Perubahan adalah sesuatu yang mutlak dalam kehidupan. Tidak mungkin seseorang hidup, namun tidak terjadi perubahan apapun dalam kehidupannya. Namun, tidak semua orang siap menerima perubahan-perubahan itu. Ketakutan tentang bagaimana nanti ia menyesuaikan diri, kesulitan-kesulitan menerima perubahan itu membuat seseorang menutup kemungkinan bahwa perubahan itu membawa hal-hal baik di masa depan.
Beberapa tahun kemarin membawa Winda merasakan sensasi menaiki sebuah roller coaster, hidupnya berada di fase naik turun. Ia takut tidak sanggup melewatinya. Namun disinilah ia, duduk di sofa ruang tengah rumah yang terlihat sederhana namun sebenarnya berharga fantastis itu. Sore yang hangat di pertengahan musim kemarau, sinar matahari yang sudah berada hampir di ujung barat itu menembus di kaca-kaca rumah, membawa kehangatan pada ruangan yang tampak cozy itu.
Winda sedang menunggu suaminya pulang bekerja. Bersantai sambil menonton drama jepang favoritnya. Ia melirik jam dinding digital yang menempel pada tembok ruangan bercat putih tersebut. Sudah pukul 16.40. Suaminya pasti sedang terjebak macet sekarang, jalanan akan sangat padat oleh berbagai jenis kendaraan di jam pulang kerja seperti sekarang.
Ia beranjak dari sofa menuju ke dapur. Membuat segelas es teh ditambah madu kesukaan suaminya dan membuat jus pisang favoritnya. Saat ia sedang fokus melihat pisang-pisang hancur oleh blender didepannya, tiba-tiba sepasang lengan kokoh memeluk pinggangnya. Diam-diam Winda tersenyum, siapa lagi yang melakukan ini kalau bukan suaminya. Aroma parfum segar dan maskulin itu bercampur dengan keringat sang suami, katakan Winda aneh, tapi ia sangat menyukainya.
"Bikin apa sih, serius banget sampai nggak kedengeran aku buka pintu." Kata sang suami. Winda acuh dengan gerutuan suaminya, ia baru saja akan menuangkan jus pisang ke dalam gelasnya.
"Jus pisang, mau?" Winda melepaskan lengan itu dari pinggangnya, membawa segelas jus pisang dan duduk di ruang makan.
Suaminya membuat gestur jijik sebelum menjawab, "Aku heran kenapa ada orang yang doyan sama jus pisang. Mirip bubur bayi gitu bentukannya."
Winda tertawa kecil, ia senang menggoda suaminya. "Aku juga heran kenapa ada orang nggak doyan jus pisang seenak ini?"
Ia beranjak dari kursi, kemudian menyerahkan segelas es teh madu kepada si suami. Winda tersenyum melihat betapa binar sepasang mata itu membuatnya merasa sangat dihargai.
"Capek banget ya? Aku belum masak, pesen aja nggak masalah kan?" tanya Winda. Suaminya mengangguk pelan sambil meneguk minumannya.
**
Tepat satu tahun yang lalu, 3 tahun setelah kelulusannya dari bangku kuliah, Winda berdiri dengan gugup di samping sang ayah, tangannya basah oleh keringat, menunggu lelaki yang akan menjadikannya seorang istri. Tamu-tamu sudah memenuhi venue. Namun kegugupan itu menguap menjadi rasa haru luar biasa ketika keduanya sudah dinyatakan menjadi sepasang suami istri di depan seluruh tamu undangan dan orang-orang terdekat.
Mengingat momen itu membuat perasaan Winda benar-benar bahagia sekaligus bersyukur, bahwa setiap masalah yang datang, dibalik keputus-asaannya, ia mampu melangkah sejauh ini sampai di titik ini. Kini ia dan suaminya tinggal bersama, berdua di rumah yang mereka beli dengan hasil kerja keras mereka. Menikmati satu tahun pernikahan yang benar-benar hal baru untuk Winda. Di suatu malam, ia pernah menangis karena merasa menjadi istri tidak berguna. Setiap pagi, ia akan sibuk di dapur untuk membuat sarapan untuk suaminya, namun masakan itu selalu aneh di lidahnya sendiri. Entah itu keasinan atau bahkan kurang garam. Namun, yang selalu Winda syukuri, suaminya akan memeluk dan menenangkan setiap kegelisahannya. Mengusap lembut rambut dan punggungnya ketika ia menangis mengadu bahwa masakannya tidak layak untuk mereka makan.
Kegiatan sehari-harinya kini ialah menjadi seorang copywriter di salah satu startup ternama. Sedangkan sang suami, menjadi salah satu staff IT di kantor pemerintahan. Mereka kini tinggal di ibukota, jauh dari Semarang, juga Bandung tempatnya berkuliah dulu.
Rencana Tuhan memang tidak pernah terduga. Ia dulu memiliki mimpi-mimpi tentang karirnya, pernikahannya, kehidupan setelah menikahnya, namun rencana-rencana itu menguap dan digantikan Tuhan dengan pilihanNya yang tentu saja lebih baik dari yang Winda rencanakan. Ia kalah dan menyerah pada apa yang telah digariskan Tuhan untuknya.
Gambaran rumah Winda dan suaminya. Di desain oleh sepupunya Winda sendiri, Rega. Meskipun di Jakarta, harus ada hawa adem-ademnya dong yaa.