Orang bilang memiliki fisik yang sempurna adalah sebuah kunci kebahagiaan, karena pasti akan ada banyak orang yang menyukainya, akan punya banyak teman, akan populer, akan dikenal orang banyak, dan juga akan disayang ibu dan ayah.
Tapi, apa jadinya kalau kesempurnaan itu lahir dari hal yang tidak diinginkan?
Seperti aku.
Aku terlahir dengan fisik yang sempurna, wajah yang cantik, tubuh mungil yang ideal, memiliki kepintaran di atas rata-rata.
Namun, semua itu bukanlah apa-apa di mata ayah dan ibu. Itu karena mereka tidak menginginkan kelahiran ku.
Aku bukan anak haram.
Bukan juga anak yang ditinggalkan seorang ibu di depan pintu rumah dengan sebuah surat.
Aku terlahir dari rahim ibuku sendiri, aku terlahir atas dasar cinta ayah dan ibu. Tapi, aku terlahir karena belum waktunya. Atau mungkin tidak seharusnya.
Setelah aku dilahirkan, kedua orang tuaku tidak pernah memperlakukan aku selayaknya anak mereka. Aku selalu dipukuli, diteriaki, bahkan bisa lebih buruk dari itu.
Dalam mitos yang ayah dan ibuku percayai, kelahiran anak pertama dengan jenis kelamin perempuan akan membawa malapetaka. Ditambah, ayah tidak menginginkan seorang anak dalam waktu yang lama.
Namun, kelahiran ku begitu cepat, dan sialnya jenis kelaminku adalah perempuan.
Terkadang aku berpikir, apakah itu kesalahanku? Kalau tidak menginginkan anak kenapa tidak membunuhku saat aku masih di dalam kandungan? Kenapa kalian tega menyiksa seorang anak yang tidak bersalah.
Karena setiap hari di hidupku, selalu mendapatkan hukuman dan tekanan, aku menjadi pendiam. Saat menginjakkan kakiku di sekolah dasar (SD) pun, aku enggan berteman. Begitu pula saat di sekolah menengah pertama (SMP).
Aku tidak banyak bicara dan juga tidak banyak bertindak. Karena hal itu teman-teman di kelas membenciku dan menganggap aku adalah anak yang aneh.
Mereka mem-bully ku, mengataiku bisu, meneriaki aku orang bodoh, dan juga tidak takut memukulku.
Tapi, aku tidak berbuat apa-apa dan hanya diam, karena aku sangat takut.
Suara ayah dan ibu yang selalu meneriaki kalimat-kalimat itu membuatku takut bertindak.
'Jangan lakukan apapun yang kau inginkan! Kau akan membawa petaka! Kalau kau ingin hidup, jangan melawan, jangan menjadi sok berani!'
'Diam saja! Menurut! Jangan melawan!'
Mereka selalu berkata seperti itu, saat aku merasa marah aku menjadi takut, dan itu membuatku semakin melangkah mundur.
Aku bahkan tidak berani menengadahkan kepalaku untuk menatap orang di hadapanku. Karena saat aku melakukannya, aku pasti akan ditampar dengan keras oleh ayah.
Setiap hari di hidupku yang seperti neraka membuatku merasa mati. Setiap pulang ke rumah aku langsung dipukuli tanpa sebab. Aku seperti objek mereka untuk memuaskan hasrat.
Aku tahu, kalian yang mendengarnya pasti akan mengatakan kalau orang tuaku adalah orang gila atau mungkin sepasang psikopat.
Meskipun begitu, mereka adalah orang tuaku, dan mereka tetap membiarkan aku tinggal di rumah, makan dan tidur sewajarnya.
Bukan sekali dua kali aku merasa muak dan lelah dengan perlakuan kasar mereka, hal itu sudah seperti rutinitas setiap hari untukku. Ingin kabur pun, setelahnya aku akan tinggal di mana? Makan dengan apa?
.
.Saat ini usiaku 16 tahun, aku kelas dua sekolah menengah atas (SMA). Kehidupan sekolahku seperti yang kukatakan tadi, hanya saja perlakuan kasar dari teman-teman tidak separah saat aku berada di sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP).
Karena fisikku yang sempurna, membuat teman sekolahku sedikit memperhatikanku, namun aku tetap pendiam dan bersikap sewajarnya. Menjawab pertanyaan dengan singkat, tersenyum pada mereka untuk menutupi luka. Begitulah diriku.
Tidak ada yang tahu di balik seragam ini ada banyak memar yang begitu menyakitkan. Tidak ada yang tahu di balik senyuman ini ada rasa sakit yang tertahan.
Aku seperti menipu dunia dan diriku sendiri.
Setiap malam, kala ayah dan ibu sedang tidur aku selalu pergi keluar, ke sebuah kebun yang dipenuhi bunga mawar yang sangat cantik. Tempat itu menjadi tempatku melepas rasa sakit. Sambil menangis terkadang aku berbicara pada bintang.
"Apa kehidupanmu seperti cahaya indah yang kau pancarkan?"
"Apakah kau pernah redup?"
"Aku ingin hidup sepertimu, sangat bercahaya."
.
.Selama 16 tahun aku hidup dengan kesengsaraan, aku rasa sudah cukup memuakkan. Terlebih tiap do'a yang kupanjatkan tidak pernah sekalipun dewa kabulkan.
Hari itu aku membolos, aku terdiam di sebuah lorong yang gelap dan juga sunyi, menangis sambil memikirkan banyak hal dan mengingat-ingat apakah masih ada hal yang dapat membuatku tetap bertahan di dunia.
Aku mengeluarkan sebuah belati di dalam tasku setelah aku ingat, tidak ada apapun lagi yang dapat membuatku bertahan.
Hidupku.
Dewa.
Semuanya.
Sangat memuakkan.
Dengan tekad yang kuat, tanpa takut aku menyayat pergelangan tanganku. Sangat dalam. Rasanya sangat menyakitkan.
Melihat darah yang mengalir dari tanganku membuatku teringat dengan darah yang selalu mengalir bersamaan dengan air.
Aku menghela nafasku dan perlahan memejamkan mataku.
"Hah aku masih hidup?!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
second live [神からの祝福]
RomanceKehidupan yang dijalani elis begitu menyakitkan hingga rasanya dia tidak ingin hidup. Berapa kalipun dia meminta kepada dewa agar kehidupannya di berkahi kebaikan, tapi dewa yang dia percaya tidak pernah mengabulkan pintanya. Sampai elis merasa sang...