Alur cerita ini diambil setelah kejadian di Storm Bringer.
.
.
.Chuuya terbaring di hamparan rumput yang entah ada di daerah mana —dia tidak peduli—.
Setelah dirawat di rumah sakit tujuh hari tujuh malam, Mori akhirnya memperbolehkannya pulang ke apartemen mewahnya itu. Tentu saja langsung Chuuya lakukan, siapa juga yang ingin berlama-lama tinggal di rumah sakit? Sehat tidak, stress iya. Dazai terus membacakannya buku No Longer Human yang membuatnya merasa makin down.
Namun setelah kembali ke apartemennya, Chuuya malah merasa sedih. Tidak ada musik gila milik Albatross yang akan mengganggunya lagi. Tidak ada Pianoman yang akan melontarkan lelucon garing berbau kurang-ajarnya lagi. Lippmann tidak akan menjadikan ruangan Chuuya sebagai ruangan latihan on stage nya lagi. Tidak ada Doc yang bisa mengobatinya lagi kalau Chuuya terluka. Tidak ada Iceman yang akan bergelung di sofa mahal Chuuya tanpa mengatakan sepatah-kata pun.
Mereka tidak ada. Tidak akan ada lagi. Hanya dengan mengingat itu saja Chuuya sudah ingin menangis.
Akhirnya, tungkai lemahnya yang biasa dibawa berlari penuh semangat seperti kuda perang sekarang menyeretnya ke tempat di mana dia berada sekarang: padang rumput. Terlepas dari pakaiannya yang fancy seperti biasa, dia lebih terlihat seperti pasien RSJ yang kabur dari rumah sakitnya.
"Aku tidak tahu siapa aku, aku kehilangan teman-temanku, Sheep terpisah-pisah, detektif Murase tewas, dan tidak ada yang bisa aku lakukan .... Menyebalkan," gumam Chuuya putus asa. Netranya yang sebiru laut itu kini terlihat memudar.
Biarkan dia, setidaknya untuk saat ini, terombang-ambing dalam lautan kesedihannya. Chuuya lelah menjadi sosok yang kuat, pemarah, dan happy-go-lucky seperti yang selalu diperlihatkan kepada semua orang. Dia bahkan tidak punya tenaga untuk meninju wajah Dazai sekarang, meskipun dia sangat ingin melakukannya 'sih.
"Come to think about it, kalau aku tidak pernah ada, maka mereka semua pasti masih hidup. Sheep juga tidak akan berpisah seperti ini. Lagipula aku cuma manusia buatan ...." Masih bermonolog, wajah Chuuya tampak benar-benar suram.
"Mereka mati sia-sia, begitu?" Oh, suara yang sangat menyebalkan. Suara yang begitu Chuuya hafal.
"... Dazai ...!"
"Kau tampak seperti gembel, Chuuya. Cuci wajahmu atau organisasi akan dianggap tidak merawat anjingnya dengan baik."
Pedas seperti biasanya, mood Chuuya semakin menurun, "Apa yang kau lakukan di sini? Lebih baik kau pulang, aku sedang tidak minat bicara dengan orang sepertimu."
Dazai duduk di sampingnya, "Bukan alasan khusus. Verlaine-san hanya memintaku untuk mencarimu."
"Orang itu? Untuk apa?"
Chuuya akui, dia terkejut. Bayangkan, Verlaine yang membunuh semua temannya itu. Verlaine yang membuatnya melalui semua ini. Verlaine yang sangat ingin Chuuya benci tapi tidak bisa, karena mereka sebenarnya sama.
"Untuk apa ya ...? Tadi dia menanyakan keadaanmu padaku, lalu kujawab kalau kau terlihat seperti stray dogs. Terus, tebak bagaimana reaksinya? Dia terlihat sangat merasa bersalah!"
Si pemilik surai sinoper hanya mendengarkan kalimat-kalimat orang di sampingnya dalam diam. Sejujurnya, dia tidak tertarik lagi dengan topik ini.
"Hei, kenapa diam saja? Kau tidak sakit kan?"
Topik ini membuatku sakit, tahu! batin Chuuya tidak pernah bisa dia katakan. Jadi Chuuya memilih menggeleng lalu menutup matanya.
Dazai ikut terdiam sejenak, "... Oke, kau sakit."
.
."Apa Arahabaki masih sering berbicara di kepala mu?" Dazai mengawali pembicaraan. Sekarang masih jam 5 sore, masih ada beberapa waktu sampai dia harus pulang dan menyeret Chuuya agar si pendek mau makan.
Chuuya menjawab, "Tidak. Tapi kurasa iblis berbicara padaku akhir-akhir ini."
"Kau menyinggung aku?" Dazai kira Chuuya sedang membicarakan dirinya.
"Bukan, iblis dalam kepalaku. Dia selalu bilang 'Mati saja!' berulang kali. Dia pikir aku akan terpengaruh, mungkin? Hehe," Chuuya menambahkan kekehan kecil di akhir kalimatnya itu.
"Kau tidak terpengaruh?"
Chuuya terdiam sejenak, "Sebenarnya terpengaruh sedikit. Aku jadi menyalahkan diriku atas kematian teman-temanku. Tapi tentu saja tidak sampai ke tahap suicide attempt seperti kau!"
"Kalau aku jadi kau, aku pasti akan menurutinya, Chibi. I'll just say 'oyasumi sekai,' and do it."
Chuuya mendelik tidak suka, "Aku benci pemikiran seperti itu. Kalau bunuh diri, pasti akan ada masalah baru lagi. Tidak mau."
"Tapi apa gunanya hidup?" Dazai tampak tertarik dengan topik ini.
Pemuda kecil di sampingnya menghela napas, "Setidaknya hargai saja hidup yang sudah diberi Tuhan. Ini hadiah, bukan siksaan. Banyak orang yang ingin hidup tapi malah meninggal, seperti teman-temanku."
Dazai terdiam. Chuuya juga diam.
"... If the devil says I should die, then I'll live even longer," kata-kata itu merobek keheningan.
"Apa?"
"Apa yang apa?"
"Hah?"
"... Haa?"
Serius, pembicaraan macam apa ini?
Conversation bodoh itu diakhiri dengan Dazai yang menghela napas, "Yah, kurasa itulah perbedaan di antara kita. Tapi kalau itu yang kau percaya, just go ahead. Mungkin tidak terlalu buruk juga."
Chuuya malah kaget, "Kau kerasukan apa?"
Dazai menjitak kepala Chuuya. Tidak kuat, tapi tidak lemah juga, "Aku menyesal mendukungmu."
Yang dijitak bukannya marah malah tertawa, "Kau juga harus mencoba untuk berpikiran seperti aku."
"... Tapi Chuuya tidak realistis."
"Tidak. Kau saja yang otaknya sempit."
"Kau."
"Kau!"
"Kau!"
"Bukan, kau!"
Terus begitu sampai Dazai mengajak Chuuya pulang, "Sudah deh, ayo pulang. Anee-san sudah menunggu. Nanti kita kena marah."
"... Kau saja yang kena marah," Chuuya kembali memulai.
"Kenapa aku? Chuuya saja!"
"Tidak, kau!"
"Kau!"
"Kau!"
Kalimat yang sama terus berulang sampai mereka sampai ke markas.
... Yah, setidaknya Chuuya sudah bisa berbicara dan berjalan dengan baik lagi. Memang itu tujuan Dazai mengganggu Chuuya.
— The end.

KAMU SEDANG MEMBACA
Piece of Mind
Teen FictionMengambil time-line setelah kejadian di Storm Bringer.