romoku bisa membeli mulutnya, bisa membeli harga dirinya, atau bahkan keluarganya.

Aku memandang sepasang sepatu yang beberapa hari ini sudah sangat tidak asing sama sekali, dan sepasang kaki itu kini melangkah masuk mendekatiku. Kedua kakiku kesemutan, tidak bisa untuk sekadar berdiri atau pun berjalan. Pemuda menyebalkan itu mendekat, sambil bersedekap seolah dia sedang merayakan kemenangannya.

"Kampungan," ucapnya seraya meledekku, aku sama sekali tidak tahu, bagaimana bisa dia bersikap seperti itu kepadaku. Apakah hanya karena menolak surat cinta yang menjadi salah satu syaratnya waktu OSPEK lantas aku diperlakukan dengan cara bodoh seperti ini? Menyebalkan.

"Pecundang," kubilang.

Pemuda itu langsung menangkap wajahku dengan tangan besarnya, menekan rahangku sampai terasa ngilu luar biasa. Mataku yang memerah menahan agar aku tidak menangis pun berusaha memandangnya, aku tidak akan pernah takut kepada pemuda menyebalkan seperti dia!

"Kamu tahu apa salahmu? Apa kamu sudah merenungi apa kesalahanmu selagi kamu terkurung di sini?" tanyanya, kucoba palingkan wajahnya, tapi dia masih menahannya. Aku sama sekali tidak menyangka jika satu tangannya saja bisa sekuat ini menyakitiku. "Pertama, aku nggak pernah ditolak oleh perempuan mana pun. Kamu adalah satu-satunya perempuan yang dengan berani mempermalukanku di depan umum, dengan cara menolak suratku yang bahkan itu hanyalah sebuah tantangan dari ketua BEM, yang kedua kamu adalah perempuan kampung. Entah mengapa setiap kali melihat perempuan kampung sepertimu membuatku benar-benar muak. Kamu tahu apa kesalahanmu? Bersikap kalau kamu adalah perempuan paling lugu, perempuan paling suci, dan perempuan paling benar. Padahal kenyataannya, nggak jarang aku melihat pelacur yang berkedok seperti perempuan-perempuan sepertimu. Atau, kamu mau aku tunjukkan bagaimana caranya menjadi pelacur?"

Plak!!!

Aku sama sekali tidak menyangka, bagaimana bisa ada pemuda yang memilki mulut sebejat dia. Bagaimana bisa dia memukul rata semua perempuan di dunia ini sama. Aku tidak akan pernah membiarkan pemuda seperti dia sampai menginjak-injak harga diriku sampai seperti ini.

"Dan aku selalu berdoa, agar kelak kamu berjodoh dengan perempuan kampung, atau bahkan pelacur kampung. Agar kamu tahu bagaimana rasanya memiliki istri yang sudah tidak suci lagi,"

"Sialan kamu!"

"Kamu yang sialan!" teriakku kepadanya. Suaraku menggema ke seluruh ruang kamar mandi dan itu terdengar sedikit menakutkan. Pemuda itu langsung menarik tubuhku, sampai dadaku membentur tembok dengan sempurna. Sangat menyakitkan, bahkan mungkin ada luka di sana dengan sangat nyata. Pemuda itu langsung mendekatkan wajahnya, menciumku dengan brutal, mencoba untuk melepaskan rokku dan membuat rokku robek di bagian lengannya.

Aku menjerit sejadinya, berusaha meminta tolong dari apa pun yang ingin pemuda itu lakukan. Hingga akhirnya dia menghentikan kegilaannya, mengusap bibirnya dengan lengan kemejanya lalu dia tersenyum kepadaku. Aku bersumpah, aku tidak akan pernah memaafkan laki-laki seperti dia.

"Jika kamu tahu siapa aku, aku yakin kamu akan menyesal! Aku adalah Rianti Hendarmoki, putri dari Juragan Besar Nathan Hendarmoko, berani-beraninya kamu bersikap seperti ini kepadaku!" teriakku pada akhirnya.

Tangisanku pecah, aku sudah tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan sekarang. Aku juga sudah tidak peduli dengan apa pun yang sedang dilakukan oleh pemuda itu sekarang. Namun telingaku bisa mendengar langkah kaki itu tampak menjauh dan pergi begitu saja. Tidak berapa lama, ada derap langkah lainnya masuk, seorang satpam kampus yang datang menolongku. Aku tidak tahu, bagaimana bisa satpam itu datang untuk menolongku. Sebab rasanya dia telah terlambat begitu lama.

"Mbak Rianti kenapa? Bagaimana Mbak Rianti bisa seperti ini?" satpam itu tampak panik, kebetulan dia mengenakan jaket, dan diberikannya jaket itu kepadaku.

Kedua kakiku masih enggan untuk berdiri, tubuhku menggigil hebat, apa yang telah dilakukan pemuda itu benar-benar membuat kewarasanku sangat terguncang.

"Aku mau pulang, aku tidak mau kuliah lagi. Aku mau pulang," lirihku, hingga akhirnya aku tidak sadarkan diri.

*****

"Rianti, Rianti, apa kamu baik-baik saja?"

Suara itu terdengar lamat-lamat di telingaku, saat aku membuka mata aku melihat sudah ada Romo yang berada di sampingku, menggenggam erat tanganku, dan mimik wajahnya tampak begitu khawatir. Aku mencoba untuk bangun, tapi Romo melarangku, sepertinya aku sudah tertidur cukup lama, dan aku tidak tahu sejak kapan aku tidak sadarkan diri dengan cara seperti ini.

"Romo, kamu datang?" tanyaku dengan begitu bodoh.

Romo tampak mengangguk, dia menciumi tanganku dengan sayang, untuk kemudian dia memelukku dengan sangat erat.

"Asih telah mengatakan segalanya kepadaku, kamu pulang ke rumah dengan kondisi yang sudah ndhak sadarkan diri, diantar oleh satpam Universitas dengan pakaian yang terkoyak. Sebenarnya apa yang terjadi, Ndhuk? Adakah pemuda yang telah mengerjaimu sampai seperti ini? Katakanlah kepada Romo siapa pemuda sialan itu, Romo akan membuat perhitungan kepadanya dan akan menghukumnya sampai pemuda itu ndhak akan pernah berani datang kesini lagi!"

Aku sama sekali tidak menyangka jika Romo akan sepeduli ini kepadaku, aku langsung menangis dalam pelukannya. Aku merasa lelah, hatiku terasa sakit, rasanya aku enggan lagi untuk berkuliah. Namun jika aku berkuliah maka yang terjadi adalah, Romo dan Biung pasti akan kecewa, dan mereka akan sedih. Aku sama sekali tidak ingin membuat orangtuaku kecewa kepadaku.

"Ndhuk, katakanlah kepada Romo. Siapa pemuda ndhak tahu diri itu yang berani-beraninya berlaku jahat kepadamu. Apakah mereka ndhak tahu siapa kamu ini? Rianti Hendarmoko, putri kesayangan dari Juragan Besar Nathan Hendarmoko, yang bahkan namanya saja sudah cukup mengguncang dunia dan alam raya ini."

"Aku ndhak apa-apa, Romo. Kemarin aku terjebak di kamar mandi, kenapa rokku terkoyak karena aku berusaha untuk keluar dari kamar mandi, bagian lengannya terkena paku dan robek. Itu sama sekali ndhak ada kaitannya dengan siapa pun yang ada di sini. Percayalah kepadaku."

"Tapi—"

"Aku baik-baik saja, Romo. Aku hanya lelah, percaya denganku, Romo."

Aku bisa merasakan bagaimana Romo mengecup puncak kepalaku dengan sempurna, rasanya ingin seperti ini terus ketika aku selalu dimanjakan oleh Romo, tetap menjadi sosok yang paling berharga dan istimewa tanpa harus merasakan pelecehan atau hinaan di luar sana. Bisakah aku tetap menjadi Rianti kecil yang egois? Ketika tidak ada siapa pun yang berani denganku, ketika semua kekuasaan dan semua hal tunduk di bawah kakiku. Di sini aku seperti sendiri, dan seolah semua orang tampak membenciku, mengucilkanku, atau bahkan mereka memandangku dengan sebelah mata.

Kenapa? Apakah karena pakaianku yang menurut mereka cenderung ndeso, dan kuno? Yang tidak nyentrik dan seksi seperti mereka? Aku bukannya tidak mampu, hanya saja aku tidak ingin menghapus jati diriku sebagai seorang perempuan kampung, terlebih sebagai seorang Ndoro Putri di mana pun aku berada. Ataukah karena rambutku dikepang dua atau dikuncir dua? Tidak seperti mereka yang rambutnya digerai juga dikriting atau bahkan dipotong seperti laki-laki? Aku memegang prinsip jika tidak ada pemuda yang boleh melihatku menggeraikan rambut, suatu pantangan bagi seorang Ndoro Putri untuk memperlihatkan hal itu di depan banyak orang. Tidak bisakah untuk mereka tetap memahami apa yang selalu ingin aku junjung tinggi? Itu adalah tradisiku, adatku, dan kebanggaanku. Bagaimana bisa mereka melecehkanku hanya karena apa yang ingin aku lindungi itu. Terlebih pemuda bernama Bima, bahkan sampai aku mati aku tidak akan pernah memaafkannya. Memandang rendah perempuan kampung dan mengatakan jika perempuan kampung adalah pelacur adalah hal yang tidak bisa untuk dimaafkan, terlebih dari apa yang pernah dia lakukan kepadaku tadi. Melihatnya menderita, dan melihatnya sengsara adalah doaku setiap hari untuknya mulai dari sekarang ini.

RIANTI (Dendam Terindah)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang