BAB 1

4 0 0
                                    

Suasana Kota Jakarta sore itu tampak mendung, kilatan cahaya memercik bersamaan dengan suara petir. Embusan angin menusuk kulit yang terasa dingin, membuat beberapa insan memutuskan untuk menghangatkan diri mereka dengan secangkir kopi atau teh hangat.

Sepasang kekasih terlihat sedang menikmati waktu kebersamaan mereka di sebuah cafe, lelaki itu menggenggam tangan kekasihnya dengan begitu lembut dan romantis, kata-kata manis pun keluar dari mulut lelaki itu, membuat beberapa pasang mata menatap mereka dengan iri.

Clarissa, perempuan itu hanya bisa tersenyum malu ketika kekasihnya memperlakukannya dengan romantis di depan umum. Tak heran jika dirinya begitu sangat mencintai lelaki itu.

"Yang, kapan sih kamu berkunjung ke rumah, untuk bertemu Mama, Papa?" tanya perempuan itu, yang tak lain adalah Clarissa.

Devano, lelaki itu bungkam. Dia melepaskan genggaman tangan mereka berdua, raut wajah yang tadinya tersenyum manis, kini berubah menjadi tegas dan dingin. Clarissa yang menyadari perubahan itu hanya bisa menghela nafas dengan lelah. Selalu seperti itu, setiap Clarissa menyinggung tentang keluarganya, lelaki itu akan selalu bungkam.

"Kita udah sering bahas ini ya, Yang. Setiap kali di bahas, pasti selalu berakhir dengan pertengkaran." Devano menatap wajah kekasihnya dengan tatapan lelah.

"Tapi sampai kapan hubungan kita ini seperti ini?" tanya Clarissa.

"Kita sudah bersama sejak tujuh tahun lalu, lantas untuk apa lagi di tutupi?" sambungnya.

Devano berusaha menahan amarahnya yang sebentar lagi akan keluar.

"Kamu tahu kan, Yang. Kalau orang tua aku itu tidak mengizinkan anak-anaknya berpacaran. Jadi aku harap kamu bisa mengerti tentang keadaanku ini." ucap Devano dengan lembut, berusaha untuk menenangkan Clarissa.

Clarissa hanya bisa diam, dia tak mengerti akan hubungan yang mereka jalin selama ini. Sejak duduk di SMA kelas tiga, mereka sudah menjalin hubungan rahasia itu. Clarissa bisa memahami jika pada masa itu, Devano-kekasihnya memintanya untuk merahasiakan hubungan mereka dari semua teman-temannya tanpa terkecuali.

Namun, sudah tujuh tahun berlalu, tak ada perkembangan dari hubungan yang mereka rahasiakan selama ini. Meski sang kekasih selalu memperhatikannya dan memperlakukannya dengan romantis, tetap saja semua perempuan akan selalu menginginkan hubungan mereka di publikasikan.

Begitu pula dengan Clarissa, perempuan itu sangat ingin mempublikasikan hubungan mereka ketika mengingat usianya sudah beranjak dewasa dan siap untuk menikah. Tetapi, kekasihnya itu selalu memasang lampu merah ketika dirinya akan mempertanyakan kemana arah hubungan mereka selanjutnya.

Diam dan sabar, lagi-lagi dua kata itu yang menjadi panutannya saat ini. Clarissa yakin jika suatu saat hubungan mereka akan segera berakhir dengan indah, seperti mimpinya.

"Baiklah, aku mengerti."
Devano tersenyum mendengar ucapaan dari kekasihnya itu. Begitu beruntungnya dia memiliki seorang kekasih yang sangat pengertian seperti Clarissa.

***

Hujan turun begitu derasnya membuat para insan enggan untuk keluar dari Cafe itu. Clarissa menatap tempat itu dengan seksama, begitu ramainya Cafe itu sehingga membuat tempat duduk penuh tak tersisa.
Sementara itu, seorang perempuan masuk ke dalam Cafe dengan pakaian yang basah akibat terkena tetesan air hujan. Gerak-geriknya membuat Clarissa memperhatikannya dengan lekat.

"Rania!" Dengan spontan, Clarissa memanggil perempuan tersebut. Dalam hati, dia berharap bahwa dirinya tak salah orang.

Perempuan itu menengok kearah sumber suara.

SerendipityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang