prolog

787 70 99
                                    

M I S S I L E

#Thriller

⚠️

PERINGATAN!

CERITA INI MENGANDUNG KONTEN SADIS YANG MUNGKIN KURANG COCOK UNTUK SEBAGIAN PEMBACA. 
DIMOHON KEBIJAKANNYA DALAM MEMBACA CERITA INI! 

•///\\\///\\\•

 "Gimana di sana? Udah beres?"

"Yup."

"Oke. Mulai sekarang."

"Menurut lo kalau kita ngelakuin misi ini, Mama bakal ngasih hadiah apa?"

"Mungkin ... tengkoraknya C?"

"Dasar, bodoh."

Terdengar gelak tawa di sebrang telepon. "Omong-omong, waktu kita nggak banyak lagi. Dalam hitungan ke satu, pertunjukan harus di mulai."

"Ya, ya, ya hitung aja."

"Lima ...,"

Kabel terlepas dari stop kontak, membuat seluruh lampu yang ada di sekolah padam.

"Empat ...,"

Di tengah kegelapan koridor kelas, sepasang sepatu bergerak sepelan mungkin tanpa menimbulkan suara dan berhenti tepat di laboraturium kimia.

"Tiga ...,"

"Beres. Tinggal sisanya."

"Dua ...,"

Sebuah pemantik yang menyala jatuh tepat ke dalam botol cairan ethanol.

"Satu ...,"

Dua puluh murid yang ada di laboraturium kimia menoleh dengan netra yang membulat sempurna menemukan kobaran api di bangku belakang—menjadi satu-satunya penerang di kegelapan ruangan.

"Ada yang kebakar!" seru mereka.

Untuk waktu yang singkat, mereka berpikir kalau api itu hanya melahap satu benda di sana. Bisa saja hanya buku paket kimia atau lebih ringan lagi, lembar kerja praktikum dari salah satu peserta. Namun, menyadari nyala api itu semakin dahsyat mereka mulai panik. Dan hanya dalam hitungan detik pula api itu menyebar, seakan mengundang barang-barang di sekitarnya ikut terbakar.

"Ketua!" para murid menoleh ke arah Reza, ketua kelas.

"Kalian keluar!" seru Reza. Kemudian lelaki itu sigap mengambil APAR yang ada di samping pintu. Mendekati api dan mulai menekan tuas hingga isinya menyemprot api. Bukannya mengecil, api itu malah semakin tersulut bahkan nyaris menyentuh jas lab-nya.

"Shit!" Reza berhenti menekan tuas dan mengamati tabung APAR dengan kesal. Alat macam apa ini?! Harusnya api itu mengecil!

"Reza!" teriak Tommy yang ada di depan pintu.

Reza menoleh.

"Pintunya dikunci!"

"Hah?!" Karena tak percaya, Reza pun mendekati mereka dan mencoba membuka pintu. Benar saja pintu itu terkunci rapat.

"Berengsek! Kenapa pintunya dikunci? Woy! Buka!" teriak Reza sambil menggedor pintu. 

Sia-sia saja, tak ada yang datang.

"Minggir!" Reza menyuruh teman-temannya mundur agar ia bisa mendobrak pintu. Selama tiga kali pula ia mendorong pintu dengan tenaga penuh, pintu itu masih berdiri kokoh tak memberi efek apa pun seolah tak membiarkan mereka keluar.

"Biar gue aja."

Reza menepi, membiarkan Tommy yang lebih besar darinya mendorong pintu. Tapi, tetap saja pintu itu tak roboh sedikitpun.

"Ke mana sih si tua bajingan itu? Sengaja banget jebak kita di sini!" umpat Reza.

"Ketua, kita harus gimana sekarang?"

"Jendelanya?"

Seakan pertanyaan itu sia-sia, Reza tahu sendiri jendela lab bagian belakang sekolah ini berukuran kecil. Belum lagi dipasang dengan teralis besi yang ukurannya tidak sepadan dengan tubuh mereka. Reza pun meraba saku jasnya mencari ponsel.

"Sial!" ketusnya lagi, sadar kalau ponsel mereka disita guru kimia sebelum praktikum di mulai. "Ada yang nyembunyiin handphone nggak?"

Gelengan kepala mereka membuat Reza putus asa.

"Nggak ada cara lain, kita dobrak pintunya sama-sama!"

Di tengah-tengah kobaran api yang menyebar ke tirai jendela, Reza menyuruh para siswa untuk mendobrak pintu. Setidaknya bisa mengambil hydrant yang ada di samping ruangan sebelum menelepon petugas damkar. Suasana di ruangan mulai terasa lebih pengap dari sebelumnya. Beberapa gadis terbatuk-batuk dan bersandar pasrah di dekat mereka yang mendobrak pintu. Beberapanya lagi menendang meja-meja yang mulai terbakar—atau benda apa saja di sekitar mereka yang tampaknya mulai terpengaruh dengan api.

Sementara itu, di kejauhan seuntas smirk terbit dari bibir seseorang yang kembali menekan tombol earpiece dan berkata, "Mission completed."

🔥

get ready for chapter 1 ! 🚀

MissileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang