SERI 2. DAERAH GELANG-GELANG
No. 1. Tunas Bersemi
Oleh : Unggul K. Surowidjojo
Hujan gerimis membasuh Alas Segoro, sebuah hutan kecil di sebelah selatan gunung Merapi dipagari oleh pegunungan Sewu di timur dan pegunungan Menoreh di barat. Dulu hutan ini merupakan daerah kekuasaan Prabu Sanna, raja yang halus budi dan bijaksana yang menguasai seluruh Djawadwipa, setelah dinasti Sanjaya berdiri daerah ini kemudian menjadi milik Kerajaan Bhumi Mataram, namun pertentangan dingin antara Sanjayawamsa dan Syailendrawamsa yang semakin meningkat, dan sikap Raja Syailendra Samaratongga yang lebih terbuka membuat laki-laki bercita-cita kelewat tinggi bernama Guphala, penguasa tak resmi di hutan itu lebih memilih tunduk kepada Raja Samaratongga dari pada Sang Maharaja Bhumi Mataram Rakai Pikatan. Daerah ini subur, dengan sungai-sungai yang jernih mengalir, namun juga selalu miris oleh ancaman gulungan lahar yang sering muncul dari kawah gunung Merapi.
"Aku lahir bukan sebagai budak, Adhi?" kata Guphala kepada adiknya.
"Ya, tapi juga bukan sebagai perampok bukan?" sergah adiknya menukas, "Kenapa Kakang selalu menjadi penghalang perdamaian antara Pikatan dengan Samaratongga? Kenapa Kakang tutup jalur selatan yang menghubungkan Sambara Budhara dengan Pengging, dua daerah utama kekuasan Syailendra dan Sanjaya timur?"
"Karena akulah pemilik kekuatan Kala, kita ini lahir di sini, paham kita juga tumbuh di sini. Setelah Wayu, Sang Bathara Kala adalah tuhan di sini, walaupun orang-orang Sanjaya mengakui Kala sebagai bagian dari Shiwa, tetapi selalu saja mereka menghina kita, mereka lebih memuji-muji Wisnu, Shiwa dan Brahma. Mereka mengejek kita, aku lebih suka Samaratongga yang Budhha daripada Pikatan yang Hindu tapi melecehkan kita" jawab Guphala ketus.
"Sudahlah, aku tak mau berdebat lagi mengenai itu, aku mau pergi ke kali." kata adiknya yang kemudian meninggalkannya sendirian. Gadis itu keluar dari pendopo rumahnya, segera memanggil gadis-gadis lain untuk diajaknya pergi ke kali, gadis itu segera lupa akan perdebatan dengan kakaknya. Dan tak mendengar lagi kata-kata Guphala pada dirinya sendiri, "Suatu saat aku akan mendirikan sebuah wangsa sendiri, yaitu Wangsa Kalana." keningnya berkerut kepalanya mengangguk kecil.
Gadis-gadis itu tak menghiraukan gerimis yang membasahi tubuh mereka, saat bertemu dengan rumpun bunga wora-wari merekapun berhenti sejenak, memetiknya kemudian berlari-lari, di keremangan gerimis pagi jelas sekali kalau Jonggrang, si adik Guphala itu terlihat jauh lebih ayu daripada gadis-gadis yang lain. Begitu ceria mereka itu, bisa dipastikan mereka tidak tahu bahwa posisi Alas Segoro bagaikan kayu di antara dua bara. Apalagi Guphala telah berhasil mempengaruhi Balaputeradewa untuk terang-terangan melawan ayundhanya Pramodhawardani yang telah menjadi permaisuri Sang Maharaja Bhumi Mataram Rakai Pikatan. Bahkan Guphala telah berhasil membuat rasa antipati rakyat Bhumi Mataram terhadap Wangsa Syailendra sebagai wangsa yang percaya akan pengaruh Kala, pemutar balikan kenyataan itulah yang dikehendaki Guphala bahwa Syailendra adalah Kalana bukan lagi Budha.
"Balaputeradewa si anak manja itu, yang baru belajar hidup itu akan menarik pelajaran dari peristiwa besar nanti, peristiwa yang aku buat, dan dia hanya akan memilih, aku beri kesempatan dia menjadi Sri Maharaja yang menguasai seluruh jawa tetapi tetap tunduk terhadap gagasanku, menjadi pecundang dan lari atau mati terbunuh di dalam medan pertempuran," renung Guphala pada suatu saat, "Dan inilah satu-satunya cara bagiku untuk menunjukkan pada Candrawati, bahwa aku lebih baik dari Damarmaya, Adipati Pengging yang cluthak itu!" sungutnya sampai mulutnya tampak menyeringai menunjukkan taringnya yang sedikit lebih panjang dari gigi-giginya yang lain.
Gumpalan mendung pagi di atas langit Alas Segoro belum juga habis jatuh sebagai gerimis, laki-laki gagah tinggi besar dengan matanya yang menyala itu masih juga kelibet dalam lenguhnya. "Kenapa aku tak bisa melupakan Candrawati, perawan dusun Kalathi yang payudaranya seperti menombak-nombak seluruh isi dadaku itu. Bukankah dia sudah dengan senang hati rapuh dalam pelukan Damarmaya? Ohh, Sang Bathara Kala, kenapa kau biarkan waktu berlalu tanpa kau beri aku kesempatan menidurkan kepalaku di atas dadanya? Membelai rambut di keningnya? Mengusap ramping perutnya? Memandang setiap hari cantik parasnya? Ohh, Kala, penguasa waktu, kenapa kau biarkan aku merana? Merutuki nasib ini sepanjang hari sepanjang waktu?"