PRÒMPT

32 2 1
                                    

Kotak Pandora yang selama ini kusimpan rapat-rapat telah terbuka. Menampilkan segunung kenangan indah yang (tak) ingin kulupakan.

Bandung 2020.

Detik jam dinding bergerak sesuai dengan kodratnya. Air hujan yang mengguyur kota Bandung selama dua jam setengah kini mulai mereda perlahan-lahan. Musim hujan di penghujung tahun memang selalu membawa sendu. Terlebih lagi, kini mereka akan segera pindah dan meninggalkan Bandung untuk beberapa bulan ke depan.

"Kalau kamu enggak mau ikut ke Jerman, aku enggak apa-apa kok, Sayang."

Yang dipanggil sayang kemudian menggeleng. Dia terduduk di atas ranjang dan menatap suaminya dengan tatapan lembut. "Aku bakalan tetap ikut kamu, Kak. Aku dan Jovi akan ikut kamu, ke Jerman."

"Is that okay, Aruna?"

Aruna mengangguk. "Iya. Aku enggak apa-apa, Kastara."

"Oke kalau begitu. Aku menghargai keputusan kamu," katanya. "Kita packing besok aja, ya. Sekarang udah terlalu malam, lebih baik kita tidur."

Kastara bangkit dari sofa dan berjalan menghampiri Aruna di atas tempat tidur. Pria satu anak itu mencium kening istrinya sebelum mematikan lampu tidur dan menarik selimut.

"Selamat malam, Aruna."

Seperti yang dikatakan Kastara semalam, Aruna mempersiapkan kebutuhan dan perlengkapan mereka selama di Jerman pada siang hari. Aruna mem-packing barang-barang dan pakaiannya ke dalam kardus cokelat berukuran sedang yang nantinya akan dikirim melalui jasa pengiriman internasional ke Jerman.

"Aku di sana hanya tiga bulan. Bawa barang secukupnya saja, Aruna." Aruna berbisik ke dirinya sendiri sambil berkacak pinggang. Di depannya sudah ada tiga kardus berisi pakaiannya dan pakaian Kastara selama beberapa bulan ke depan.

Mereka pergi ke Jerman bukan tanpa sebab. Kastara, suaminya, adalah seorang CEO di perusahaan konstruksi milik keluarganya. Setiap tiga bulan sekali dia akan menjalani perjalanan bisnis ke berbagai negara, salah satunya adalah Jerman. Sejak menikah dengan Kastara kurang lebih 15 tahun, baru kali ini Aruna ikut serta dalam perjalanan bisnisnya. Biasanya Kastara hanya ditemani asisten pribadinya dan salah seorang sekretaris yang kedua-duanya adalah laki-laki.

Kastara tidak pernah menyinggung hal ini kepada Aruna. Dia paham betul kenapa Aruna tidak pernah ikut—absen—Kastara ke Jerman. Kastara paham luka masa lalu Aruna belum sembuh secara sempurna.

"Kamu bisa lewatin ini, Runa. Ini bahkan nyaris 20 tahun setelah perpisahan itu." Aruna berbisik lagi kepada dirinya.

Wanita itu akhirnya memilih duduk di atas karpet berludru hitam ketika merasakan kakinya melemas. Ingatan masa lalunya yang bercampur membuat dadanya sesak setengah mati. Dia mendongakkan kepala dengan mata terpejam. Menyelami apa-apa yang tidak seharusnya dia selami. Ketika membuka mata, hal yang pertama kali Aruna lihat adalah kotak tua berwarna cokelat di atas lemari pakaiannya. Ada senyum sendu yang terpatri di wajah Aruna ketika dia melihat kotak itu lagi. Setelah sekian lama.

Dengan keberanian yang hanya tersisa lima puluh persen, Aruna naik ke atas kursi dan mengambil kotak tua itu. Kotak tua yang warnanya nyaris pudar dan banyak dedebuan di sana.

"Lama enggak berjumpa, Lano." Aruna berbisik pelan.

Wanita itu turun dari atas kursi dan kembali duduk di atas karpet. Tangan kecil Aruna mengusap permukaan kotak yang masih berdebu dengan tissue basah. Setelah dirasa kotak ini cukup bersih, Aruna memberanikan diri untuk membukanya.

Bau khas kayu menyeruak begitu Aruna berhasil membukanya. Di dalamnya terdapat foto-foto cetakan lama, dan beberapa surat yang kertasnya mulai menguning karena dimakan zaman.

Aruna mengambil salah satu foto dan membaliknya, dia tersenyum getir menatap foto itu.

Foto pertama kami setelah berpacaran. Diambil di Braga yang sedang ramai-ramainya dengan pedagang. Terima kasih sudah mau menjadi warna dalam hidupku, Aruna.

Darelano dan Aruna.

Bandung, 1998.

Air mata Aruna mengalir deras. Dia menepuk dadanya sendiri ketika sesak mulai merasuki rongga dadanya.

Kemudian, satu persatu kenangan itu muncul kembali. Membuat Aruna tercikik oleh rindu yang tidak pernah berbalas selama 20 tahun lamanya.

•••

—martabak keju susu—

1998Where stories live. Discover now