bagian 10

2.4K 342 19
                                    

"Jika luka itu tercipta, jangan pernah berhenti memberi bahagia."

***

Andin berusaha menghubungi Aldebaran. Namun tak ada jawaban dari laki-laki tersebut. Andin semakin khawatir, pikirannya bercabang.

"Angkat dong, Mas," ucap Andin cemas. Ia tak berhenti mondar-mandir di teras rumah, membuat papa Surya heran.

"Kamu ngapain, Nak?" tanya papa Surya.

Andin hanya menatap papa Surya sendu. Bahkan ia tak sanggup mengatakan jika hubungannya dengan Aldebaran sedang tidak baik-baik saja. Papa Surya yang melihat tatapan putri kesayangannya itupun segera membawanya ke pelukan.

"Kamu ada masalah sama Aldebaran?" Pertanyaan papa Surya mampu membuat air mata Andin lolos.

"Mas Al marah, Pa," kata Andin.

Papa Surya pun mengendurkan pelukannya, menghapus sisa airmata di pipi Andin. "Aldebaran nggak marah sama kamu. Mungkin dia hanya merasa belum terbiasa dengan semua ini. Percaya sama papa, kalian bisa melewati ini."

"Tapi tadi mas Al aku panggil dia malah pergi," ucap Andin. Tangisnya sudah hampir pecah kembali.

"Lebih baik kamu istirahat sekarang, besok dibicarakan kembali sama Al. Kalau kamu memaksa sekarang, yang ada kalian akan sama-sama terluka. Kasih waktu, ya.... " Papa Surya membelai rambut Andin.

Andin pun menyetujui saran papanya dan ia segera menuju kamar. Ada benarnya juga kata papanya, jika tetap dipaksa dibicarakan hari ini pasti Tak akan menemukan solusi. Namun, apakah mengulur waktu juga mampu meredam kesalahpahaman tersebut?

***

Jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, dan Aldebaran masih setia melamun. Bahkan sepulang dari rumah Andin, laki-laki itu belum sama sekali masuk ke dalam rumah. Pikirannya terasa sesak dipenuhi dengan bayang-bayang Andin bersama Roy. Hal tersebut tentu saja membuat Aldebaran kembali dilanda rasa takut.

Selama ini Aldebaran enggan membuka hati karena ia tak siap jika harus kembali kehilangan. Bagi Aldebaran sudah cukup kesalahannya dulu membuat Ketrin pergi dari hidupnya.

Aldebaran melirik ponselnya kembali. Andin rupanya masih setia berusaha menghubunginya. Aldebaran pun menghela napas, lalu mengangkat panggilan tersebut.

"Kenapa belum tidur?" tanya Aldebaran tanpa basa-basi.

"Gimana aku bisa tidur saat aku masih mikirin kamu, Mas," balas Andin dengan suara bergetar.

"Kamu nangis?"

"Kamu marah, ya sama aku, Mas?" tanya Andin balik.

"Saya nggak marah."

"Kalau nggak marah kenapa tadi kamu langsung pergi? Kan, bisa masuk dulu," gerutu Andin.

Anehnya, Aldebaran justru tersenyum mendengar suara manja perempuannya itu.

"Saya hanya nggak mau ganggu kamu sama 'mantan' kamu itu," ucap Aldebaran sensi.

"Kamu cemburu, ya?"

"Saya nggak cemburu."

"Bohong..., pasti tadi kamu udah mau kebakaran jenggot," ucap Andin.

"Saya nggak punya jenggot, Andini Kharisma Putri," balas Aldebaran.

"Aku sama Roy tadi nggak ada apa-apa, Mas. Serius, deh.... Dia Dateng ke rumah cuma mau minta maaf aja." Andin berusaha menjelaskan.

"Minta maaf sekalian ambil kesempatan peluk kamu."

"Oo..., cemburu, ya," goda Andin.

"Apa sih, Ndin." Aldebaran mulai terdengar jengkel.

"Mas," panggil Andin.

"Hem?"

"Maafin aku, ya...."

Aldebaran terdiam, membuat Andin tidak sabar. "Mas Al maafin aku...," kata Andin dengan suara manjanya. Hal tersebut membuat Aldebaran tak bisa menahan diri.

"Saya ke rumah kamu."

Panggilan dimatikan. Aldebaran segera bersiap menuju rumah Andin. Ia pun segera tancap gas tanpa aba-aba. Sedangkan Andin di rumahnya tengah dibuat cengo sendiri.

"Mas Al mau ke sini? Pagi-pagi buta?" tanya Andin kepada dirinya sendiri.

Andin pun langsung mencoba menghubungi Aldebaran kembali. Namun hasilnya nihil. Ia pun malah dibuat panik. Bagaimana kalau papanya tau Al datang ke rumah dijam segini?

"Damn it!" Andin memukul kepalanya. Harusnya ia mengikuti saran papanya untuk menunggu sampai besok pagi, bukannya nekat terus menghubungi Aldebaran bahkan di pagi buta seperti ini.

Andin salah menyepelekan seorang Aldebaran Alfahri. Ia melupakan satu fakta bahwa laki-laki itu bisa saja melakukan sesuatu sesuai kemauannya tanpa pikir panjang.

Disela waktu berpikir Andin, ia dikejutkan dengan pesan yang masuk. Aldebaran sudah ada di depan rumahnya, di jam tiga kurang seperempat. Andin panik seketika. Lalu ponselnya berdering. Andin mencoba mengatur napas, ia berusaha menyiapkan mental untuk menghadapi Aldebaran. Andin pun segera keluar menemui laki-laki tersebut.

Cklek...

Aldebaran menoleh ketika ia mendengar pintu terbuka. Andin muncul dengan ragu-ragu.

"Mas Al ngapain sih ke sini? Kalau papa tau gimana, tetangga ada yang lihat gimana," ujar Andin panik.

Bukannya menjawab, Aldebaran malah mendekat ke Andin. Ia tatap manik mata perempuan di hadapannya dengan penuh makna.

"Saya sudah maafkan kamu, lagian saya juga salah," kata Aldebaran.

Andin mendongak dan tersenyum. "Jadi, mas Al udah nggak ngambek lagi, nih?"

"Saya nggak ngambek," balas Aldebaran tak terima.

"Masa? Kok cemburu sampe segitunya. Katanya nggak cemburu, nggak marah, tapi pas dipanggil ngacir gitu aja," ujar Andin menggoda Al.

Aldebaran pun terkekeh dibuatnya. Ia benar-benar tak menyangka jika tak bisa berlama-lama kesal dengan Andin. Apalagi menyakiti perempuan itu, Aldebaran rasanya tidak akan pernah bisa. Setelah memikirkan semuanya tadi, Aldebaran juga ikut salah. Harusnya ia juga tak bersikap seperti itu ke Andin.

"Saya juga minta maaf, ya," kata Aldebaran. Tangannya sudah membelai pipi chubby Andin.

Andin tersenyum, tiba-tiba ia memeluk Aldebaran. "Jangan marah lagi, ya Mas. Aku nggak suka kalau Mas Al kayak gitu," ucap Andin. Aldebaran pun mengeratkan pelukannya, mencium aroma khas milik Andin.

"Saya hanya takut, Ndin. Dan mungkin saya juga belum terbiasa sama semuanya," balas Al.

"Takut kenapa?"

Aldebaran menangkap wajah Andin. "Saya takut jika kamu meninggalkan saya, saya takut kita akhirnya harus terluka."

Mendengar perkataan Aldebaran membuat Andin seperti tertampar. Rupanya laki-laki di hadapannya menyimpan sebuah luka yang belum mengering, kenangan yang jika tersentuh memberikan duri. Andin mungkin tak tahu ketakutan apa yang dialami Aldebaran, tapi Andin juga merasakan hal yang sama. Ia juga ingin lepas dari bayang-bayang rasa sakitnya patah hati.

"Aku akan selalu ada di samping kamu, Mas," ucap Andin.

Aldebaran tersenyum. Ia lalu membisikkan sesuatu kepada Andin. "Will you marrie me?"

Andin terkejut mendengarnya. Apa tadi yang dikatakan Aldebaran? Apakah ia kini tengah melamar Andin?

"Saya nggak mau menunda lagi. Saya ingin menjadikan kamu istri saya," kata Aldebaran.

"Mas, bisa nggak ngelamarnya nanti pagi aja gitu. Aku kan juga belum dandan," ucap Andin mencoba menghapus air matanya.

Aldebaran tertawa melihat tingkah Andin. Ia lalu mencium kening Andin. "Nggak perlu dandan kamu tetap cantik di mata saya," balas Aldebaran.

Love DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang