Nenekku Sayang, Nenekku Malang

17 4 0
                                    

Nenekku Sayang, Nenekku Malang

Kain putih terhampar panjang, disobek dan dibentangkan. Dibentuk tanpa jahitan dengan tali-tali panjang kecil yang disediakan. Membentuk baju, rok, jilbab, dan mukena, siap digunakan pemakai yang sudah tak bernyawa. Bunga melati bahkan dironce indah siap menjadi hiasan.

Semua tampak biasa, tidak ada raut kesedihan pada wajah cucu, anak, dan kerabat.

“Iya, sakitnya sudah lama, tapi sudah hampir sebulan ini memang sudah tidak mau makan, minum, bicaranya juga sudah ngaco dan aneh-aneh.” Nada sumbang terdengar, dari anak yang paling tua.

“Iya, mau bagaimana lagi? Memang sudah tua dan sudah waktunya,” celotehnya santai cengengesan membuat geram seorang gadis muda yang sejak tadi duduk sendiri menunggui jenazah sambil membaca Yasin.

Air matanya menitik, sedih, menggetarkan suaranya yang melantunkan ayat-ayat.

“Maaf ya Nek, maaf in Vina yang belum bisa bahagia in Nenek.”

“Nenek pasti masuk surga, kubur Nenek juga pasti luas dan terang benderang. Vina yakin, Nenek akan lebih bahagia dia alam kubur dari pada di dunia ini,” katanya dalam hati, pikirannya menjauh mengingat semua kejadian yang menimpa neneknya belakangan ini.

“Aduh! Aduh Pak!”

“Gua ditendang Pak, Gua ditendang!” teriak wanita paruh baya yang renta terduduk di lantai sambil mengusap dada. Memanggil-manggil pasangannya yang tak kalah renta.

“Gua ditendang terus pak sama Emur, gua di tendang terus,” teriaknya berkali-kali, sedih, marah namun tak berdaya, menepuk-nepuk dadanya sendiri.

“Gua salah apa emangnya Pak, salah apa gua, digini in terus? Mati in aja apa Pak sekalian,” katanya lagi, tak mendapat respon dari sang suami yang juga tak berdaya. Keduanya hanya bisa menitipkan air mata, meratapi kenyataan pahit perlakuan anak menantunya pada akhir usia mereka.

Tidak dipungkiri, dengan mata kepalaku sendiri aku melihat bagaimana dua orang tua yang renta itu diperlakukan, oleh menantu bahkan anaknya sendiri.

Sering kali keluh kesah mereka diabaikan, dan dianggap berlebihan, padahal aku yakin mereka juga melihat dengan jelas bagaimana kedua orang tua itu diperlakukan oleh salah satu menantu mereka, yang biasa di panggil Emur.

Aku menangis, ikut menitipkan air mata saat menghampiri keduanya. Tersenyum mengusap-usap kaki sang nenek sambil berkata.

“Kenapa?” tanyaku lembut, berharap sikapku dapat mengobati sedikit luka di hati mereka.

“Gua ditendang in, sama Emur ... enggak tahu ngapa? Begitu sama gua.”

“Tolong in Nenek apa Vi!” pintanya padaku yang merupakan cucu kedua dari anaknya yang pertama.

“Sakit banget Pi, sakit!” keluhnya lagi membuat sang suami beranjak, duduk melongo di kursi yang ada di teras, tak jauh dati tempat sang istri berkeluh kesah.

“Iya, mana yang sakit ... Vina obatin ya!” kataku mengusap-usap kaki yang terasa sakit.

Kulit yang bergelambir, tulang yang kecil tanpa daging, rambut putih dan air mata yang terus mengalir.

Hatiku teriris, melihat pemandangan yang ada di depanku.

“Ya Allah, hentikan penderitaan Kakek Nenekku ya Allah, aku ikhlas, ambillah mereka kembali ke sisi-Mu. Cukupkan penderitaannya yang mereka alami sebagai penebus segala dosa dan kesalahan mereka selama hidup ini. Mereka lahir dan besar pada jaman penjajahan ya Allah, maafkanlah jika mereka tidak tahu cara beribadah yang baik. Maafkan jika karena itu mereka enggan belajar dan menjalankan perintah-Mu ya Allah, cukupkan .... Cukupkan segala perbuatan zalim yang mereka terima dari anak menantu mereka sebagai penebus segala dosa.” Doaku dalam hati sambil mengusap dan memijat lembut kaki ringkih wanita yang aku sayangi.

Wanita ini nenekku, namanya Jiah, wanita kelahiran 89 tahun lalu, hidup di berbagai jaman. Mulai dari penjajahan Belanda hingga Jepang. Masa mudanya cantik, dengan pendidikan hidup yang cukup keras, terkenal pelit dengan mulut yang tajam dan suka bergosip.

Bukan salahnya, tapi itulah pendidikan dari orang tuanya. Karena kecantikannya ia sempat dipinang orang Belanda, tapi karena hendak di bawa kembali ke negeri asal ia menolak dan menuntut perpisahan. Ia juga pernah menikah dengan penjajah Jepang, namun kembali berakhir saat sang suami hendak membawanya kembali ke Jepang.

Pernikahan singkat, dengan dua warga negara asing itu tak memberinya keturunan, karena itu ia semakin bersinar dan sempat jadi rebutan. Namun kakekkulah yang mampu memenangkan hatinya, hingga mereka di karuniai delapan orang anak.

Sayangnya dari delapan anak yang di lahirkan, hanya empat yang hidup. Yaitu bapakku sebagai anak pertama dan tiga adiknya yang lain, dan semuanya laki-laki.

Nenekku memang terkenal jahat, mulutnya tajam dan selalu membicarakan menantu dengan sangat kejam. Ibuku yang adalah menantu pertamanya habis menjadi bahan omongan dan tuduhan yang menyakitkan.

Untungnya mama terlahir dengan kepribadian baik, hingga cuma bisa menangis dalam diam tak pernah membalas, tapi hal itu menimbulkan dendam di hatinya, hingga dia selalu marah jika kami anak-anaknya memperhatikan sang nenek lebih dalam.

Bukan salahnya juga, kami yang sudah mulai dewasa ini sadar dan dapat mengerti perasaannya.

Waktu berlalu, nenekku kembali tenang dan akhirnya tertidur, setelah cukup lama bercerita tentang hidupnya yang penuh derita.

Aku hanya bisa berkali-kali meminta maaf dalam hati, karena tidak sanggup membawa dan memberikan kenyamanan padanya hingga kini.

Aku menyesal sangat menyesal karena tidak mampu berbuat apa-apa. Kondisiku tidak berdaya setelah mendapat ujian berat rumah tangga. Aku hanya bisa berdoa dan berdoa semoga Allah segera menutup penderitaan mereka.

Beberapa hari berlalu, ternyata nenek sudah tak keluar kamar sejak itu. Ia terus tidur dalam kasurnya, meringkuk tidak mau makan atau minum. Meski sudah dipaksa dengan disuapi tetap saja tak ada sedikit pun makanan yang masuk.

“Mba, kuping nenek di semut in!” kata adik sepupuku, membuatku terkesiap membatalkan langkah berangkat kerja.

“Deg.” Jantungku berdetak sekali namun seperti memberi isyarat.

“Inikah saatnya?” kataku dalam hati mempercepat langkah, menuju rumah yang nenek dan kakek tinggali.

Aku lihat tertuaku sedang merapikannya, mengelap badan nenek menggantikan pakaiannya. Membersihkan tempat tidur yang di tempatinya.

“Kita kasih minum!” katanya saat melihatku datang, aku mengangguk mengerti ajakannya, berdua kami memberikan minum pada nenek yang sudah lemah tak bergerak. Hanya nafas dan detak jantungnya yang masih ada.

Air putih dimasukan dalam mulutnya setalah kami mendudukkannya, matanya terbuka tersenyum melihat kami berdua. Mulutnya seperti hendak bicara namun tak ada kata-kata yang keluar. Aku hanya mengangguk dan ikut tersenyum sambil mencium sebelah pipinya.

“Minum ya Nek,” kataku berbisik di telinganya.

Asyhadu an laa ilaaha illallah, waasyhaduanna Muhammad rosuulullah,” kataku berulang hingga akhirnya air itu tertelan.

Glek glek, suara yang terdengar sebagai tanda bahwa air telah melewati kerongkongan keringnya.

Tubuh itu kembali kami rebahkan, menyelimutinya. Matanya yang sempat terbuka kemudian tertutup kembali dengan senyuman.

Napasnya teratur, seperti bayi yang tertidur. Cantik tanpa bau aneh seperti sebelumnya.

“Aku ikhlas ya Allah, aku ikhlas jika -Kau ingin mengambil kembali nenekku. Aku ikhlas ya Allah, memaafkan semua kesalahan yang di perbuat nenekku kepadaku selama hidupnya. Aku ikhlas, maka mudahkanlah ya Allah, mudahkan perjalanan sakratulmautnya.” Doaku dalam hati, beranjak pergi mengambil surat Yasin.

Nenekku memang bukan orang baik, meski begitu aku tidak setuju dengan perlakuan balasan yang dia dapati di usianya yang kembali seperti bayi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 08, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cermin ( Kumpulan Cerita Mini )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang