Satu

0 0 0
                                    

Kali ini warna hitam membungkus langit dengan sempurna, rintiknya jatuh secara bertubi-tubi, diiringi gaduhnya dentuman, tak lupa kilauan cahaya merambat dalam hitungan detik. Komposisi pas. Membuat siapa saja mempercepat geraknya mencari tempat berlindung.

"Hai! Kita bertemu lagi" sapa seorang, yang baru saja ikut berteduh.
Aku bungkam
"Ah, iya, panggil aku Daniswara." Ucapnya dengan senyum merekah sembari mengulurkan tangan.
"Berisik."
Setelah mengucapkan kata itu, aku segera berjalan, menerobos hujan. Tidak peduli dengan baju, tas, dan beberapa dokumen di dalamnya. Biarlah itu bisa kutulis ulang.

Diperjalanan pulang, tak henti-hentinya aku merutuki kebodohanku sembari menangis.

Setelah sampai, aku segera membersihkan diri dan segera tidur.

***

"Kak, ayo!" Ucap adik bungsuku.
Ku percepat langkahku menuju mobil. Lalu, aku memilih duduk di kursi depan, menemani Ayah.

Kami akan pindah rumah, bahkan kota. Jauh, ratusan kilometer di sana, ada cita-cita yang harus dicapai-alasan Ayah-.
Sebenarnya, ada perasaan tidak rela meninggalkan tempat dimana aku besar. Tapi, apapun keputusan Ayah, aku rasa itu yang terbaik.

Selama perjalanan, kedua adikku menikmatinya. Mereka bersenandung dengan kerasnya, membawakan lagu salah satu penyanyi cillik.

Abang-abang bakso
Sini mari-mari
Aku ngga beli.

Tidak sopan memang, mengubah lirik aslinya. Tapi, sesekali aku tersenyum dengan tingkah mereka dan ikut bergumam atas lirik yang aku tahu.

Perkiraanku, tak lama lagi kami akan sampai. Melihat penghuni kursi belakang yang sudah habis baterai, kuturunkan kaca mobil, untuk menikmati segarnya udara pedesaan. Sesekali kupandangi bahu jalan sebelah kanan dan kirinya ramai pedagang kaki lima. Fokusku jatuh pada salah satu warung eceran yang ramai pengunjung. Disana aku melihat seseorang yang amat aku kenal.

"Ayah, disana ada Ibu!" ucapku lantang.
Hening
"Ibu senyum ke arah kita! Dia terlihat bahagia bersama teman-temannya, Yah" lanjutku.
Ayah tetap bungkam.
Tanpa basa-basi, aku membuka paksa pintu mobil, berniat membawa Ibu, ikut bersama kami.
Ayah tiba-tiba menghentikan laju mobil.
"Kamu apa-apaan sih, Kak!"
"Kalau kamu jatuh, bagaimana?!" Lanjutnya khawatir.
Aku terdiam, dipikiranku hanya...
"Aku mau jemput Ibu," tegasku.
"Kalau Ayah tidak mau, biar aku yang turun" lanjutku.

Setelah berhasil membuka pintu mobil, tiba-tiba tangan Ayah menggenggamku. Sembari berkata "Ayolah, Kak, jangan main-main. Sebentar lagi kita sampai."
"Ayah, sudahku bilang, biar aku yang turun" jawabku.
"Berkali-kali Ayah bilang, Kak. Segera ...
"Ayah, cepat. Aku mau menyusulnya" potongku, tak mengindahkan perkataan Ayah, sembari terus memandangi warung di seberang sana.

"Kak, Ayah muak! Akhir-akhir ini, kamu tidak pernah dengarkan Ayah!" Ucapnya penuh emosi.
"Kapan aku tidak mendengarkan ucapan Ayah?"
"Ayah menjual rumah tanpa persetujuan aku, meninggalkan kenangan masa kecilku, apa itu tidak mendengarkan ucapan Ayah?"
"Aku juga yang harus merelakan masa remaja, demi menjaga Adik-adik, merapikan rumah setelah pulang sekolah, apa itu ngga cukup? Semua yang aku lakuin berdasarkan kemauan Ayah!" Ucapku menggebu-gebu dengan nada sedikit tinggi dari Ayah.
Plak.
"Ayah tidak mengajarkanmu bersikap tidak pantas" Ucapnya penuh penekanan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 25, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TEMARAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang