"Ada kalanya kita sebagai anak harus selalu mengerti tentang apa yang dikatakan orang tua. Ada kalanya juga kita sebagai anak akan jenuh dengan apa-apa yang dikatakan orang tua."
***
"Anjani! Bangun, ini sudah subuh. Kamu taunya tidur saja. Mau sampai kapan kamu begitu? Bangun cepat!" Amsa--emaknya Anjani selalu seperti itu di kala hari sudah subuh.
"Iya, Mak. Sebentar lagi." Matanya masih terpejam, tapi tangannya menggaruk-garuk lengannya yang digigit nyamuk.
Mungkin emaknya sudah muak melihat Anjani yang tidak pernah berubah. Salat subuh mesti dibangunkan, makan pagi harus dipanggil berulang-ulang, makan siang dan makan malam juga begitu. Itu semua karena sifat Anjani yang selalu tenang, seolah tak perduli apapun yang terjadi. Padahal, sifatnya yang seperti itu sering kali membuat emaknya naik pitam.
Salat subuh sudah, mandi belum. Begitulah dia, tidur lagi setelah selesai salat subuh. Walaupun dia tau itu tidak dianjurkan bagi umat muslim.
Nabi Muhammad bersabda: "Seusai shalat fajar (subuh), janganlah kamu tidur sehingga melalaikan kamu untuk mencari rizki" (HR Thabrani). Para ulama, sebagaimana diungkapkan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, sampai-sampai menempatkan hukum tidur sehabis subuh sebagai makruh.
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Itu artinya dia harus mandi, sarapan, dan bersiap untuk ke kampus. Anjani seorang mahasiswi semester lima di salah satu universitas terdekat dari rumahnya. Kuliah bukan pilihannya, namun itu pilihan emaknya.
"Kamu ini, lelet sekali. Kamu itu perempuan dan juga sudah besar. Harusnya kamu tau bagaimana menjadi anak perempuan yang baik." Amsa meletakkan piring makannya. Mereka sedang sarapan pagi saat ini. Ada Emak, Abah, Abangnya yang bernama Dhani, dan kakak iparnya yang bernama Zuriah. Anjani tidak suka ini, diceramahi dan dinasehati di depan orang lain. Dia suka dinasehati, tapi tidak dengan beramai-ramai, mengobrol berdua lebih baik baginya. Kalau sudah begini, Anjani pasti hanya diam dan seperti acuh tak acuh.
Anjani punya satu orang kakak, empat orang abang kandung, dan satu orang abang angkat. Mereka tujuh bersaudara, abang angkatnya sebagai anak pertama, Anjani sebagai anak terakhir. Kakaknya bernama Ansila, abangnya yang lima bernama Juan, Zain, Yusuf, Ramadhani, dan Idris. Kakak dan empat abangnya sudah menikah dan berkeluarga, Anjani dan abangnya, Idris, yang belum menikah. Tapi, Idris sedang bekerja di luar kota, jadi hanya dia, Dhani, dan Zuriah yang di rumah menemani orang tuanya.
Tanpa sadar jam sudah menunjukkan jam delapan lewat. Dia harus segera berangkat, jadwal kuliahnya dimulai pukul sembilan.
Anjani beranjak membenahi piring-piring kotor dan sisa makanan. Ceramah-menceramahi membuat dia kehilangan waktu. Bergegas menaruh piring kotor di kamar mandi--tempat biasa dia mencuci piring. Bukannya langsung mencucinya, Anjani malah bergegas ke kamarnya. Hal itu sudah pasti langsung dicegah emaknya.
"Mau ke mana kamu? Cuci dulu! Tidak tau aturan sekali. Sudah berapa kali Emak bilang, kalau selesai makan piringnya langsung dicuci," Amsa berkata sambil menunjuk-nunjuk ke arah Anjani dan kamar mandi.
"Iya, Mak. Nanti akan kucuci, aku mau siap-siap ke kampus dulu. Nanti terlambat, Mak." Anjani berkata dengan sedikit memohon. Anjani benar-benar tak ingin urusan kuliahnya terusik, terutama pada nilai. Biarpun Anjani orang yang lelet, tapi Anjani mahasiswi yang sangat berambisi di kampusnya.
"Tidak ada penolakan, cuci sekarang!" titahnya.
Anjani terpaksa melakukan perintah emaknya, dia melakukannya dengan tergesa-gesa. Selesai itu Anjani lari terbirit-birit ke kamarnya, sudah tidak ada waktu lagi. 20 menit lagi kelas dimulai, sementara perjalanan ke kampusnya 10 menit jika menaiki sepeda motor.
Pakaian sudah rapi, tas juga sudah dijinjing, tinggal memanggil abangnya, Yusuf--yang mengantar dan menjemput Anjani kuliah. Rumah Yusuf tidak jauh, hanya jarak tiga rumah dari belakang rumah. Anjani was-was, ternyata abangnya, Yusuf tidak ada di rumahnya, Megan--istri Yusuf-- bilang kalau Yusuf sedang pergi belanja keperluan kiosnya. Jadi, Anjani meminta Megan yang mengganti mengantarkannya. Tapi sayang, Megan orang yang pelit, dia tak mau mengantarkan Anjani yang notebane-nya adalah adik iparnya sendiri. Anjani berlari menghampiri abangnya, Dhani. Barangkali Dhani mau mengantarkannya. Pasalnya, Dhani ini adalah abangnya yang paling susah dibujuk mengantar-jemput Anjani.
"Bang, tolong antarkan ke kampus, Bang. Sudah hampir terlambat, Bang." Anjani mengucapkannya sambil merengek-rengek manja. Meminta bantuan Dhani butuh kesabaran, harus lemah lembut.
"Aargh ... Sana sama bang Yusuf aja, biasanyakan sama dia," ucap Dhani.
Anjani diam, hal seperti ini bukan baru sekali terjadi. Tapi, biasanya Anjani akan bilang kalau bang Yusuf tak ada, sedang ada urusan, tak ada minyak. Dia akan bilang hal itu. Kali ini berbeda, Anjani hanya diam. Zuriah memarahi Dhani, memaksa untuk mengantarkannya. Dhani tetap tak mau, tangannya berkutat di gadget miliknya, sedang bermain game.
"Ah, menyusahkan saja, sana naik becak!" Dhani benar-benar tak sampai hati berkata begitu dengan adiknya sendiri.
Zuriah sempat ingin menawarkan diri untuk mengantar Anjani, namun Anjani menolak. Dia tidak akan tega kakak iparnya yang sedang hamil muda mengantarkannya, terlalu membawa resiko.
Lalu Anjani pergi ke ruangan depan, ingin melihat apakah ada becak atau tidak, dia akan naik becak kali ini. Emaknya yang melihat Anjani belum berangkat, menanyainya.
"Kenapa belum berangkat? Bang Yusuf mana? Tak ada?" Anjani hanya menggeleng.
"SUDAH BERAPA KALI EMAK BILANG, KALAU MAU PERGI KE MANA-MANA, SEBELUM KAMU SELESAI BILANG DULU SAMA ABANGMU, SUPAYA DIA TAU KALAU KAMU MAU MINTA ANTARKAN!" Amsa menokok-nokok kepala Anjani, darah tingginya sudah naik.
"Begitulah kalau taunya hanya di kamar saja, tidak berkembang. Mau jadi apa kamu nanti, hah? Mau jadi anak gelandagan yang di jalan-jalan itu, iya? Berpikirlah dengan baik Anjani. Emak sudah capek menasehatimu, tapi tak kamu dengarkan. Kamu anggap apa Emak ini, hah? Kalau tau begini Emak tam mau menyekolahkanmu. Disekolahkan bukannya tambah pintar malah tambah bodoh. Masa tidak tau bagaimana menjadi perempuan yang baik? Berhenti saja kamu sekolah! Dasar, tidak berguna, pergi sana! Jangan pulang ke sini sebelum kamu merubah sifatmu itu!" Amsa mengusir Anjani. Kata-kata itu benar-benar dia ucapkan untuk Anjani, semuanya dia ucapkan dengan emosi. Seperti ada dendam dalam perkataannya itu.
Tatapan Anjani kosong, sudah sering dia mendengar ocehan emaknya, tapi tak seperti ini parahnya. Kali ini sangat menyayat hatinya. Ingin menangis tapi tak sanggup. Dia coba tahan dan meminta uang untuk ongkos becak. Sebenarnya dia punya sisa uang sepuluh ribu. Tapi, itu dia sisihkan untuk cadangannya di kampus nanti jika ada keperluan.
"Emak bilang tidak usah sekolah lagi! Tidak ada uang, kamu taunya meminta uang saja. Membersihkan rumah saja harus disuruh terlebih dulu. Anak macam apa kamu ini?" Perkataan kedua yang menyakitkan, Anjani tak tahan lagi, dia mencium tangan emaknya dan mengucapkan salam. Dia pergi berlari memanggil becak yang menonggok di depan rumahnya. Air matanya dia hapus.
Uang sepuluh ribunya harus dia korbankan untuk ongkos becaknya. Untuk ongkos pulang dia tidak tau, dia tak memikirkannya.
Ada banyak kepedihan di hari ini. Untungnya masih ada satu keberuntungan, dia tidak terlambat ke kampus. Meski saat di kampus dia hanya diam. Padahal, Anjani orang yang aktif saat di kelas. Bukan aktif ke sana-ke mari, tapi aktif dalam belajar, presentase, tanya-jawab, debat, dan lainnya. Itu sudah sangat bagus walau dia tidak aktif dalam komunitas.
***
Saat ini dia ada di pos penjagaan yang tidak ada penjaganya. Dia biasa menunggu Bang Yusufnya di sini. Anjani sudah menghubungi, apakah Bang Yusufnya bisa menjemput atau tidak, ternyata nomornya tidak aktif. Begitu juga dengan saudaranya yang lain, ada yang nomornya tidak atif dan ada yang aktif tapi tidak mengangkat telponnya. Anjani benar-benar kesal. Kenapa hari ini sangat suram baginya? Dia tidak ingin pulang, dia tidak ingin kembali. Emaknya sendiri yang meminta dia pergi. Maka, dia tak akan kembali.
Bersambung ...
***
"Menanyai sebuah pohon tak akan pernah mendapatkan jawaban. Maka, diamkan saja pohon itu dan pergilah mencari buku, mulailah membaca."
Terima kasih banyak untuk yang membaca cerita ini. Semoga kalian suka. :')
KAMU SEDANG MEMBACA
SYMPATHETIC: Seri ANJANI
Short StoryHari-hari Anjani yang dililit kemurungan setiap kali dia ada di rumahnya. Anjani, gadis berumur 20 tahun yang menyukai ketenangan. Namun, ketenangan itu disalahartikan oleh emaknya--Amsa.