Mahkota Bunga

2 1 0
                                    

Huh!
Kerikil kecil yang ditendang Gendis terpental jauh ke semak, diikuti oleh sendal jepit mungil biru muda yang lusuh.

Terpincang-pincang Gendis mendekati semak yang rapat. Matanya mencari-cari. "Kemana sih?" gerutu Gendis. "Harusnya kan di sini."

Dua tangan Gendis bergantian menyibak sesemakan di hadapannya. Mencari ke sana-sini. "Aaarrggh!" Gendis memperhatikan tangannya yang tergores duri dan memerah. Kemarahannya memuncak. 

"Ini salah ibu!" desisnya geram. "Bukan, ini salah anak manja yang selalu cari perhatian ibu!".

Gendis merangsek ke dalam semak, bertekad menemukan sendalnya. Ah, di sana. Saat jarinya menyentuh sendal biru muda itu, mata Gendis terpaku menatap bunga mungil berwarna kuning. Wulan, adiknya, sangat menyukai bunga ini. Dia menyebutnya bunga mahkota, karena Gendis pernah membuatkan mahkota buat Wulan dari bunga itu dulu.

Sontak Gendis berbalik. "Buat apa aku bikinin dia mahkota bunga lagi. Dia makin merasa jadi anak raja nanti." sambil bersungut Gendis melangkah ke luar semak.

Gendis sangat kesal dengan Wulan; adik semata wayangnya. Semua keinginannya makin lama harus selalu dituruti. 

Dulu Wulan anak yang manis, ceria, senang tertawa. Wajahnya yang bulat selalu berbinar gembira. Wulan selalu menunggu Gendis pulang sekolah, kemudian main bersama. 

Harusnya Wulan sekarang sudah sekolah TK, tapi tiap hari cuma di rumah, tidur. Badannya kurus. Jarang tersenyum apalagi tertawa. Lebih sering merengek. Kata ibu Wulan sakit. Kanker darah. Huh! Mana ada kanker di darah! 

Itu cuma alasan. Agar Wulan bisa mendapatkan apapun yang dia suka. Tadi pagi Wulan merebut boneka milik Gendis. Boneka berambut pirang dikepang kesayangan Gendis. Itu pemberian paman Herman yang bekerja di kota Solo untuk ulang tahun ke-8 nya bulan lalu. Dan ibu, malah membela anak tukang merengek itu. Gendis sebal.

Gendis terus berjalan masuk ke hutan kecil di dekat desanya. Berada di antara pepohonan hijau menenangkan hatinya. Dia menghirup napas panjang. Mengisi paru-parunya dengan oksigen bersih yang segar.

Hutan sedang sangat cantik. Bunga warna warni tumbuh dimana-mana. Bunga merah muda ini pasti cantik untuk hiasan mahkota. Tak terasa tangannya memetik beberapa tangkai. Kemudian bunga mahkota kuning. 

Karena tangannya penuh, dia mengeluarkan kantong kresek hitam dari saku celana panjangnya. Dia biasa membawa kantong kresek lemana-mana, karena kebiasaannya mengumpulkan segala sesuatu yang dia suka saat berada dalam hutan.

Sebentar saja kantong kresek sudah penuh. Dia mengalungkan ke pergelangan tangannya. 

Nnnggg! Suara dengungan lebah mengganggu keasikan Gendis memetiki bunga. Dia mengibaskan tangan. Lebah itu tetap berputar-putar. mengelilinginya. Gendis menyerah. Bunga yang dikumpulkan juga sudah banyak. Dia berbalik dan berjalan menuju rumah.

"Gendis! Nduk!" Seorang lelaki paruh baya menyapa Gendis. Badannya masih tegap. Tangan kanannya memikul cangkul di pundak. Kepala lelaki itu memakai topi pipih lebar yang bayangannya menutupi separuh wajahnya. "Metik bunga, Nduk?"

"Iya, Pak De, bunganya cantik-cantik. Gendis dapat banyak." jawab Gendis tersenyum lebar.  Dia memperlihatkan kantong kresek hitam yang disesaki bunga-bunga di pergelangan tangan kirinya. 

"Ah!" Seperti ada jarum yang menusuk lengannya, Gendis menjerit. Lebah hitam itu menyengat punggung tangannya. Perih. Seketika tangannya terasa panas. 

"Kenapa, Nduk?" Pak De Larno bergegas mendekati Gendis. 

Gendis menggeleng, tak mampu menjawab. Kepalanya pening, pandangannya menjadi kabur. Kemudian semua gelap.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 27, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mahkota BungaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang