“Apa kau percaya hantu?”
“Apa kau percaya hantu?”
“Apa kau percaya hantu?”
Menjengkelkan sekali temanku ini. Selalu bertanya
hal seperti itu. Entah berapa kali sudah kukatakan
kalau aku tidak percaya adanya hantu atau hal
semacamnya. Tapi aku tahu apa maksudnya.
Pada
akhirnya dia akan selalu menggolokku yang jomblo
ini.
Betapa menyebalkan dirinya, sungguh.
“Jangan sedih gitu dong!” ejeknya.
“Nenekku pernah berkata, jika kamu berjalan di
tengah hujan sambil membawa payung merah,
maka kamu akan menemukan jodohmu yang juga
menggunakan payung berwarna merah.”
“Memangnya kamu pikir batu kerikil gitu?” ujarku
sembari bercanda.
Aku jelas ragu dengan ucapannya. Bagaimana pun
itu hanyalah mitos belaka.
***
Waktu berganti sore. Sialnya, hujan turun dengan
derasnya. Aku yang setiap pulang menggunakan
bus kota, terpaksa harus menerobos hujan. Kulihat
hanya tersisa satu payung berwarna merah.
Kuambil, kubuka dan kemudian berjalan pergi
menuju halte. Uh …, udaranya dingin sekali,
batinku. Aku menggunakan tanganku yang satu lagi
memeluk tubuhku yang kedinginan.
Melewati lorong-lorong kecil di antara bangunan
tinggi, ini adalah jalan pintas. Entah kenapa hatiku
terasa tenang dan tentram sekali saat ini. Mungkin
pengaruh dari hujan ini, walaupun suaranya deras
menderu. Sesekali angin dingin berhembus hingga
membuatku terdiam sejenak.
‘Cplak … cplak … cplak …’
Aku terus berjalan melewati genangan genangan
air, hingga kemudian berhenti sesaat. Sepertinya
terdengar sesuatu yang lain di antara suara rintik
air yang jatuh dengan bebas dari langit. Hingga
sebuah tubrukan dari atas membuat mataku
terbelalak. Sesuatu jatuh dari atas sana, membuat
cetakan yang jelas di atas permukaan payungku—
wajah manusia. Aku kaget, jantungku berirama tak
karuan. Segera kulempar payung itu dan tubuhku
mundur ke belakang. Tapi tak kudapati apapun
selain hujan dan kesendirian di tempat ini. Apa
apaan itu tadi?
***
Sekarang aku berhenti di halte menunggu
kendaraanku tiba. Tubuhku basah semuanya gara
gara kulempar payungku tadi. Semakin menambah
rasa dingin yang menusuk sampai ke tulang,
terlebih saat angin melewati diriku.
Halte ini sungguh tidak terawat, tempatnya hampir
bisa dikatakan sudah bobrok. Atapnya pun sudah
tidak ada. Dalam penantianku, terlihat seorang
wanita berjalan menujuku dan berhenti di
sampingku. Aku tak terlalu memperhatikannya,
hingga teringat sesuatu yang dikatakan temanku.
Kulirik wanita itu juga menggunakan payung
berwarna merah. Apa dia jodohku? Pikiranku mulai
aneh. Aku lupa kalau tak memakai jam tangan, jadi
kucoba tanyakan pada wanita di sebelahku. Setelah
itu, kami mulai terlibat beberapa percakapan
ringan. Terdengar tawa kecil dari balik payungnya.
Payung merah yang diangkatnya terlalu rendah.
Membuatku tak dapat melihat wajahnya sedikitpun.
“Apa Anda barusan menunggu di sini?” tanya
wanita itu kembali meneruskan. “Aku sudah
menunggu cukup lama di sini. Sepertinya akan ada
yang menggantikanku.”
Aku mengernyitkan dahi mendengar ucapannya—
aneh sekali. Bukankah dia baru saja datang?
Mendadak angin kencang berhembus, membuat
sapu tangannya terbang ke arah jalan. Entah
karena refleks atau apa, tubuhku tiba-tiba berlari
mengejar untuk menggapai sapu tangan yang
sudah basah itu. Aku berbalik. Di saat itulah
tubuhku kaku tak bisa kugerakkan. Jantungku
berdetak lebih kencang, memompa darah lebih
cepat membuatku sekujur tubuhku panas dan
nafasku tersengal. Wanita itu menggangkat tinggi
payungnya, memperlihatkan kepalanya yang
ternyata buntung.
Beberapa detik setelah itu, sebuah sorotan cahaya
mencuri perhatianku. Aku berusaha melihat lebih
jelas, dan cahaya tersebut rupanya berasal dari
sebuah bus yang melaju kencang ke arahku.
Refleks aku berniat menghindar dari bus tersebut.
Sialnya aspal yang licin membuatku terpeleset,
jatuh dan ban besar itu tepat melindas dan
menghancurkan kepalaku.
***
Sekarang … aku menggantikan tempat wanita itu.
Menunggu … di sini, dengan payung merah … yang
menjadi kutukan. Mencari penggantiku dalam
sebuah penantian panjang.