BAB 2 || Kantin

3 3 0
                                    

Sungguh, kini Tere rasanya ingin menenggelamkan kepala dilipatan tangan. Matanya tak bisa diajak kompromi, rasanya sungguh berat untuk tetap membuka kelopak matanya. Padahal, semalam ia tidur cukup nyenyak dan lebih lama jika dibandingkan manusia biasanya. Jika remaja biasa akan tidur minimal pukul delapan, atau setengah sembilan, maka Tere kemarin terlelap pukul setengah tujuh sore.

Apa ini efek dari mata pelajaran sejarah?

Tak memedulikan ocehan guru berjenggot putih didepan. Tak terasa Tere memejamkan matanya dengan tangan kiri menumpu dipipi dan tangan kanan terlipat diatas meja. Keseimbangan yang cukup bagus.

Sayangnya hal itu tak bertahan lama, suara goresan spidol pada whiteboard cukup membuat telinganya sakit dan membuat kelopak matanya terbuka.

Tere menatap papan tulis dengan lesu, tulisan yang tak terlalu kentara akibat tinta spidol yang hampir habis terlihat buram dimatanya. Jika biasanya penglihatannya bak setajam mata elang, maka berbeda lagi jika kesadarannya menipis, maka gajah sebesar burung unta pun akan terlihat buram.

Sementara gadis imut didepannya tengah menyimak pelajaran dengan baik. Tak heran jika Clara termasuk jajaran murid terpintar di SMA Garda Muda, namun sekeras apapun Clara berjuang, ia tak pernah bisa mengalahkan sosok sahabatnya, Nona Terega yang super duper multitalenta tersebut.

Tere pintar olahraga, semua orang tahu itu. Tere juga pintar dalam akademik maupun non akademik. Tere pernah mewakili lomba catur nasional dan membawa pulang medali emas, Tere sangat teliti bahkan guru pun sering memintanya untuk membantu mengoreksi jawaban ujian para murid SMA Garda Muda. Selain itu, Tere juga terkenal dengan kejujurannya, walaupun kehidupannya yang tergolong rendah di SMA Garda Muda, ia tak pernah tergiur dengan ratusan juta rupiah dari seorang berandalan sekolah yang menyogoknya karena Tere memergokinya menyiksa seorang siswa SMA lain hingga tak bernyawa. Alhasil siswa tersebut hingga kini mendekam didalam dinginnya jeruji besi.

Suara bel tanda istirahat pertama berbunyi nyaring, semua penghuni kelas 11 IPA 1 itu membereskan peralatan belajar mengajar, terkecuali Tere.

Gadis itu hanya menyisihkan dengan asal alat belajarnya ke sisi kiri meja dan melangkah pergi meninggalkan meja yang nampak bersih disisi kanan dan berantakan disisi kiri.

"Tere! Ihh, Tere lama banget sih jalannya!"

Tere yang awalnya membuka setengah kelopak matanya kini membuka lebar-lebar dan mengedipkan matanya beberapa kali. Dapat ia lihat Clara telah berada diambang pintu kelas. Ia segera menghampirinya sebelum Clara kembali berceloteh dan berakhir ngambek.

Clara merangkul lengan Tere. Berjalan disamping Tere, membuat mereka terlihat seperti kurcaci dan raksasa. Bagaimana tidak? Tere yang memiliki tinggi seratus sembilan puluh dua centimeter berjalan disamping Clara yang memiliki tinggi seratus empat puluh centimeter. Benar-benar perbedaan yang terlihat.

Sebenarnya mereka berdua sangat-sangat bertolak belakang, baik dari segi sifat, atau segi kehidupan.

Tere yang sebatang kara dan hidup serba 'cukup', Clara yang memiliki kedua orang tua dan hidup 'mewah'. Clara yang manja dan hidup dipenuhi kasih sayang, Tere yang mandiri dan hidup keras. Tere yang dingin, datar serta cuek, Clara yang periang, ceria dan ramah. Clara yang pendek dan memiliki postur tubuh seperti anak SMP, Tere yang memiliki postur tubuh seperti model. Tere yang berkulit putih lebih putih dari pada susu, dan Clara yang berkulit kuning langsat. Clara berwajah seperti orang Eropa, dan Tere yang entah campuran dari negara mana.

Keduanya telah sampai dikantin lantai dua yang nampak seperti lautan manusia. Dimana para manusia bertebaran memenuhi area kantin dan saling berdesak-desakan demi mengisi perut kosong mereka. Tere adalah salah satunya.

DendamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang