5. Hanya Ada Kegelapan di Tengah Lampu Jalanan Redup

68 10 20
                                    

"Ibaratnya lampu jalanan, mereka memang beramai-ramai. Tetapi jarak antar satu sama lain terlalu jauh. Itu sama saja mereka sendirian di tengah gelapnya malam. Lampu jelanan yang redup dan kasihan."

6 Tahun Lalu.

Lentera siang itu habis melaksanakan salat zuhur di mushola bersama Wira dan Jodi, lalu ketigaya melipir ke kantin demi semangkuk kwetiau kuah. Wira asik mengobrol bersama beberapa teman sekelasnya terkait sparing futsal nanti habis sekolah, sedangkan Jodi mengecek ponsel dan hanya Tera yang duduk anteng di kursinya sembari menunggu kwetiau pesanannya datang. Cowok itu memang tak punya teman akrab lain, dirinya juga bukan tipe manusia yang hobi bermain ponsel lama-lama karena matanya bisa kelelahan dan Papa akan mengomel jika Tera tidak dapat menjaga kesehatan matanya.

Lelaki itu pun menoleh ketika kwetiau pesanannya datang. Begitu pula Wira yang sudah selesai mengobrol, serta Jodi yang telah menjauhkan ponselnya.

Jodi menatap Tera yang tengah memisahkan kwetiau serta sayur-sayurannya dengan penasaran. "Kemarin gua liat lo makan permen kapas, Ter. Tumben bener liat lo makan itu permen," ucapan Jodi membuat gerakan Tera dalam menyendok kwetiau terhenti.

Lelaki itu melirik temannya sembari tersenyum tipis. "Ya, gitu," balasnya, tak begitu ingin membahas soal permen kapas lebih lanjut. Sudah beruntung kemarin Lenter tidak ketahuan Ibunya.

Wira agak terkekeh, tangannya tak bisa diam untuk memukul Lentera dengan sedikit keras dan berkata. "Lagian aneh bener beli permen kapas kayak bocah aja lo. Eh tapi, gue jadi pengin permen kapas juga," entah apa Wira memang ingin meledeknya atau hanya ingin mengutarakan keinginannya terhadap permen kapas. Lentera tak menggubris lelaki itu dengan kembali asik memakan kwetiau.

"Oh, iya, Wir. Kemaren lo pulang sama cewek cantik kagak bilang-bilang. Itu temen kelas lo kan, ya?" Jodi memastikan pada Wira yang kini tersedak oleh kuah kwetiaunya yang terlalu banyak bubuk cabai.

Pria berhidung bangir itu tersenyum lebar. "Abis kerja kelompok, Jod. Iya emang temen sekelas gue. Kenapa lo? Naksir?" Wira kini tersenyum-senyum tetapi matanya melirik Lentera yang asik mengaduk kwetiaunya sembari sesekali dia tiup. "Tapi sayang banget, Jod. Lentera udah nge tag duluan dari awal semester!" ledekan Wira membuat Tera yang baru ingin kembali menyuapkan kwetiaunya pun tersedak. Cowok itu menoleh kaget.

"Hah?" sebetulnya Tera tidak begitu mendengarkan pembicaraan dua temannya. Sehingga cowok itu pun bingung, lantas tatapannya jatuh pada Jodi yang memasang senuyum canggung. "Ada apaan? Kenapa? Kok bawa-bawa gu—"

"Fika," Jodi langsung memotong. Tatapanya seperti cowok yang tengah memohon alih-alih dia tertawa kecil. "Tapi gue nggak bakal kalah kalau soal cewek, Ter."

"Apanya?" Tera masih kebingungan. Kepalanya menoleh saat mendengar suara perempuan yang tak begitu asing, berjalan penuh gembira menuju tukang somay dan membelinya dua bungkus. Satu untuk dirinya, dan satu lagi untuk temannya yang ikut mengantre.

Lelaki itu menoleh lagi kala ia mendengar Jodi berbisik.

"Gue suka sama Fika, Ter."

Setelah mendengar itu, entah mengapa Lentera jadi tidak fokus mengerjakan soa try out dadakan di tempat lesnya. Lelaki itu lebih banyak melakukan kesalahan, dan pihak les yang selalu melaporkan apa pun kegiatan Tera di lesnya pun tidak dapat menerima permintaan Lentera yang saat itu sedang begitu panik karena nilai try out Bahasa Indonya 50. Ayolah, ini hanya sekali.

Sekali Lentera membuat masalah. Tolong, jangan membuat Lentera semakin susah.

Di tengah penerangan lampu jalanan kompleks, dengan satu tangannya mengusap lengan tangan lainnya yang membiru beserta lebam di pipi dan ujung bibirnya. Lentera menatap alam semesta penuh prihatin.

GlowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang