.
.
.Rindu.
Kadang aku tertawa mendengar kata-kata itu keluar dari mulut sepasang remaja yang sedang jatuh cinta.
Seolah-olah rindu yang mereka maksud begitu berarti saja. Padahal, percaya atau tidak, setahun dua tahun setelah mereka menjalani hubungan yang disebut 'pacaran' itu, rindu yang mereka maksud sudah tidak ada harganya. Dan 'bosan' lah sebagai kata penggantinya.
Dan aku benci dengan kenyataan itu.
***
10 Oktober tahun 2021 aku mendapat pesan dari nomor tidak dikenal. Aku membacanya. Dan setelah kubaca, aku tertawa miris.
Tidak bosankah dia mengatakan kalimat yang sama disetiap pesan yang dia ketik? Aku saja yang tinggal membaca, sudah jengah sekali.
Foto profil yang hanya terlihat bayangan abu-abu itu aku tekan, lalu kugulirkan kebawah, dan berakhir dengan pemblok-an kontak. Lagi.
Sebenarnya, tidak perlu repot-repot membeli kartu baru hanya untuk mengirimiku pesan membosankan itu.
Percuma.
"Laras." suara dari balik pintu membuatku menghapus setitik air yang keluar dari ujung mata secara tidak sadar.
Aku bangkit, membuka pintu yang kembali diketuk. "Iya, sabar."
Pintu terbuka, dan tubuh seorang perempuan yang sudah tidak muda lagi yang terlihat. Rambut yang ia ingat dulu begitu hitam pekat, sekarang sebagian berubah menjadi putih. Kulit yang dulu terawat, sekarang terdapat kerutan dibeberapa titik.
Tapi seperti hati nuraninya sudah tidak ada, ia tidak bekata "Ibu kenapa berdiri disini, ayo duduk, Bu. Aku ambilin makan ya." tapi, kalimat "Apa." dengan wajah yang tidak bersahabat yang keluar.
Senyuman yang seakan hatinya tidak sakit melihat tanggapannya seperti itu, malah membuat ia benci saja.
Jangan. Jangan seperti itu, Bu.
Itu hanya akan melukai harga diriku.
Lewat celah bulu mata yang masih ia kagumi sampai saat ini, ibunya melihat kearah sang putri. "Nak, ada yang mau ibu sampaikan."
Ia meneguk ludah. Kerongkongannya terasa sakit melihat suara lirih itu terdengar ditelinganya. Oh, Tuhan. Ia ingin sekali mendekap tubuh ringkih itu.
Tapi ego nya lagi-lagi berteriak tidak.
"Mau ngomong apa? Tugasku masih banyak. Kalau nggak penting, mending nggak usah." akhirnya kalimat yang ia harap bukan dia yang mengatakannya itu mengalun.
Dapat ia lihat bola mata ibunya sedikit berembun. "Penting, Nak." tangan Ibunya menggapai tangan yang ia simpan dibelakang punggung. "Nak, Ibu mau tanya… umur kamu sudah berapa?"
"Ck. 21 tahun." jawabku seolah malas.
Ibu tersenyum lagi. "Wah, anak Ibu sudah besar."
Sudah, Bu. Tolong jangan buat aku menangis didepan Ibu.
Tanganku satunya yang masih berada dibelakang punggung kukepal seerat mungkin. Tenggorokan ku sudah sakit sekali, seperti ada buah yang memaksa masuk melewatinya.
"Kamu sudah besar, Nak. Pemikiran mu juga pasti bertambah dewasa kan, Nak? Tidak akan marah lagi hanya karna temanmu mengambil permen kamu, dan tidak akan takut kalau kamu bangun dari tidur dalam keadaan celana sudah basah." ucap Ibu terkekeh mengingat cerita lama itu.
Mulutku sudah tidak bisa mengeluarkan kalimat. Takut jika satu kata saja kukeluarkan, malah air mata yang akan jatuh mengenai tangan Ibu yang menggenggam tanganku.
"Sebelum Ibu membawa kamu ke orang ini, Ibu hanya mau memastikan jika hatimu sudah kuat." ucap Ibu yang membuatku bingung. "Sudah kuat kah hatimu, Nak?"
Sekuat tenaga aku usahakan agar bisa tetap berbicara tanpa menangis. "Aku nggak pernah lemah, Bu. Kalian sudah menghancurkan hatiku sejak dulu, dan sekarang aku sudah terlatih. Tenang aja. Katakan apa yang mau Ibu katakan, jangan mengulur waktu."
"Baik. Ayo sekarang ikut Ibu ke ruang tengah. Ada seseorang yang ingin menemuimu."
Aku mengikuti langkahnya yang lambat menuju ruang yang dikatakannya tadi.
Setelah sampai pada pilar penghubung ruangan, aku membeku. Tangan yang digenggamnya aku tarik, melepaskan tautan kami. Mataku membola, dan kepalaku terasa panas secara tiba-tiba.
TBC!
Selamat datang di cerita pendek aku:)
Semoga suka yaaa.Cerita ini aku buat saat ngedengerin lagu-lagunya Feby Putri. Entah kenapa langsung aja tuh konsep cerita pendek muncul di kepala.
Di like ya, dikomen juga, dan dishare hehe<3
KAMU SEDANG MEMBACA
Andai ( Short Story )
Short StoryRindu. Kadang aku tertawa mendengar kata-kata itu keluar dari mulut sepasang remaja yang sedang jatuh cinta. Seolah-olah rindu yang mereka maksud begitu berarti saja. Padahal, percaya atau tidak, setahun dua tahun setelah mereka menjalani hubungan y...