3. Halusinasi?

13 2 0
                                    

Carsten duduk di Crow nest, nikmati semilir yang terbangkan anak rambut hitam. Matanya tertutup sempurna, tapi jelas tidak tenang. Ia masih tidak habis pikir. Setelah apa yang terjadi semalam singkat dirinya dengan juwita.

Sadar-sadar majenun sudah berdiri di depan kapalnya, usai tiba-tiba gelap menghampiri. Ia merasa bukan tidak mungkin juwita buat sesuatu pada dirinya.

Apakah dia seorang penyihir? Apakah dia Succubus? Atau dia seorang dewi yang menyamar, persis seperti dugaannya?

Ucap awak kapalnya, majenun memang sudah berdiri di sana sepanjang malam. Tidak yakin sadar atau tidak.

“Baumu sake,” Ucap Uhr kemudian menjauh setelah endus kaptennya. Carsten ikut-ikutan endus tubuhnya sendiri, tidak ada yang salah, setidaknya menurutnya.

Majenun ingat dia hanya habiskan satu gelas sake kemarin malam. “Aku hanya minum satu gelas, tidak sebau itu.” Uhr hanya mencebik, tidak percaya apa yang Carsten ucapkan.

“Meh,”

“Kalau begitu, kenapa juga kau berdiri di sini sepanjang malam. Lagak orang bodoh.”
Carsten diam. Nyatanya memang ia tidak tahu menahu mengenai alasan kenapa dia bisa berdiri di sana sepanjang malam.

“Aku tidak tahu,” menggeleng pelan sambil tatap kosong ujung sepatunya. Sekali lihat pun Uhr sudah yakin kalau temannya mabuk berat. “Tuh kan, kau saja tidak tahu. Yakin aku kalau kau mabuk. Minum berapa botol kau semalam?”

Lagi-lagi cuman menggeleng, undang helaan kasar dari tangan kanannya.

Uhr lejar lihat si kapten bebal. Sudah dibilang jangan mabuk, tetap saja mabuk. Si tangan kanan mungkin tidak akan menyela atau melarang kaptennya mabuk-mabukan, jikalau tidak jadi orang gila setelahnya.

Tapi memang majenun yakin tidak mabuk. Mabuk ding, wong sampai lihat dewi. Ah, ingat dia waktu si dewi cium dia. Waktu majenun raba badan bak gitar Spanyol. Waktu lidah dewi usap lembut lidah miliknya.

Senang bukan kepalang dia.

Tapi apa itu bukan mimpi?

Uhr bilang dia berdiri macam orang bodoh sepanjang malam. Padahal ada badai topan.
Tapi jika mimpi, nyata sekali rasanya. Saking nyatanya bisa bikin halusinasi.

Pusing, majenun putuskan untuk jalan sebentar keliling desa. Siapa tahu bisa dapat pentunjuk tentang dewinya. Kakinya langkah tanpa arah. Berbelok, memutar. Melakukan berulang sampai kakinya menemukan tempat yang ingin ia capai.

Majenun mendongak, itu adalah bar reyot tadi malam. Bar itu masih ada, tapi sekarang malah sudah jadi bagus. Kayunya kuat, asalnya kayu jati dari negara tropis. Carsten yakin pasti mahal.

Bar itu ramai isinya. Bandit sampai pejabat kota pun ada. Bedanya, yang sambut bukan perempuan rambut putih kemarin malam, tapi pria tua yang panjang jenggotnya.

“Dimana dia?” Carsten melempar pertanyaan. Si pria tua mengangkat sebelah alisnya, bingung. “Apa maksudmu?”

“Dimana dia?” Majenun lempar tanya yang sama. “Si perempuan rambut putih, yang mirip dewi Yunani.”

Uhr nukik, malu sekali lihat kaptennya tambah bodoh, yang sekarang debat dengan pemilik bar. Bersikeras dia lihat si cantik tadi malam.
Ia layangkan pukulan keras di belakang kepala majenun, buat pingsan. Lalu minta maaf ke pemilik bar. “Dasar kapten bodoh, salah aku pilih naik ke kapalmu bukan jadi walikota saja.”
Tapi Uhr adalah Uhr, dia banting itu kapten ke dek kapal yang keras, sebabkan bunyi gaduh lain.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 08, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sea Behind UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang