"Menyapalah jika kamu berpapasan dengan seseorang yang dikenal, senyumlah untuk orang yang tidak kamu kenal, jangan mendiamkan diri seperti orang sombong."
Itu pesan Amsa setiap kali Anjani menemaninya ke pasar. Ke mana pun Anjani pergi, dia selalu menundukkan kepalanya, berhati-hati dengan pandangannya. Anjani melakukan itu bukan karena dia sombong, tapi itu adalah anjuran untuk umat muslim.
"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu, lebih suci bagi mereka. ...." Qs. An-Nur: 30
"Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari padanya. ...." Qs. An-Nur: 31
Namun, sekali lagi maksud baik ini disalahartikan oleh emaknya. Segala sesuatu yang dilakukan Anjani dengan benar akan dianggap salah bagi emaknya.
***
Sekarang ini Anjani sedang berjalan entah ke mana. Dia bilang dia tidak akan pulang, lalu ke mana dia akan pergi?
Kakinya sudah tiba di depan bangunan cantik berwarna ungu tua. Bangunan yang digunakan umat muslim untuk beribadah. Anjani sedang berada di tepi tangga "batas suci", melihat ke sekililing apakah ada tempat untuknya mencuci muka dan berwudu. Empat meter di arah parkiran ada kamar mandi khusus perempuan, Anjani masuk ke sana.
Ini sudah jam tujuh malam, pantas saja Anjani mengambil wudu, karena dia akan salat magrib. Dia melakukannya agak terburu-buru, waktu magrib sudah hampir habis. Takbir, ruku', i'tidal, kemudian sujud. Pergerakannya sedikit cepat tapi penuh penghayatan. Jika saja waktu magrib masih panjang, maka dia akan salat dalam satu jam. Bukan main, 'kan?
Saat berdoa, dia tidak akan meneteskan air mata, dia selalu berjanji dengan itu. Karena dia yakin apa yang dihadapinya di dunia adalah sebuah kehidupan. Tidak ada kehidupan yang bahagia selamanya. Maka, dia akan mengerti kepahitan ini. Air matanya tak akan diteteskan untuk hal yang sudah seharusnya terjadi. Dia hanya ingin mengutarakan keinginannya, itu saja. Terkabul atau tidak, itu urusan belakangan.
"Emak adalah orang yang kusayang, Emak adalah cintaku, Emak pilihan hatiku, tak ada yang bisa menggantikannya. Karena itu, lembutkanlah hati Emak, aku tak ingin hatinya menjadi keras setelah permintaanku waktu itu. Walau aku tau sebenarnya permintaanku itu baik, tapi, jika Emak saja tak mengizinkan, maka aku tak akan melakukannya. Apapun yang kulakukan tanpa ridanya, ridamu pun aku tak dapat, Ya Allah. Kau Maha Pembolak-balik Hati, maka lembutkanlah hatinya sebagaimana dia dulu sewaktu itu, aamiin."
Anjani beranjak ke luar, membenahi peralatannya. "Aku pulang, Mak."
Sekeras apapun hatinya, dia tidak akan tega meninggalkan emaknya bahkan diusir sekalipun.
***
"Assalamualaikum, Mak." Anjani masuk ke rumah, pintunya tidak dikunci.
"Waalaikumsalam, kenapa pulang terlambat? Pulang sama siapa?"
Petanyaan ini juga sering diberikan untuk Anjani saat pulang malam tanpa ada kabar.
"Sama teman, Mak." Anjani berbohong, dia pulang jalan kaki, kenapa dia berbohong?
Amsa menimpali pertanyaan lagi, "Yusuf ke mana? Kenapa bukan dia yang jemput?"
"Tak tau, Mak. Nomornya tak aktif," jawabnya.
"Buat apa punya handphone mahal-mahal, ditelpon saja tidak bisa. Buang saja handphone kalian itu!"
Anjani sudah lelah, dia letih berjalan kaki sejauh dua kilometer. Pulang ke rumah mendapat banyak pertanyaan, saat dijawab, nada tinggi terdengar. Sudah hampir seperti keluarga kacau. Anjani tau ucapan emaknya itu bukan untuknya. Itu untuk abang-abangnya yang sangat susah untuk membantu Anjani. Emaknya sedang melampiaskan emosinya, sebagai bentuk kekesalan pada anak-anaknya yang tak punya pengertian. Anjani masuk ke kamarnya, membiarkan emaknya untuk menenangkan diri.
Pukul 21.15 WIB.
Anjani tidak mandi sore hari ini, dia malas mandi di malam hari, jadi dia hanya mengganti pakaian saja. Dia berbaring, memikirkan apakah emaknya akan kembali seperti dulu lagi. Emaknya yang lemah lembut, emaknya yang selalu khawatir, dan emaknya yang penuh perhatian. Ya, memang sekarang ini pun emaknya masih perhatian dan juga khawatir. Tapi tak seperti dulu, sekarang sudah berbeda. Dulu, emaknya akan berkata lembut saat membanguninya untuk salat subuh. Seperti, "Anjani, bangun Nak, ini sudah subuh, kamu tidak salat?". Menelpon jika Anjani belum pulang di luar jam pelajaran, bahkan video call juga pernah. Emaknya akan banyak bertanya. "Anjani, kenapa belum pulang? Kamu di mana? Ini kan sudah sore, mau pulang jam berapa kamu, Nak? Sebantar lagi malam. Kamu pulang sama siapa? Sudah makan apa belum? Kenapa tidak membeli jajan?". Menyenangkan bukan? Tentu sangat menyenangkan. Kalau Anjani malas makan, emaknya akan memanggil Anjani terus-menerus sampai Anjani makan. "Anjani, makan, kamu tidak lapar? Jangan malas makan, itu tidak baik, nanti cacing-cacingmu menggigiti ususmu." Cacing-cacing menggigiti usus, itu hal konyol yang sering dikatakan emaknya. Benar atau tidak, saran emaknya adalah hal yang paling baik di dunia.
Sebenarnya Anjani tau kenapa emaknya seperti sekarang ini. Bisa dibilang sebab emaknya berubah adalah karena abang-abangnya, tidak, memang karena abang-abangnya. Walau emaknya selalu marah-marah, tapi Anjani tau kalau emaknya sangat kesedihan. Emaknya merasa putra-putranya tak ada yang mengingatnya. Juan sang anak angkat yang sukses sebagai menteri kesehatan. Zain anak kandung pertama, PNS yang sekarang menjadi kepala dinas pendidikan. Yusuf yang sibuk dengan usaha kios dan wifi-nya. Ramadhani yang selalu main game dan susah dimintai bantuan. Idris yang tak pernah pulang ke rumah karena pekerjaannya yang di luar kota. Mereka semua seorang sarjana, tapi sedikitpun tak pernah memberikan sesuatu yang penting untuk emaknya barang beras sekilo. Terkecuali saat hendak lebaran, barulah uang dan beras diberikan. Anak macam apa mereka itu? Disekolahkan sampai sarjana, didukungsampai sukses, didoakan sampai ke surga. Semua itu hanya dibalas dengan uang dan beras yang datangnya sekali setahun? Sungguh miris sekali.
Terkadang Anjani ingin menyampaikan kekesalannya ini kepada abang-abangnya, tapi dia masih ingat tata krama. Tak boleh berkata kasar dan tinggi kepada yang lebih tua. Itu adalah janjinya. Anjani kesal karena mereka tidak tau diuntung, mereka sarjana dengan uang emak dan abahnya. Uang makan, kos, kuliah, perlengkapan belajar, seragam, baju hari-hari, sepatu, semuanya itu dari kerja keras emak dan abahnya, apakah mereka tidak sadar sama sekali?
Kalau Anjani yang ditanya, dia akan menjawab kalau dia sangat iri dengan abang-abangnya dan juga kakaknya. Mereka disekolahkan dengan biaya dari orang tua, mereka juga sekolah sesuai keinginan mereka. Sampai mereka kuliah pun atas pilihan mereka sendiri. Mereka semua kuliah di ibu kota. Hanya Anjani sendiri yang di dalam daerah. Anjani kuliah dengan biayanya sendiri, dia kerja untuk membayar kuliahnya. Setahun setelahnya dia mendapat beasiswa pribadi dari pimpinan kampusnya. Meski kuliah bukan pilihannya, tapi Anjani tau diri, jika di luar sana banyak yang ingin kuliah tapi tak sanggup, maka dia akan menjalani kuliahnya dengan sungguh-sungguh, semata-mata untuk menuruti kemauan orang tuanya. Ya, hanya itu, dia tak punya cita-cita yang lebih. Lulus sarjana saja sudah cukup baginya asalkan orang tuanya bahagia. Anjani ingat dengan apa yang dikatakan orang-orang mengenai dirinya.
"Semua sudah sarjana, tinggal Anjani saja yang belum. Kalau Anjani tidak sarjana, saudara-saudaranya pasti akan malu."
Tunggu, kenapa saudara-saudaranya akan malu? Bukankah Anjani tidak kuliah itu lebih meringankan bagi mereka? Karena, tidak akan ada yang menghubungi mereka meminta uang kuliah. Jadi, kenapa mereka harus malu? Justru merekalah yang seharusnya malu karena si anak bungsu kuliah tanpa sepeserpun dari mereka. Terkadang hukum kehidupan memang aneh.
Anjani menghelakan napasnya, berpikir sangat panjang membuatnya mengantuk.
Bersambung ...
-----
Masuklah ke dalam ruangan itu, carilah bukumu, mulailah membaca.
Terima kasih yang sudah membaca, semoga berkah. :')
KAMU SEDANG MEMBACA
SYMPATHETIC: Seri ANJANI
Short StoryHari-hari Anjani yang dililit kemurungan setiap kali dia ada di rumahnya. Anjani, gadis berumur 20 tahun yang menyukai ketenangan. Namun, ketenangan itu disalahartikan oleh emaknya--Amsa.