Mata turquoise gadis itu berbinar kala sinar cerah matahari pagi menimpa kaca-kaca etalase toko di sekitarnya. Diagon Alley selalu ramai menjelang awal September, penuh dengan anak-anak yang akan memulai atau melanjutkan pendidikan mereka di Sekolah Sihir Hogwarts.
Giselle Flint masuk Hogwarts tahun ini. Dia seorang gadis cantik dengan rambut cokelat ash tergerai dan senyum yang manis, kini sedang bersemangat sekali dengan serincian daftar peralatan belajar yang harus dibelinya.
“Mum, boleh aku beli kucing?” tanyanya seraya mengerling penuh harap pada sang ibu yang tengah memilih-milih batu permata di toko Segala Kilau Victoria Amber.
“Jangan beli di sini, Gizella,” jawab Mrs Flint tanpa menoleh. “Kau tidak tahu kuman macam apa yang hinggap pada hewan-hewan yang dijual di Diagon Alley.”
Bibir Giselle berkedut. Jelas ia tidak suka akan penolakan ibunya. Lebih dari itu, ia sebenarnya sangat bosan dipanggil dengan nama lahirnya — yang kedengaran seperti nama seorang tuan putri kerajaan yang begitu dimanja, meskipun hampir begitu faktanya.
“Memangnya Mum tahu kuman seperti apa yang hinggap pada kalung dan cincin-cincin di toko ini?” desis Giselle. Tapi ternyata telinga ibunya cukup jeli untuk mendengar suara kecil itu.
“Jangan membantah, Gizella. Ayahmu akan marah bila dia tahu kau membeli hewan jalanan,” tegasnya.
“Ah, jangan terlalu keras padanya, Teressa. Dia hanya anak-anak.” Terdengar suara wanita dari balik etalase toko. Seluruh tubuhnya penuh dengan perhiasan yang berkilau, bahkan gaun hijaunya yang melambai juga disulam dengan benang keperakan yang berkelap-kelip.
Wanita itu sedikit menunduk hingga kepalanya sejajar dengan kepala Giselle.
“Gadis cantik ini akan suka dengan kucing-kucing menawan di Magical Menagerie. Mereka menjual banyak,” katanya lembut. Sesaat Giselle seolah terhipnotis oleh mata hijau zamrud wanita itu.
“Tak banyak yang bisa dipercaya di tempat ini, Victoria,” sahut Mrs Flint. “Terakhir kali kulihat seekor kadal berkepala-dua berkeliaran meninggalkan kotoran di jalan. Pastilah penyihir Darah Lumpur rendahan pemiliknya.”
Victoria mengibaskan tangan kanannya ke udara sembari tertawa. “Kau tak akan membiarkan anakmu memelihara kadal, Teressa,” gelaknya. Ia lalu mengusap kepala Giselle penuh sayang, “gadismu hanya ingin seekor kucing. Peter baru mendekor ulang tokonya dan kuyakin hewan di sana telah sepenuhnya dibersihkan.”
Giselle melempar pandang pada sang ibu, berharap mendapat belas kasihan. Lima detik kemudian, barulah Mrs Flint menyerahkan sekantong kecil berisi Galleon kepada putrinya — setelah menghela begitu panjang.
Giselle setengah berlari menuju toko yang terletak beberapa blok dari toko permata Segala Kilau Victoria Amber. Tulisan Magical Menagerie berwarna keemasan terpampang besar di atas bangunannya yang sudah cukup reyot.
Bunyi bel pintu terdengar saat Giselle masuk ke dalam. Manik turquoise-nya seketika menangkap berbagai jenis hewan menakjubkan di dalam sangkar-sangkar yang memenuhi ruangan. Cukup bising karena semua hewan itu bersuara: mencicit, mendesis, dan mengeong.
Tempat itu tidak luas dan cukup sepi pengunjung. Seorang pria berbaju ungu sedang memeriksa seekor burung hantu, di depannya berdiri pria berambut merah menyala yang kelihatannya pemilik si burung. Dua anak laki-laki yang juga berambut merah menyala, dengan wajah identik, tengah mengamati dua ekor musang albino bergulat di satu kandang.
“Taruhan sepuluh Sickle, George, aku pilih yang besar!” seru salah satu dari mereka.
“Yang kecil tak masalah, Fred. Charlie saja selalu kalah kalau dipiting Percy,” sahut kembarannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐢𝐧'𝐭 𝐘𝐨𝐮𝐫 𝐏𝐫𝐢𝐧𝐜𝐞𝐬𝐬
Fanfiction"Untuk apa ingin masuk asrama lain? Slytherin yang terbaik." Terbaik dalam menghafal segala macam hinaan yang ditujukan pada penyihir dari kalangan berbeda, Giselle membenarkan dalam hati. Harry Potter © J. K. Rowling