ǝTHirëǝl
• ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ •"Saya pemilik rumah sejak enam tahun lalu. Dulu rumah ini ditinggali seorang perempuan memang, tapi pemiliknya orang Jakarta." Selepas menyuguhkan teh manis hangat yang dilengkapi ubi goreng, sang pemilik rumah duduk di sofa lain yang berhadapan dengan Airlangga dan Adriana. "Maaf seadanya."
Airlangga tersenyum sopan membalas ucapan pemilik rumah. Ia menatap Adriana, kemudian memberikan kode agar Adriana dapat menanyakan nama pemilik rumah yang lama.
"Apa ibu tahu siapa pemilik rumah yang lama? Sebetulnya kami ada perlu dengan beliau."
"Tidak. Yang saya tahu, pemiliknya orang Jakarta. Katanya pengusaha sukses yang sering keluar negeri, mungkin sudah lupa punya rumah di kampung." Kekehan menjadi akhir dari jawaban wanita yang Airlangga taksir berusia lima puluh tahun itu.
"Kalau perempuan yang dulu tinggal di sini? Itu siapa? Dan apa ibu kenal dengan dia?"
Pertanyaan Airlangga memberondong. Kemungkinan itu adalah Retno, wanita yang menjadi selingkuhan Abikara, tetapi kenapa dia pindah? Apa mungkin Abikara membawanya pergi dari sini? Itukah awalnya Ayunda mengetahui semuanya?
"Saya tidak tahu, ada yang bilang pindah ke Kota. Mungkin ke Kota Gede atau Sleman. Ada juga yang dengar dia pindah ke Surabaya juga ke Jakarta."
Mendengar jawaban itu kepala Airlangga rasanya mau pecah. Jika di Jogja saja sudah begitu sulit, bagaimana ia harus mencari perempuan yang tinggal berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain? Bahunya merosot lemas kemudian mengusap wajahnya dengan kasar.
"Kalau begitu terima kasih informasinya."
Setelah berbasa-basi, mereka berdua pamit dari pemilik rumah yang Airlangga duga ditempati Retno. Adriana memperhatikan, sejak keluar dari rumah itu ekspresi Airlangga menjadi lebih muram dari biasanya.
"Chef Air laper nggak? Makan dulu yuk, Chef."
"Kita langsung pulang saja Adriana. Saya harus ke suatu tempat." Airlangga memencet alarm mobil hingga lampu mobil menyala dua kali sebelum membukakan pintu untuk Adriana.
"Chef Air percaya nggak kalau Chef akan ketemu orang itu suatu saat nanti?"
Adriana memulai percakapan ketika Airlangga tengah menggunakan seatbelt. Laki-laki itu menggeleng, merapatkan bibirnya seolah menolak berkomentar.
"Kalau aku percaya, sih, Chef. Maksudnya, Chef sudah sejauh ini datang dan nggak mungkin nggak akan menemukan apa-apa sama sekali. Meski bukan apa yang Chef tuju, pasti Chef dapat sesuatu yang lebih baik nantinya."
Adriana menggenggam tangan Airlangga yang bertenhger pada stir mobil. Sekali lagi, mencoba menguatkan laki-laki di depannya agar tidak menyerah dengan apa yang terjadi dengan hidupnya.
Perempuan itu tahu betul perihal kehilangan adalah sesuatu yang sulit untuk diterima. Ia pernah merasakannya ketika sang ayah meninggal karena kecelakaan. Oleh karena itu, ia paham sebetulnya yang dibutuhkan Airlangga adalah seseorang yang dapat selalu hadir untuknya.
"Kita mampir ke pantai bagaimana, Chef?"
Pada akhirnya Airlangga mengangguk setuju dengan usulan Adriana. Mungkin, air laut dapat membantu Airlangga mengikhlaskan kenyataan yang sulit ia alami.
"Chef Air tahu? Di sini pantainya beda loh!"
"Setiap pantai sama saja, Adria." Airlangga menjawab malas.
"Tapi ini beda, Chef! Chef air pasti bakal suka!"
Airlangga menaikkan bahunya tidak acuh akan perkataan Adriana. Hanya butuh sepuluh menit mobil Airlangga berhenti di parkiran yang penuh dengan pasir putih. Ia keluar dari mobil dan memakai kaca mata hitam yang ia simpan di dashboard mobil.
"Tempat ini belum sepenuhnya dikelola pemerintah." Komentar Airlangga mengudara ketika selesai membayar uang parkir dan menyusuri jalan setapak.
Adriana bergerak lebih cepat. Ia berlari ke deretan pohon kering yang membentuk jalan, membentangkan tangan dan menghirup udara dengan rakus. Pandangan itu tak lepas dari perhatian Airlangga yang berada di belakang. Laki-laki itu tersenyum ketika mendengar teriakan lega dari Adriana.
Ini aneh. Padahal sepuluh menit lalu Airlangga merasakan bahwa apa yang ia lakukan hari ini dan tiga bulan belakangan adalah suatu kesia-siaan. Namun, melihat Adriana tertawa, ia rasa ini adalah harga yang pantas dibayar.
Kamu tahu, Airlangga? Akan ada saatnya seseorang hadir menggantikan sebuah kehilangan. Menerimanya mungkin sulit, tapi cobalah untuk tidak menolak.
Apakah kali ini Airlangga harus mengikuti apa yang diucapkan Ayunda? Haruskah ia menerima bahwa hatinya kini sudah mulai menerima orang lain dalam hidupnya? Sejujurnya Airlangga masih takut akan hal itu.
Aaaaaaa ... Demi apa ini bab terakhir aku daily update!!
Mulai bulan depan part-nya akan lebih panjang loh! Dan mungkin beberapa pindah ke KBM. Meski aku nggak ikutan pindah hehehee ...
(Karena aku belum punya rumah di sana)
KAMU SEDANG MEMBACA
etherealove ✓
Lãng mạnSelama hidup, Airlangga Sangaji hanya tahu hidupnya sempurna, seolah semua berjalan sesuai dengan kehendak yang ia tentukan. Tanpa tahu, sebuah rahasia disimpan sang ayah perihal sebuah tanda tanya tentang kematian sang ibu. Jogja. Di kota kelahira...