(sedang di revisi sampai waktu yang belum di tentukan)
Nyatanya disukai laki laki populer, tampan, keren itu tidak seperti yang dibayangkan para perempuan di sekolah.
Entah bagaimana Ayaka malah terlibat dengan Noa si cowo populer seperti kriteria...
Ayaka benar-benar kehabisan kata. Dia sama sekali tidak mengerti sifat Noa, apalagi kelakuannya yang kadang tidak masuk akal.
Contohnya sekarang—lelaki itu tertidur di kamar Ayaka dengan senyum mengambang seperti bayi, memeluk boneka pinguin milik Ayaka, dibalut selimut dingin yang menutupi seluruh tubuhnya.
Sekarang sudah pukul 11 malam, dan besok Ayaka ada ujian harian. Karena itu, ia belajar hingga larut demi mempertahankan nilai agar tetap stabil. Ayaka masih belum mampu mendapatkan nilai sempurna, jadi ia butuh tidur nyenyak malam ini. Tapi cowok itu malah seenaknya datang, masuk, lalu bilang kalau dia diusir dari rumah dan mau menginap di sini.
Padahal Ayaka belum sempat bilang "boleh"—tapi Noa langsung melompat ke atas kasurnya yang nyaman.
Mau tak mau, Ayaka harus tidur di sofa ruang tengah. "Nggak di sekolah, nggak di rumah, salahku apa sih?" gerutunya pelan, agar Noa tidak mendengarnya.
Ayaka mengambil selimut dari lemari, membawanya keluar kamar, lalu tidur di sofa setelah menyusun bantal untuk sandaran.
Ayaka terbangun. Ia menyibak selimut yang mulai terasa panas dan pengap. Tubuhnya terasa sempit—aneh. Ia duduk dan menoleh ke belakang. Di sana, Noa tertidur pulas di sampingnya. Pantas saja pengap, ternyata ada si pengganggu.
Ayaka mengambil remote AC dan menaikkan sedikit suhunya, lalu berjalan ke dapur. Dapur dan ruang tengah hanya dipisahkan oleh tembok yang juga difungsikan sebagai meja bar. Dari sana, Ayaka masih bisa melihat Noa. Ia membuka kulkas, mengambil sebotol air dingin, dan menuangkannya ke gelas.
"AYA!!"
Ayaka tersentak, hampir menumpahkan airnya. Ia menoleh, dan melihat Noa mengucek mata, menatapnya dari sofa. Noa cemberut. "Kenapa di situ? Sini aajaa~," rengeknya seperti bayi manja.
"Haus, Noa. Mau minum?" tanya Ayaka, lalu meneguk airnya.
Noa menggeleng, "Mau peluk kamu."
"Apa sih bahasanya aneh," protes Ayaka sambil berjalan menghampirinya.
"Emang nggak boleh manja sama pacar sendiri??"
"Bukan gitu—"
"Ayo sini cepetan!" seru Noa, menarik tangan Ayaka agar tiduran di sofa—tepatnya bersandar di dada bidangnya.
"Harus banget posisi begini"” tanya Ayaka, merasa canggung.
"Kan kamu yang tidur di sofa. Lagian, di kasur juga bakal begini."
"Atau mau pindah ke kasur?" goda Noa.
"Nanggung," tolak Ayaka pelan.
"Bolos yuk? Kita cuddle seharian aja," kata Noa sambil duduk di kursi makan. Sementara Ayaka sibuk membuat toast di depan kompor.
"Mau aku tampar pakai buku Kimia atau Sejarah?" sahut Ayaka datar, tanpa ekspresi. Ia sudah belajar mati-matian, dan cowok ini malah ngajak bolos?
Noa langsung merapatkan tangan dan menunduk seperti tersangka minta ampun. "Maaf, Ratu. Saya siap dalam lima menit!" katanya, lalu lari menuju kamar mandi.
"JANGAN DITINGGAL!!" teriaknya sebelum menghilang ke balik pintu.
Ayaka tersenyum kecil, tapi buru-buru menghapus senyumnya. Apa tadi aku senyum? Karena Noa? Gila! Jangan bilang aku mulai suka dia? pikir Ayaka. Ia mendecak kesal pada dirinya sendiri. Lalu lanjut menyiapkan dua porsi toast dengan olesan selai stroberi dan segelas susu putih.
"Hmm? Harumnya... Kamu masak apa?" Noa datang dengan seragam rapi dan kaus di dalamnya, lalu duduk di kursi sebelah Ayaka.
"Cuma toast biasa."
"Apa pun yang pacarku buat, pasti jadi lebih enak." Ia mencium pipi Ayaka sebelum melahap rotinya.
"Noa?" panggil Ayaka.
Noa berhenti mengunyah. Ia menoleh, merasa atmosfer tiba-tiba berubah.
"Kenapa?" jawabnya setenang mungkin.
"Kita bisa ngomong sekarang?"
Jantung Noa berdegup kencang. Tanda ada yang serius.
"Tentang apa?"
"Kenapa kamu maksa aku jadi pacar kamu?"
Ayaka akhirnya melontarkan pertanyaan yang selama ini mengganggu pikirannya.
Noa terdiam. Menatap Ayaka kosong. Sementara Ayaka balas menatap penuh harap. Ia ingin tahu kenapa Noa tiba-tiba mencium bibirnya dan mengklaim Ayaka sebagai pacarnya. Semua terasa tidak masuk akal—pasti ada alasan.
Termasuk soal permintaan Noa agar Ayaka membuka hati untuknya. Itu pun harus ada penjelasan.
Namun Noa masih bungkam. Dalam hati, ia sedang memaki dirinya sendiri. Pengecut. Tak berani mengatakan alasan sebenarnya. Karena alasannya memang terdengar konyol. Tapi bukankah dari awal semuanya sudah berjalan konyol?
Noa hanya bisa menunduk. Kali ini bukan karena takut, tapi karena ingin menjaga hati Ayaka juga.