Angin.

131 21 0
                                    

Hujan turun, membasahi daerah yang sudah banjir itu. Ditengah genangan air terdapat suatu kesesalan yang terlihat.

Nami, masih murung. Kian mengisolasi diri dari sosialisasi masyarakat, menenggelamkan dirinya kedalam siksaan penyesalan.

'Andai' kata yang terus teriang, membuatnya sesak dalam lamunan. Memikirkan hari esok, akankah ia kuat menghadapi dunia tanpa sohibnya?

Sudah 40 hari setelah kepergian Robin, namun kenangan dan kehadiran Robin masih lengket di kepalanya.

Setiap hari, setiap malam. Selalu, selalu Nami pikirkan "apa yang akan aku lakukan setelah ini?" Mengingat dirinya tengah mendapati libur panjang.

Kadang malam tiba, dengan mimpi indahnya. Yang membuatnya tak mau bangun dan terus tertidur. Karna didalam mimpi itu, Robin masih ada.

"Tidur malamku mimpi indah, ingat kamu."

Setiap kali ia menangis, setiap kali ia tertawa, dan setiap kali ia tersenyum. Nami merasa bahwa dirinya sudah gila, dihantui dengan kerinduan.

Kerinduan yang kadang kala menggebu, mendorongnya untuk menyusul.

Kerinduan yang kadang kala menggebu, mendorongnya untuk menyusul

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Robin, ini semua terasa seperti mimpi. Rasa-rasa baru kemarin kau berada disisiku."


"Robin, disini sunyi. Aku tak mendapati kesenangan sama sekali."

* * *


Malam hari, Nami menghadiri 40 hari-an orang yang telah kembali kepada Sang Pencipta. Duduk diam dan mengamati segala hal yang ada didepannya.

Melihat dan mendengar gurauan teman-temannya membuat ia menarik simpul senyum di ujung bibir, kadang terkekeh dengan tingkah absurd mereka.

Nami, teruslah berusaha berbahagia. Agar Robin tak perlu khawatir dengan keadaanmu didunia. Kuatlah bersama mereka.

Waktu begitu cepat, jam menunjukan pukul 04:56 dini hari. Nami keluar dan menatap matahari akan naik diteras rumah Robin.

Semalam mereka semua menginap dengan alasan 'menemani' ibu Robin yang kesepian, ini adalah usul Luffy.

Okay, Nami agak ragu dengan alasan itu. Karna yang ia lihat hanya Luffy yang terus memakan masakan ibu Robin, oh. Temannya sangat penggila makanan.

Kembali dengan sunshine yang datang perlahan, menampakan langit indah dengan warnanya. Terdengar telapak kaki mendekat.

Chopper, tiba disamping Nami sambil mengucek matanya dan menguap.

"Selamat pagi, Nami. Apa yang kau lakukan pagi ini." Sapanya dengan suara kantuk.

"Pagi, chop. Tidak ada, aku hanya menikmati langit yang indah."

"Sangat indah, seperti senyum Robin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sangat indah, seperti senyum Robin. Yang menangkan hati." Tutur Nami, membuat Chopper terlepas dari kantuknya.

"Nami..."

"Ya?"

"Semalam aku melihat Robin berdiri didepan pintu." Ucap Chopper pelan agar tidak ada yang mendengar percakapan mereka.

"Apa yang dia lakukan?" Nami menarik senyumnya.

"Dia menangis, dia masih ingin bermain dengan kita." Ucap Chopper dengan jelas.

Nami menatap langit begitu sedu, mengerti apa yang Chopper maksud membuatnya sedikit senang. Karna Robin, sangat menyayangi teman-temannya.

"Hee... begitu ya, Robin."

"Hiduplah didalam diriku."







Reaweasly.

"Karna kehilanganmu, aku ingin hidup." (ONE PIECE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang