HUJAN
Aku baru saja memulai langkahku ketika setitik hujan jatuh di keningku. Seketika itu juga aku merasakan beku menjalar disekujur tubuhku. Setitik hujan merampas kehangatan yang semula terjaga dibalik kulitku, menghancurkan kehidupanku sampai ke bagian yang terdalam. Tawaku, hatiku, jiwaku, tak lagi ada setelah hujan datang dengan pasukannya yang tak berperasaan. Aku benci hujan. Benci amat sangat benci.
"Nayaa, ayo berteduh hujan ini deras!!" Ujar remaja pria yang berdiri di halte.
Air dengan cepat menggenangi tepi jalan, hujan membasahi baju yang hari ini kupakai. Tetapi Naya masih tetap tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Iya masih terdiam memandang lurus ke depan serta tak mendengar ucapan temannya.
Teman Naya berlari mendekat, menarik pergelangan tangannya menuju halte.
"Naya, apa yang kamu lakukan. Itu hujan tidak kah kamu tahu kalau kamu itu benci terkena hujan!!" Geram temannya.
Naya hanya menatap temannya itu, dengan tatapan kosong.
Naya benci hujan karena masa lalu nya yang kejam. Padahal dulunya hujan adalah favorit Naya. Disetiap hujan Naya akan selalu keluar untuk bermain hujan. Tapi semuanya berubah.
"Naya, hallo kamu kenapa sih?!"
Naya menggeleng kecil, dan menjawab " Rey, kita pulang ya, hujannya kecil kok dan aku gapapa"
Ya, teman yang bersama Naya ini adalah Rey. Lebih lengkapnya Rey Abimara. Sahabat Naya yang sejak SMP sudah bersamanya.
Rey menggeleng tanda menolak.
"Ga! Kita tunggu redaan, aku tahu kamu ga suka hujan. Kita tunggu disini saja, aku akan telepon ayah untuk menjemput"
Naya menggeleng, menolak balik perkataan Rey.
"Ayo, kita pulang saja. Menerobos hujan bukan hal buruk. Aku tidak apa apa Rey."
Rey tetap kekeh untuk menunggu di halte, dan menelpon ayahnya untuk menjemput mereka di halte. Beda halnya dengan Naya yang masih tetap memaksa untuk pulang berjalan menerobos hujan.
"Naya, sekali lagi kamu memaksa aku akan marah. Kita tidak akan bersama lagi setelah ini!"
Naya menatap mata Rey yang sudah kesal itu. Dan hanya bisa mengangguk pelan. Dia tidak ingin merasakan lagi kehilangan. Sudah cukup untuk kejadian yang lalu. Yang membuatnya kehilangan orang yang dia sayang tepat di bawah hujan juga.
Naya berdiam diri dan sibuk dengan isi kepalanya yang berisik.
Aku tidak suka ini. Aku tidak suka kebekuan menjalar di sekujur tubuhku hanya karena hujan menyentuhku. Pikirnya.
Naya berdiri, menengadah menatap hujan dihadapannya. Awan kelabu tipis meremangi langit sore itu. Matahari telah undur diri, satu jam lebih cepat daripada hari-hari sebelumnya tanpa hujan.
“Puaskan dirimu menghukumku, hujan! Aku akan menunggu hingga kau lelah dan berhenti bermain-main di sini.”
Dari tempat Naya berdiri naya dapat melihat bangunan memanjang dengan tinggi dua lantai di hadapannya. Bangunan berarsitektur serupa dengan bangunan tempatnya berada sekarang. Ya, tentu saja, fungsinya sebagai pertokoan. Dan ini toko buku, satu toko istimewa yang berdiri diantara puluhan tempat yang berdiri di sekitarnya.
Sekian menit berlalu hujan tak juga reda, dari suaranya dapat disimpulkan hujan semakin merajalela. Untungnya hujan yang lumayan deras ini membuat orang-orang enggan berkeliaran.
Tin tin tin.....
Suara klakson mobil terdengar. Naya melihat ke arah mobil itu, dan ternyata itu mobil yang di bawa oleh ayah Rey. Dia benar- benar datang menjemput mereka di halte.
Ayah Rey turun dengan membawa payung di tangannya. Rey mengambilnya dan membukakan payung itu untuk Naya.
"Ayo, sekarang kita bisa pulang tanpa terkena hujan"
Naya hanya tersenyum tipis dan berjalan bersama Rey menggunakan payung berdua ke dalam mobil. Ayah Rey menyusul dari belakang.
Di dalam perjalanan, hanya ada keheningan yang terasa serta rasa dingin yang menyelimuti. Tidak ada suara kecuali derasnya hujan.
"Ehem hem" Ayah Rey berdehem untuk memecah keheningan.
"Ayah kenapa, ayah sakit ?" Tanya Rey.
"Tidak, hanya berdehem saja. Bagaimana sekolah kalian?" Tanya nya.
Rey bercerita, sedangkan Naya masih terdiam dengan menatap pandangan yang ada di luar mobil. Melihat bangunan-bangunan yang dilewati nya.
"Naya, kamu kenapa diam, ada masalah nak?"
Sedetik Naya ingin menjawab dan menoleh, tiba-tiba saja mobil yang ditumpangi mereka menabrak mobil di depannya.
Kejadian ini begitu cepat terjadi, mobil yang mereka tumpangi terlempar dan hancur. Ada beberapa saksi mata yang melihat ini pun berjalan mendekat. Dengan keadaan hujan lagi Naya kehilangan orang yang dia sayang.
"Hujan, kau menang. Kau tertawa di bawah kepedihanku" Batin dari Naya sebelum ia menutup matanya dan hanya keheningan yang terdengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serana [On Going]
Teen FictionSaat itu hujan. Dan saat itu aku berteriak memaki hujan. Hujan yang telah merenggut harta yang paling berharga yang kumiliki. Hujan yang telah merebut cinta yang tak dapat kuambil kembali. Hujan yang telah menorehkan luka yang pedihnya tak dapat ter...