Memotret, tampaknya bukan hal asing lagi bagi lelaki berusia 17 tahun itu, Abima Bawika Virendra. Sudah menjadi hobinya sejak kecil untuk memotret apapun yang menurutnya bisa menjadi potongan cerita yang akan di kenang di masa depan nanti olehnya. Tangannya yang sangat lincah dalam memotret, memilih angle yang bagus lalu menjepret kameranya, tampaknya sudah mejadi hal yang diingat di luar kepala oleh Abima.
"Bim, kamera mu jangan taro situ! nanti kesenggol Bapak lalu jatoh, kamu gak bisa foto apapun lagi nanti!" teriak Pak Janu saat melihat kamera kesayangan anak semata wayangnya itu terletak sembarangan di lantai.
"Iya Pak! sebentar lagi Abim ambil!" sahut Abima dari luar, lelaki itu sibuk mencari benda apapun yang menurutnya bisa di jadikan bahan pemotretannya.
Mendengar teriakan Sang Bapak membuat Abim bergegas masuk ke dalam rumahnya dan mengambil kameranya yang tergeletak di lantai. Sesekali Abima mengusap lensa kamera tersebut dengan kain khusus agar tak merusak lensa kameranya. Jika ditanya seberapa sayang Abima dengan kameranya, ia jelas lebih sayang kamera dibanding Pitut si burung perkutut yang menjadi temannya sejak ia berada di sekolah dasar.
Pitut merupakan teman satu satunya Abima, ia sedikit susah untuk bersosialisasi dengan temannya yang lain. Sungguh mendebarkan rasanya kala ia perlu bertemu dengan banyak orang. Kembali lagi ke awal, jika disuruh menjual Pitut untuk membeli sebuah kamera keluaran terbaru pun, Abima sanggup melakukannya. Tak peduli jika ia tak akan mendapat teman, yang ia perlukan adalah bagaimana cara ia dapat mengingat banyak hal hanya dengan satu benda.
"Mau kemana lagi kamu, Bim? makan dulu sini, kerjaanmu cuma megang kamera aja. Sini makan!" Abima hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tak gatal kala mendengar ucapan Pak Janu yang sibuk menyindir aktivitasnya.
Rasanya waktu berjalan begitu cepat, tak terasa bagi Abima bahwa ia sudah hidup 13 tahun hanya berdua dengan Pak Janu. Seorang Bapak yang terkadang juga bisa menjadi temannya. Tanpa diberitahu, pasti pria paruh baya itu sudah mengerti apa yang terjadi pada Abim.
"Kamu mau foto apalagi, Bim? belakangan ini Bapak sama kamu kan di rumah aja, gak melakukan aktivitas special juga," ucap Pak Janu disela-sela makannya.
"Apa aja bisa Abim foto, Pak. Bahkan Abim bisa saja foto lauk makan hari ini, ayam goreng sambel matah ala Pak Janu, bapaknya Abima, hehe.."
"Ngawur aja kamu, mending kamu main sama temen-temenmu, Bim. Terus foto bareng mereka. Atau engga kamu cari pasangan sana, kesian Bapak liat kamu sendirian gak ada yang ngurus," mendengar ucapan Pak Janu, membuat Abima berdecih kesal. Apakah lelaki itu tak menyadari bahwa ia juga tidak ada yang mengurus? lantas mengapa menyuruh Abima untuk mencari pasangan? aneh.
"Mending Bapak aja sana cari gandengan, kesian banget kena minyak panas udah kayak kena lahar gunung meletus. Kan Abim diurus sama Bapak, kenapa perlu perempuan lain?"
"Sembarangan ini anak kalo ngomong, mulutnya gak pernah diulek bareng sama bawang kamu, ya? Bapak kan bisa ngurus diri sendiri, bisa masak ikan, ayam, yang lainnya juga bisa. Memangnya kamu? disuruh masak telor aja rasanya asin banget udah kayak kebelet nikah aja. Terus juga, emangnya Bapak ngurus kamu sampe tua bangka? aneh juga kamu, Bim." Pak Janu menggeleng, benar benar tak paham lagi dengan kelakuan anak tunggalnya itu.
"Bapak mah, kalo ngomong dibuka semua aib nya Abim, gak mau lagi rahasia rahasia-an sama Bapak. Cih."
"Bim.. Bim.. udah kayak gadis perawan aja kamu, ngambekan gitu."
"BAPAK!"
Pak Janu yang mendengar itu tertawa cukup puas melihat ekspresi wajah Abim yang tampak marah padanya. Ia tau, bagaimana anaknya sama sekali tak bisa marah pada dirinya. Kalaupun Abim marah, beberaa menit setelahnya ia akan meminta maaf lalu mengajak foto bersama atau hal yang lainnya. Menurut Pak Janu, Abim terlalu penyendiri. Bahkan orang yang sulit bersosialisasi pun setidaknya memiliki satu teman untuk bertanya tentang sekolah, namun Abim tak memiliki satu temanpun selain Pitut.
Selang 25 menit, kedua Bapak dan Anak itu kini telah menyelesaikan makannya. Seperti biasa, berbagi tugas pekerjaan rumah, Bapak yang mencuci dan Abim yang akan merapihkan meja setelah makan. Apapun selalu dibagi dua, jika tidak salah satu diantara mereka akan merasa pekerjaan itu tak adil. Sebenarnya, hanya Abim yang akan berkomentar seperti itu.
Kepergian Sang Istri dan Sang Ibu dalam keluarga kecil mereka, benar benar sangat berpengaruh bagi hidup kedua lelaki itu. Menyadari bahwa peran Ibu dan Istri memanglah penting dalam rumah tangga, membuat mereka susah sendiri kala Bu Dania pergi meninggalkan semesta lebih dulu, terlebih lagi usia Abima yang masih sangat kecil waktu itu, hanya berumur 4 tahun. Hal itu cukup meninggalkan luka yang cukup dalam bagi Abim dan Pak Janu, kehilangan perempuan yang berarti membuat mereka berdua takut hal itu terulang lagi dalam hidup mereka, hingga akhirnya memilih untuk menjalani hidup tanpa perempuan manapun.
"Bapak, Pitut Bapak yang kasih makan ya? Abim mau liat hasil foto dulu diatas," tanpa banyak basa-basi Abima langsung berjalan pergi meninggalkan Pak Janu yang masih mengelap tangannya yang basah karena cucian piring.
"Bapak gak mau."
Ucapan Pak Janu barusan membuat Abima terhenti dan segera menoleh kearah Sang Bapak. Dapat dilihat bagaimana Pak Janu meledeknya dan berpura-pura sibuk mengurus bahan makanan yang berada di kulkas. Abim tau, Pak Janu sengaja melakukan hal itu. Pria paruh baya itu ingin Abim tidak meninggalkan banyak hal hanya karena kamera kesayangannya itu.
"Bapak ngasih makan Pitut aja gak mau, kesian anak tiri kita, Pak." cetus Abima saat berjalan mengambil makanan Pitut.
"Anak tiri anak tiri, kamu nanti yang Bapak masukin kandang burung, mau? lagian Pitut itu kan temen mu dari jaman ingusan, masa di lupain, kalau hati mungil milik Pitut terluka gimana? mau tanggung jawab kamu?" omel Pak Janu selagi memandangi Abim yang sibuk memberi makan Pitut dengan tangannya.
"Ah, kata kata Bapak alay banget. Pitut udah kayak gadis perawan yang sensitif aja sampe tergores gitu, orang pernah kabur terus luka luka aja dia masih bisa hidup. Masa karena Abim tinggalin aja sampe harus tanggung jawab, kan Abim gak ngehamilin dia, Pak?" tampaknya Abim menentang perkataan Pak Janu padanya tadi, benar-benar merasa bahwa apa yang dikatakan Pak Janu adalah sebuah perkataan yang cukup aneh jika diucapkan oleh pria berumur 50 tahun itu.
Plak!
Satu pukulan berhasil mendarat tepat pada bokong Abima, pukulan yang selalu Pak Janu beri ketika Abim mengatakan suatu hal yang tidak pernah Pak Janu pikirkan.
"Aduh, Bapak!" teriak Abim karena sedikit terkejut dipukul tiba-tiba oleh Sang Bapak.
"Emang kalau disuruh tanggung jawab itu cuma karena perempuan hamil? kamu mikirnya begitu? jadi kalau misalnya kamu gak sengaja nyerempet orang asing terus orang itu minta tanggung jawab, berarti kamu ngehamilin dia, gitu?"
"Kan biasanya begitu, Pak. Di tv kalau disuruh tanggung jawab itu karena ceweknya hamil, Bapak mah nontonnya jangan dangdut mulu makannya. Sekali-kali nonton bareng sama Abim nonton sinetron, seru, jadi gak norak."
"Oh kamu bilang Bapakmu ini norak?" Pak Janu berkacak pinggang, menatap Abim dengan tatapan bersiap-siap akan melayangkan satu pukulan lagi pada bokong Abim yang selalu menjadi incarannya.
"Loh? Abim gak bilang gitu, Bapak.."
"Terus?"
"Abim cuma ngajak Bapak nonton bareng biar gak norak gitu."
"Ya Tuhan, Abima..." Pak Janu mengusap dadanya beberapa kali, menahan emosi karena kelakuan anaknya yang tak pernah gagal dalam membuatnya darah tinggi.
"Iya Pak? kenapa? Abima makin ganteng ya, Pak?" Abima sibuk merapihkan rambutnya itu, tersenyum beberapa kali memamerkan deretan giginya pada Pak Janu dan mengusap dagunya seolah-olah memamerkan ketampanan yang dimiliki oleh dirinya.
"Bukannya makin ganteng, kamu makin asem aja Bapak liat liat, beneran Bapak masukin kandang kamu, Bim!"
"Salah Abim apalagi, Bapak mah.."
KAMU SEDANG MEMBACA
PHOTOGRAPH - Na Jaemin
FanfictionBagaimana caranya untuk kembali ke masa lalu tanpa harus menggunakan mesin waktu? rasanya mendengar kata 'kembali' saja sudah tidak mungkin. Namun Abima menemukan jawabannya. Memotret, menjadi salah satu alternatif bagaimana kita bisa mengenang poto...