Seperti malam-malam sebelumnya, aku sama halnya dengan bulan kesepian tanpa ditemani bintang-bintang di luasnya langit malam. Ya, yang kumaksud bintang-bintang ini adalah orang tuaku sendiri. Aku seorang gadis introver yang kehilangan kehangatan di rumahnya, membuatku semakin tertutup. Poor me!
Ursa, ibuku sendiri sudah memisahkan diri dari keluarga kecil kami. Sedangkan Rigel, ayahku, seorang dokter yang super sibuk di rumah sakitnya. Beliau sekali-kali menghubungiku hanya sekadar menanyakan sudah makan atau belum.
Walaupun begitu, aktivitas sehari-hariku sama seperti remaja SMA pada umumnya. Sekolah, belajar, mencari jati diri, dan bergaul dengan teman. Bedaku hanya pada opsi terakhir. Aku lebih banyak bergaul dengan buku-buku. Tapi bukan seorang kutu buku. Hanya sering menghabiskan sisa hariku dengan menelusuri rak-rak buku di perpustakaan kota dekat rumahku.
Jam menunjukan pukul tujuh malam. Perpustakaan sudah mulai sepi, karena dua jam lagi akan tutup. Namun, aku masih betah mengelilingi perpustakaan mencari buku yang menarik untuk dibaca.
Aku berhenti di rak astronomi. Meneliti judul-judul buku, dan mataku jatuh pada judul A Brief History of Time karya Stephen Hawking. Tanganku terulur hendak mengambil buku tersebut sebelum sebuah tangan lain dari arah berlawanan dibalik rak ikut menarik buku incaranku.
Aksi selanjutnya terjadi perebutan buku. Tangan yang disana menarik buku tersebut. Tanganku tak ingin kalah. Buku itu harus menjadi milikku. Aku yang menemukannya duluan. Tapi sepertinya, orang itu sama ambisinya denganku.
Kuhembuskan napas kesal, aku mendorong tak ikhlas buku itu kearahnya. Ya, aku terpaksa mengalah.
"Buat kamu aja, deh."
"Eh, nggak deh. Lo, aja!"
Suara cowok. Kulihat dari celah rak, dia menunjukan wajahnya. Kulit putih pucat, hidung mancung, bola matanya coklat terang selaras dengan rambutnya. Sial, ganteng!
"Kamu aja."
"Udah, deh. Ladies first" dia mendorong balik buku itu padaku.
Hey! Ayolah, tadi ngotot mengotot sekarang ngalah mengalah. Kita mau sampai subuh gini terus?!
Aku memutar bola mata malas. Tanpa memperdulikan buku dan cowok asing ngeselin itu aku beranjak pergi. Lebih baik aku duduk di salah satu kursi favoritku sambil memandangi langit malam. Melalui jendela kaca besar, aku tersenyum melihat bulan bersinar terang malam ini.
"Lucu, ya."
Aku menoleh kaget. Cowok macam hantu ganteng tadi tiba-tiba saja sudah duduk di seberang meja, tertawa sambil ikut memandangi bulan.
"Apanya?" tanyaku kaku. Jika dilihat dari dekat, dia benar-benar pucat. Aku tak yakin dia manusia, tapi melihat kakinya yang masih menapak, kutepis dugaan konyol tadi.
"Bulannya,"
Heh? Bulan diatas sana lucu? Padahal masih ada kata yang lebih pas, seperti indah atau cantik? Ada apa dengan cowok ini?
"Dan lo."
Idih, gombal! Aku mendengkus, kembali menatap bulan diatas sana.
"Apa lo suka luar angkasa?"
"Mungkin" jawabku cuek tanpa mengalihkan tatapanku.
"Coba dong, lo ceritain segala yang lo tau tentang astronomi."
Barulah aku menoleh. Sedikit tertarik dengan topik ini. Baiklah, mungkin aku butuh teman untuk bertukar pikiran. Dan, wow! Setelah aku ceritakan sedikit yang ku tahu tentang universe, black hole, dunia paralel, yang menimbulkan pertanyaan dikepalaku, dia dengan luwesnya menjawab. Aku sampai menutup mulutku terkejut.
KAMU SEDANG MEMBACA
BULAN KESEPIAN
Teen FictionSebuah cerpen. "Ketika bulan kesepian disinggahi seseorang, walau sebentar namun berkesan."