Ini adalah tahun 2425, Bumi tak lagi tempat yang sama seperti empat ratus tahun yang lalu. Semenjak perang yang berkecamuk 3 abad yang lalu, negara-negara yang kau ketahui di masa itu kini digantikan dengan kekuasaan baru, kebanyakan dari mereka bergabung sehingga hanya delapan kekuasaan yang tersisa di Bumi dan kedudukannya diurutkan berdasarkan mata angin.
Persebaran manusia pun tak lagi memandang suku dan ras karena kewarganegaraan mereka hanya terbagi berdasarkan oleh delapan wilayah, hal ini diakibatkan oleh perang yang membuat warga yang berpindah untuk menyelamatkan diri tak lagi kembali ke negara asal mereka.
Bicara soal masa depan, kita pasti mengharapkan dunia yang lebih baik. Dunia memang menjadi lebih baik bagi banyak orang, teknologi membantu manusia hampir di segala aspek. Meskipun seratus tahun yang lalu kita menghadapi tragedi kemanusiaan, dengan cepat kita berhasil mengembalikan keadaan dan dalam lima puluh tahun kita mampu membangun kembali peradaban yang sempat hilang. Semua pencapaian ini diperoleh dari satu orang yang menjadi pemimpin absolut dari delapan wilayah.
Hanya para pemimpin masing-masing negara yang mengenal dirinya, orang awam hanya mengenalnya sebagai The Sovereign –penguasa tertinggi, banyak yang penasaran dengan sosoknya tapi banyak juga yang tidak peduli, bagi mereka selama tatanan yang ia buat tidak merugikan bagi khalayak ramai maka tidak ada yang perlu mencari hal yang tidak penting.
Menurut legenda, The Sovereign adalah seseorang yang pertama kali menemukan benda yang membawa kedamaian di dunia ini, mereka menyebutnya batu keabadian. Batu ini ditemukan di sisi utara belahan Bumi dan memberi kekuatan bagi siapa pun yang menggunakannya. The Sovereign menggunakan batu ini untuk mengakhiri perang tersebut. Dengan kekuatannya yang dahsyat ia berhasil membuat seluruh belahan dunia berada dalam kekuasaannya.
Dengan kekuatan yang demikian besarnya ia bisa menjadi pemimpin absolut dunia ini. Akan tetapi, ia merasa tidak sanggup mengemban beban yang begitu besar lantas ia membagi dunia dan memecahkan batu tersebut menjadi sembilan bagian yang membuat kekuatannya juga terbagi kepada delapan orang lainnya tapi inti dari batu itu tetap dipegang oleh The Sovereign.
Dalam pergantian kepemimpinan, The Sovereign menjadi pemilih tunggal, ia sendiri yang memilih siapa yang akan mewariskan pecahan batu keabadian karena konon katanya kekuatan hanya dapat dibangkitkan bila digunakan oleh pemimpin yang tepat. Cerita ini jelas terdengar tidak masuk akal bila dibawa ke tren masyarakat di masa ini, makanya hanya berakhir menjadi legenda saja.
Karena pada nyatanya seorang The Sovereign memilih pemimpin yang paling sesuai dengan negara yang akan ia pimpin mulai dari segi intelektualitas hingga kepribadian dan tidak ada batu-batuan aneh. Sejauh ini hasil dari pilihannya belum pernah salah karena delapan negara itu hidup dengan stabil dan makmur tanpa ada pertikaian yang berarti.
"Tapi jangan merasa senang dahulu, yang diceritakan tidak selamanya sesuai dengan realita, namanya juga cuma legenda." Seonghwa menutup bolpoinnya lalu menyusun kembali tumpukan laporan yang tadi ia kerjakan. Jongho yang sedari tadi mendengar gurunya bercerita dengan seksama tertegun dengan ucapan terakhir Seonghwa "memangnya kenapa?"
Seonghwa menyusun kembali buku-bukunya ke dalam rak lalu membalas dengan dengusan "kedengarannya seperti utopia, kan? Tapi mana ada di dunia ini yang tidak punya antonim, tentu ada distopianya juga, ada yang berkuasa dan ada yang dikuasai, ada si kuat dan ada si lemah, ada pula si kaya dan miskin" Jongho manggut-manggut.
"Tapi, aku tak pernah liat orang miskin di Heliopolis" Muridnya itu menatapnya dengan sorot mata ragu-ragu "atau aku yang kurang memperhatikan" imbuhnya cepat sebagai tindakan antisipasi kalau gurunya itu merepet. Seonghwa tertawa kecil "well, salahku juga tidak pernah membawamu melewati jalan lain ketika ke Heliopolis, habisnya jalan dari jalur tanpa cahaya sangat merepotkan"
KAMU SEDANG MEMBACA
artificial lights; ateez
Fanfiction"Salah satu cara agar kita kaya, adalah merampok istana!" Tanpa ragu Yeosang melempar sepatunya pada Wooyoung dan mulutnya yang selalu berbicara seenak jidat, dia tahu ketiganya -ia, Wooyoung dan Mingi hidup di garis kemiskinan di negeri ini tapi bu...