Prolog: Lamaran Datang

3 1 0
                                    

Tok tok tok ...

"Iya, sebentar," ucap seseorang. "Siapa ya, Mbak?" tanyanya.

"Dengan Anjani Puspita?"

Yang bernama Anjani menjawab, "Iya, saya Anjani, ada apa ya Mbak?"

Orang tersebut menjabatkan tangannya--yang dibalas dengan Anjani. "Perkenalkan, saya Maryam, salah satu kerabat yang ingin meminangmu."

Jelas saja Anjani terkejut dan tercengang, bagaimana bisa ada yang memperkenalkan diri seperti itu? Dan apa itu tadi? Meminang? Laki-laki mana yang meminangnya?

Pertanyaan itu dia singkirkan dan mempersilakan tamu yang bernama Maryam itu untuk masuk.

"Maaf, Mbak Maryam. Hanya ada air putih dan sedikit cemilan," tukas Anjani.

"Tidak apa, itu sudah cukup,"

"Kalau boleh tau ... maksud ucapan Mbak tadi apa?" Anjani masih penasaran dengan pernyataan tadi.

"Begini, saya punya keponakan yang sedang menjalankan tugasnya di Papua. Keponakan saya ingin melamar kamu. Maaf, kalau ini membuatmu heran," Maryam memberikan penjelasan.

"Bukan hanya heran, saya juga kaget, Mbak. Ini sangat tiba-tiba dan sepertinya Mbak salah orang." Anjani tetap dengan ketidakpercayaannya pada kenyataan ini.

"Tidak kok, tidak sama sekali. Keponakanku memang ingin melamarmu, Anjani Puspita. Gadis bercadar yang baik hati dan penyabet penghargaan penghafal al-qur'an dalam jangka waktu satu bulan. Kami tidak salah orang bukan?" Maryam benar, dia tidak salah orang, Anjani adalah orang yang dimaksudkan Maryam. Anjani yang mendengar itu hanya menunduk.

"Suatu hal baik jika ada yang mau melamarku, tapi saya juga butuh tau siapa dan bagaimana orang yang melamar saya. Selain itu juga saya harus meminta izin kedua orang tua saya."

Anjani sangat mengkhawatirkan masa depannya saat ini. Bagaimana kalau calon suaminya itu adalah laki-laki yang buruk? Dia sudah berpikir negatif sebelum mengetahui kebenarannya.

"Aku tau kamu ragu, maka aku akan menjelaskan tentang dirinya." Maryam berdiam sebentar kemudian melanjutkan perkataannya dengan menarik nafas terlebih dahulu.

"Keponakanku itu adalah seorang pekerja keras. Dia tentara yang ditugaskan di Papua untuk menjaga gunung emas di Blok Wabu. Keponakanku itu orang yang suka menepati janji dan membenci ketidaksetiaan. Dia memintaku untuk merahasiakan nama dan juga foto dirinya. Jika kamu masih kekurangan dengan info ini, kami siap menerima resiko," tukasnya.

Anjani menyentuh tangan Maryam sebagai pertanda bahwa dia sangat berterima kasih. "Tidak, Mbak, saya hanya butuh waktu saja. Terima kasih atas infonya, Mbak Maryam."

"Baiklah, kalau begitu aku akan pulang, kamu bisa menghubungiku jika ingin menanyakan atau memberitahu sesuatu. Jangan lupa beritahu orang tuamu ya, Anjani." Maryam berdiri dan menyerahkan nomor teleponnya, kemudian pamit untuk pulang.

Sejujurnya, Anjani masih belum percaya dan merasa puas dengan penjelasan Maryam tadi, dia ingin memastikan sendiri siapa sebenarnya laki-laki itu. Tapi, sebelum itu dia harus menjelaskan tentang lamaran itu kepada orang tuanya. Ya, sore nanti dia akan memberitahu orang tuanya. Saat ini mereka sedang ada di ladang, ini masih jam dua siang, sore nanti baru mereka akan kembali. Jadi, Anjani memuruskan untuk membereskan rumah dulu.

Saat ini dia sedang menyapu lantai, tapi sapuannya tak tentu, kadang mengambang, kadang menyentuh lantai, dia sangat terganggu dengan pikirannya. Dari mana laki-laki itu tau kalau dia adalah penyabet pengahafal al-qur'an tercepat? Dia terus berbicara dengan isi hatinya.

"Kenapa dia bisa tau? Apa dunia ini sudah sempit? Bagaimana bisa berita dari Sumatra sampai ke Papua? Itu seperti dari Sabang sampai ke Merauke. Oh, ayolah Anjani, dunia ini sudah tua, semuanya semakin canggih, sudah pasti itu tersebar di media sosial. Dasar, bodoh sekali."

Anjani merutuki dirinya sendiri yang lupa kalau semua yang ada di dunia ini sudah bisa diketahui dengan mudah.

"Huft, lelah juga menyapu sambil berpikir." Dia mengilap keringatnya dengan kerudung hijau gelapnya.

"Sudahlah Anjani, jangan dipikirkan dulu, kamu belum memasak nasi, sebentar lagi Emak dan Abahmu pulang, mereka pasti lapar." Anjani berkata dengan dirinya sendiri, yang mana hanya ada Anjani di dalam rumah itu.

***

Pukul 18.00

"Tumben Emak dan Abah lama pulang, bisanya jam lima kurang sudah pulang," tanya Anjani.

Emak dan Abahnya baru saja pulang terlambat karena ada urusan ladang yang mendadak.

Setelah salat magrib dan makan malam, barulah Anjani membicarakan perihal tadi siang. Reaksi kedua orang tuanya sama seperti pertama kali Anjani diberitahu, kaget dan tidak yakin.

"Benarkah itu, Anjani?" tanya Abah.

"Iya, Bah. Tadi siang Mbak Maryam datang dan menjelaskan semuanya. Aku jawab aku butuh waktu dan izin dari Emak juga Abah."

"Baiklah, tidak apa. Emak dan Abah serahkan padamu saja, jika kamu mau, kamu bisa menerima lamarannya. Jika kamu tidak mau, segera beritahu mereka, jangan membuat mereka menunggu. Emak dan Abah pasti akan memberikan izin untukmu, Sayang." Emak mengelus pipi Anjani dan memeluk tubuhnya. Anjani melihat Abah, Abah hanya tersenyum sambil mengangguk, tanda bahwa dia ikut setuju.

Anjani melepaskan pelukannya dan mengatakan keinginannya. "Tapi ... aku ingin mengetahui siapa sebenarnya laki-laki itu, Mak. Aku ingin memastikannya sendiri, apakah dia benar-benar laki-laki yang baik untukku atau tidak. Aku ingin ke Papua dan menemuinya. Tolong izinkan aku ya, Mak, Bah?"

Emak dan Abah sangat terkejut, kenapa Anjani ingin mencari kebenarannya sampai ke Papua? Padahal, dia bisa meminta itu dari Maryam--kerabat laki-laki itu.

Tapi, sekali lagi Emak dan Abahnya mengizinkan Anjani untuk pergi ke Papua. Mereka tau, Anjani orang yang mudah penasaran dan akan mencari tahu jawaban sebuah kepenasarannya itu. Terlebih lagi, setelah bercadar, Anjani lebih pemberani dan menyukai bepergian. Tidak seperti dulu, hanya membaca buku di kamar dan tak pernah bepergian kecuali ke kampus dan ke pasar.

"Sungguh? Benarkah aku boleh pergi ke sana, Mak, Bah?" Entah kenapa Anjani sangat senang dengan dirinya yang sekarang, diberikan kebebasan atas apa yang dia inginkan.

"Asal tidak ke luar jalur dari kebaikan saja," pinta Abah.

"Iya, Bah." Anjani tersenyum dan beranjak ke kamarnya. Keberangjatannya sudah dia rencanakan. Berhubung saat ini sedang libur kuliah, dia akan berangkat besok lusa. Sepertinya dia akan menaiki bus, karena harga tiket pesawat ke Papua sangat mahal. Malam ini dia akan menyiapkan keperluannya, seperti pakaian, alat salat, perkakas mandi, dan beberapa obat-obatan. Dia sengaja menyiapkan obat-obatan untuk keperluannya di sana nanti, takut-takut kalau diperjalanan atau selama di sana dia akan sakit, pusing kepala, dan sebagainya. Hanya untuk jaga-jaga saja. Untuk penginapan juga sudah dia atur. Dia sudah menghubungi kerabat jauhnya yang dekat dengan daerah Blok Wabu.

Setelah salat isya dan berbincang-bincang sedikit, dia dan orang tuanya bersiap-siap untuk tidur. Di kamar dia tidak enak hati meninggalkan orang tuanya. Terlebih lagi tadi Abahnya memberikan beberapa lembar uang seratus ribu. Awalnya Anjani menolak, karena dia sudah punya uang tabungan. Tapi, Emak memaksa dan mendukung Abah memberikan uang itu. Dengan berat hati pun dia menerima uang itu.

Anjani menarik nafas sebentar kemudian berdoa, semoga apa yang dia lakukan kali ini sebuah kebaikan, bukan keburukan.

-----

Menyusuplah ke dalam samudra dan temukan beberapa emas dan berlian. Jangan takut ditelan oleh luasnya samudra, terluka atau mati itu sudah resiko. Karena mendapatkan emas dan berlian juga tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan.

Terima kasih yang sudah membaca. 🙏

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 26, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Imam di PapuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang