Prolog

105 11 0
                                    

Harry Potter © J.K. Rowling

~oOo~


“Mrs Flint, sebuah kehormatan bertemu dengan Anda.”

“Tuan dan Nyonya Higgs.”

Berlian. Gaun mewah. Anggur mahal. Tongkat sihir—dengan permata? Mereka bercanda. Ini keterlaluan.

“Ah, apakah ini Gizella putrimu?” Sebuah tangan menelisik pipi.

Detik berikutnya pasti lontaran kalimat itu.

“Demi Merlin, cantik sekali. Kau yakin dia bukan seorang dewi?”

Tepat, 'kan? Kalimat itu. Kalau dihitung-hitung, hari ini sudah dua puluh sembilan kali.

“Masuk Hogwarts tahun ini, princess?”

Senyum, Giselle. Senyum. Usaha sedikit dan orang-orang ini akan menyukainya. Tentu saja.

“Oh astaga, cantik sekali senyummu. Katakan. Kau mau masuk asrama mana, hm?”

“Slytherin.”

Dua puluh sembilan kali. Merlin akan mengutukku jadi apel kalau aku berbohong sekali lagi.

“Tentu saja Slytherin, Henry. Asrama mana lagi yang pantas untuk kaum Darah Murni yang terhormat?”

Iya. Terserah kau.

“Tepat. Kita semua dari Slytherin.”

Ibuku menyenandungkan kalimat ini semenjak aku lahir. Tak perlu diingatkan lagi.

“Hogwarts memang seharusnya menganut prinsip Salazar Slytherin. Anak-anak Darah Lumpur itu tak seharusnya disejajarkan dengan penyihir terhormat seperti kita.”

Baiklah, aku muak.

“Tak usah khawatir, Teressa. Putrimu takkan ditempatkan di asrama selain Slytherin.”

Jangan mendekat, Nyonya. Aku sudah muak padamu. Astaga...

“Oh, lihatlah anak ini. Betapa Slytherin akan sangat beruntung mendapat putri Darah Murni secantik dirimu, princess.”

Oh, shut up. I ain't your princess.

~oOo~

Ain't Your Princess
© lafillestay

𝐀𝐢𝐧'𝐭 𝐘𝐨𝐮𝐫 𝐏𝐫𝐢𝐧𝐜𝐞𝐬𝐬Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang