kabar buruk

7 1 0
                                    


Malam itu langit sangat gelap. Udara terasa panas. Bintang tidak ingin muncul, seperti tau apa yang akan datang.

"Assalamualaikum" tina, tetanggaku memberi salam. Setelahnya ia melengos masuk dan duduk di salah satu kursi dekat jendela.

"Waalaikumsalam" jawabku santai. Tidak kaget dengan kedatangannya. Sebab, kegiatan mampir ke rumahku menjadi rutinitas normal. Pagi, Siang, malam. Walau hanya untuk bertegur sapa sampai mengobrol hingga tengah malam.

"Main engga?" Tanyanya ringan.

Aku menggeleng tanda penolakan karena setelah melirik mama ia memberi kode agar aku mengurungkan niat mainku. "Engga dulu deh" jawabku menyedihkan. Sebenarnya aku ingin main tapi untuk malam ini aku menuruti permintaan mama. Tina mengangguk mengerti. Ia tidak beranjak dari kursinya yang berarti masih ingin menghabiskan waktu bersamaku, di rumahku ini.

-----------

Kami mengobrol cukup lama. Dari hal serius hinggal hal-hal konyol yang terjadi di sekitar ataupun menginggat ingat masa kecil yang kadang, ada perbedaan kejadian dicerita kami masing-masing. Lalu karena kekerasan kepala kami, jadi berujung adu debat yang sangaat tidak perlu.

Rasanya mulut mulai berbusa karena tak henti-hantinya tertawa. Saat kami mulai kelelahan, aku melihat mama sedikit aneh. Ia sibuk dengan hpnya, dan ekspresinya sangat serius dan juga, ganjil.

Aku mendatanginya. Melirik benda pipih itu tapi tidakku temukan jejak informasi sedikit pun. Saat aku ingin berkata-kata, wanita itu terlihat panik. Aku bertanya dan dia berkata padaku sebuah kabar buruk.

"Papa kenapa mah?" Aku mengatakan kata-kata itu berulang kali. Hati ku dingin entah mengapa. Padahal tidak aku ketahui apapun mengenai keadaan pria di bandung itu. Yang pasti, ketika mama mengajakku untuk sholat 2 rakaat, memaksa adikku yang asik bermain dan memintaku untuk mengantar tina pulang, aku pelan-pelan dilanda kecemasan.

"Papa pingsan" ucapnya sangat singkat.

Aku yang mendengarnya membeku, rasa dingin menjalar dari dada ke ujung jari-jariku. Dengan menahan buih air mata, aku berbisik ke tina, memintanya segera pulang.

"Aku pulang dulu" seperti memahami suasana rumah yang memburuk tina dengan hati-hati izin pulang. Aku mengiyakan dengan suara bergetar.

Setelah kepulangan temanku itu, kami dengan sigap mengambil wudhu lalu sholat berjamaah.

Papa kehilangan kesadaran. Aku tidak terlalu paham situasinya. Tapi dengan satu kata saja, aku tanpa sadar paham apa yang akan terjadi.

Wanita itu memimpin doa. Suaranya bergetar, dan bisikan itu perlahan menjadi lirihan. Aku yang mendengarnya tidak bisa tenang barang sedetik pun. Setiap gerakan shalat yang kulakukan, setiap doa-doa yang kupanjatkan menjadi bulir-bulir harapan untuk pria tua yang terbaring jauh di sana. Aku mohon tuhan.

Wanita itu akhirnya menangis. Dan aku pun tak kuasa menahan tangis. Di rakaat kedua aku sudah tidak bisa apa-apa lagi. Rasa sesak membanjiri dada. Kekosongan di kepalaku diisi oleh setiap sekenario buruk. Ingus, air mata luntur membasahi mukena dan setiap inci wajahku.

Kami selesai shalat. Mama dengan tangan bergetar memberi kami yasin satu-persatu. Aku dan adikku membacanya sambil tergugu. Sebab lidah kami rasanya kelu bahkan untuk membaca bismillah. Mama sesekali mengecek handphone, memantau perkembangan kondisi papa dari pesan whatsapp yang dikirim kakak di sana. Aku tidak pernah berhenti bertanya juga di sela-sela panjatan doa ingin tahu apa-apa yang sedang terjadi.

Di ayat keberapa, aku melihat mama tiba-tiba lemas. Andai dia tidak kuat, mungkin akan jatuh pingsan di atas sajadah. Aku melihat sekilas kata-kata yang tertera di benda pipih itu.

"Relakan aja buk"

Air mataku menetes, membasahi yasin yang sendari tadi aku pegang. Tubuhku layu, dan pikiranku sudah tidak bertuan.

"Ma aku ke tina y?" Ucapku gemetar.

Mama mengangguk lemah, aku dengan cepat berlari ke rumah temanku itu, hanya berjarak beberapa meter.

"Assalamualaium" aku membuka pintu. Wajahku menahan nangis. Aku tergugu, tidak bisa berkata-kata padahal ada yang ingin aku sampaikan.

"Kenapa kamu?" Ayah tina menatapku heran "habis berantem sama radit ya" ucapnya serasa terkekeh. Aku menggeleng. Berusaha menahan sesak yang sendari tadi menumpuk.

"Papa meninggal" tangis ku pecah. Tidak ada lagi tetesan diam-diam. Aku sesenggukan.

"HAH!!" wanita yang duduk di depan tv berbalik ke arahku. Wajahnya penuh keterkejutan. Semua orang terkejut akan kabar yang aku sampaikan ini. Yang ku ingat adalah wanita itu langsung pergi ke rumahku. Dan aku berdiam diri di kamar tina.

Aku menangis terus. Kadang melamun, lalu kembali menangis. Ku lihat tina juga seperti menahan tangis. Dadanya kembang kempis, wajahnya ikut berduka atas kehilanganku. Tangannya sibuk mengetik di handphonenya. Entah apa yang dia lakukan.

Aku menangis cukup lama. Sesakali batuk karena memang saat itu aku sedang sakit. Aku melirik ke pojok kamar, gumpalan tissu menumpuk tak karuan.

"Assalamualaikum.." aku mendengar sautan dari luar dan buru-buru keluar rumah. Rupanya anak-anak karang taruna mampir. Mereka mengucapkan bela sungakawa dan kata-kata semangat lainnya. Mataku berair, aku memaksakan senyum.

"Terima kasih kak. Makasih semua" ucapku.

"Santai aja kin" kak zidan memimpin percakapan.

Lama berlalu dan anak-anak karta pamit undur diri. Aku mengantar mereka. Kondisiku sudah tenang sekarang, jadi aku kembali pulang. Setibanya di rumah, mama menyuruhku berkemas, kita akan berangkat ke bandung, ke rumah keluarga papa. Semua tetangga ku hadir. Para bapak-bapak membantu memesan mobil dan ibu-ibu menemani kami di rumah.

Sudah sangat larut. Kami baru tiba di sana. Yang menyambut kami kakak laki-laki ku karena orang rumah sudah terlelap. Aku memasuki rumah, di aula, aku melihat ayah ku terbaring sudah dibungkus kain batik. Tubuhku mendingin. Ku tolak ajakan mama untuk melihat mayatnya tapi pada akhirnya aku bersimpuh di samping pria itu. Mama membuka perlahan setiap lapisan penutup papa. Dan ku dengar bisikan istigfar yang dilantunkan mama ketika tangannya membelai wajah biru papa.

Wajahnya sudah tak bernyawa. Biru, dingin dan kaku. Hidungya peyot juga bibirnya pucat tak berdarah. Aku mengelus plipisnya, air mataku lagi-lagi mengalir tanpa suara. Sudah pergi, sudah mati.

Mama kembali menutup lapisan papa. Kami naik ke atas untuk beristirahat. Esoknya, kami mencoba mengambil keputusan. Apakah harus dimakamkan di sini atau dibawa ke kota di mana kami tinggal. Beberapa kali kami menganti keputusan. Pada akhirnya, kami membawa papa pulang. Setelah mama menangis di pagi hari. Ini keputusannya, aku akan mendukungnya bagaimanapun.

Ah iya, sebelum kembali pulang kami masih menunggu para pelayat. Dari teman papa sampai kerabat. Lalu aku sakit. Menangis tanpa henti selama dua hari itu membuat kepalaku sangat pening dan aku mual juga kesulitan berjalan. Tapi aku tahan dan semua berjalan lancar sampai ke bogor.

Aku terenyuh. Pelayat di rumah ku cukup banyak. Padahal papa jarang di rumah. Teman-temanku juga mereka datang, ikut bersedih juga menenangkan.

Semua berjalan lancar. Papa di kubur, dikumandangkan azan dan kami pulang ke rumah.

"Papa bahagia kok ma" aku berucap. Dia memang bahagia. Akhir-akhir ini semua berjalan baik. Kami tertawa dan bercanda. Mama papa juga jadi romantis.

Semua begitu baik hingga bayarannya sangat mahal.

______________

Koreksi saya bila ada kesalahan;)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 29, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

kabar burukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang