part_13

1.1K 26 4
                                    

Bismillah

    "Menyusu Di Jasad Ibu"

#part_13

#by: R.D.Lestari.

   Waktu yang di tentukan tiba, sesuai janjinya Mas Tio datang ke rumah membawa ibunya serta. Wanita paruh baya dengan mata teduh yang menenangkan.

    Kami menyambutnya dengan makanan ala kadarnya. Seperti biasa, Nisa berada di gendonganku. Bocah bermata bulat itu memang tak pernah mau jauh-jauh dariku.

    "Bu, saya kemari punya maksud untuk melamar Dea, jika Ibu mengizinkan, saya tidak mau berpacaran, atau tunangan. Saya ingin langsung menikah, karena saya seorang duda, saya malu jika nanti jadi omongan tetangga," Mas Tio langsung mengutarakan niatnya. 

    Aku yang mendengar terpelongo karenanya. Menikah? tanpa pacaran? tanpa tunangan? mimpi apa aku semalam jika om-om manise ini ngebet pengen cepet-cepet nikah?

    "Ehm, kalau saya terserah Dea saja, toh yang ngejalani Dea, baik buruknya Dea yang rasakan," sahut Ibu.

    "Bagaimana, Dea, Ibu harap Dea mau menerima anak Ibu, Ibu lihat kamu sudah begitu akrab dengan Nisa. Kasihan jika Nisa berlama-lama tak punya Ibu," ibunya Mas Tio menatapku penuh harap.

     Aku terdiam. Berusaha merangkai kata yang tepat untuk ku ungkapkan. Jantungku berdebar kencang, wajahku bersemu merah. Tak bisa di ungkapkan perasaan kini yang bersarang di hati. Om-om bergodek ini... ah, pesonanya meruntuhkan duniaku.

    "De...?" 

    "Dea," Ibu menjawil tanganku. Menyadarkan ku dari lamunanku. Aku tersentak dan menatap kedua orang di hadapanku salah tingkah.

  

    "I--iya, Bu, saya terima," ku jawab dengan menundukkan kepala. Menyembunyikan wajahku yang bersemu merah.

    "Alhamdulillah," Mas Tio, ibunya dan ibuku berucap serentak. 

    Ibu memelukku erat, ia berbisik tepat di telingaku," selamat mbak jomblo, sebentar lagi sudah ga jomblo lagi," ia tersenyum sembari terkekeh melihat ekspresi wajahku.

    "Sa ae, ni Ibu, makjleb banget omongannya," batinku.

     "Jadi, Bu. Kapan bisa kita laksanakan pernikahannya?" tanya Mas Tio.

      "Secepat itukah?" Aku tak percaya Mas Tio se-ngebet itu mau menikahiku. Apa memang sudah sejak lama ia suka padaku?

    "Ya,lebih cepat lebih baik. Biar aku bisa fokus bekerja dan bisa dengan tenang meninggalkan Anisa pada tangan yang tepat," jawabnya.

    Ku lihat keseriusan di wajahnya. Ya, semenjak Mbak Maya tiada, Mas Tio banyak berubah. Mungkin ia sudah jera memainkan hati wanita, itu juga sebabnya ia tak banyak cerita dan mengumbar manisnya cinta.

    "Bagaimana jika bulan depan saja? Ibu tak perlu repot-repot, makanan kita catering saja, soal tenda dan semua pernak-pernik pernikahan serahkan pada keluarga saya, dan make up serta semua keperluan pernikahan, saya dan Dea yang akan turun tangan," 

    "Ya, baiklah, saya nurut saja," ibu tersenyum penuh arti.

    Aku? jangan tanya bagaimana perasaanku. Kalian tau New York? kota bising dengan deru kendaraan yang tak pernah berhenti, seperti itulah suara hatiku yang amat bising karena saking gembiranya. Gimana ga gembira? tiga tahun jomblo gaes! tiga tahun! tau-tau di lamar gitu, sama om-om manise, kebayang ga bahagianya.

      Setelah menentukan hari dan tanggal, Mas Tio dan ibunya berpamitan. Ia sempat mengedipkan matanya padaku genit,  menyebabkan getaran kuat di hatiku. Aku tertunduk malu, bisa-bisanya nih, om-om membuatku salah tingkah seperti ini.

    "Cie-cie, yang sudah ga jomblo lagi," 

    "Ibukkk!!!"

   ***

    "Saya terima nikah dan kawinnya Dea Sri Wulandari dengan seperangkat alat sholat di bayar tunai!"

   "Wes, toh, ngapalin terus ga berhenti dari kemarin. Ini bukan pernikahan pertama untukmu, Tio," omel Ibu saat melihatku menghapalkan kalimat itu terus menerus.

   "Deg-degan, Bu. Kok seperti pertama ya, Bu. Beda banget waktu sama Desi. Padahal Desi berulang kali ngajak nikah, tapi Tio ga sreg, Bu. Entah kenapa dulu bisa tertarik sama dia dan buat Maya kecewa,"  

    "Sudah lah, Yo. Kamu jangan sesali itu lagi, yang penting sekarang niat awalmu untuk memulai rumah tangga baru, dan ingat! jangan kamu ulangi perbuatanmu yang dulu lagi.  Dea anak baik, hatinya juga tulus. Inget itu, Yo," wanti Ibu.

Aku menghela nafas berat. Ya, kalau Dea bukan wanita baik ga mungkin anakku mau dan nempel sama dia.

Tubuhku tiba-tiba bergidik. Ada getaran halus yang merasuki. Astaga! apa yang terjadi dengan diri ini. Kenapa mengingat gadis lugu itu saja reaksi tubuhku sudah begini. Apa aku jatuh cinta beneran? padahal ini kulakukan untuk anakku saja.

Ya, aku kira tak akan pernah jatuh cinta lagi, apalagi dengan tetangga depan rumah yang kuanggap bocil.

Kehilangan Maya benar-benar jadi tamparan keras bagiku. Apalagi pengkhianatan dengan Desi, itu adalah masa terpuruk dan akan selalu membekas dalam hati.

"Hufffttt," seperti ada bongkahan batu yang menimpa dadaku. Rasanya sesak. Kuraih rokok sempurna di dalam kantong dan memantik api, menghisap rokok dalam dan menghembus asapnya perlahan.

Aku tau Dea tidak suka aku merokok, dan aku berjanji jika nanti sudah menikah dengannya aku akan berhenti merokok.

"Dea...,"

"Yok...Yok. Kamu itu kok kayak ABG sedang jatuh cinta, malu sama umur toh, Yok," tiba-tiba Ibu sudah duduk dihadapanku dengan membawa segelas teh sembari terkekeh.

"Bu, apaan sih," aku membuang pandanganku ke arah lain dan kembali menghisap rokok perlahan.

"Itu, mukamu merah, Yok,"

"Yak-Yok, Yak-Yok. Tio, Bu. Bukan Karyo," aku mencebik.

"Iya, Mas Tio, he-he-he, sebentar lagi tugas Ibu selesai, kamu ada yang urusin, Ibu bisa pulang kembali ke rumah," Ibu tersenyum simpul menatapku.

"Oh, iya. Jangan lupa jamu kuatnya di minum, maklum kamu kan dapet anak gadis, masih ting-ting lagi,"

Lagi-lagi Ibu membuatku wajahku memanas. 'Ada-ada aja Ibu ini, aku kan belum tua banget. Ini lagi hot-hotnya. Walaupun ga minum jamu juga tahan beronde-ronde,' batinku.

"Wes ah, ngelamun terus kamu, Yo... Yo. Ibu ke kamar Anisa dulu. Inget kamu jangan suka merokok, nanti gigimu kuning, mau malam pertama sama om-om gigi kuning bukannya malah romantis, malah bikin keki," Ibu beranjak dan melenggang pergi meninggalkan aku yang bak di sambar petir mendengar ucapan Ibu. Rokok yang baru beberapa kali kuhisap segera kumatikan saat itu juga.

Gegas aku beranjak dan berlari menuju kamar. Langkahku terhenti di depan kaca. Menyunggingkan senyum dan menatap barisan gigi yang tersusun rapi dengan dua gingsul diantaranya.

Beruntung sedari kecil Ibu selalu cerewet dengan perawatan gigiku, aku bisa bernafas lega karena yang di ucapkan Ibu tidak terjadi padaku. Masih putih dan tiada noda, perfect!

'Dea pasti tergila-gila saat malam pertama nanti, aku memang tampan,' bisikku dalam hati.

Eh, Dea? kenapa sejak tadi pikiranku selalu tertuju padanya? apa memang aku benar-benar sudah jatuh cinta?

Menyusu Di Jasad IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang