○Angin dan Malam○

7 2 6
                                    

Riuh angin dingin bergegas memberi tanda bahwa peristiwa besar akan terjadi. Bintang perlahan mendekati bulan yang membulat sempurna, menjadikan bulan menjadi purnama.

Angin malam berbau darah menandai adanya pergolakkan kudeta berdarah. Burung hantu pun sudah bertengger di aula istana dan burung gagak bertugas menunggu santapan di luar istana.

Alam sedang riuh dan angin sudah mendinginkan katup bibir untuk menutup rapat dirinya. Dan ini pergolakan hening tanpa perlawanan.

Purnama membentuk lingkaran yang memancarkan cahaya kebiruan, terpantul pada pedang yang menjulang ke angkasa.

"Kau pikir kau bisa terbebas setelah membunuhku?!"

Wanita dengan pakaian lusuh penuh noda cucuran darahnya itu tampak menyinggungkan senyum kemenangannya.

"Tidak. Langit bersamaku, bulan sedang menyaksikan kekejamanmu, dan bintang yang akan memberitahu matahari." Gertaknya menggunakan kekuatan giginya dengan tubuh bergetar dan matanya membulat.

Erangan sakitnya kini memburu membuat urat di lehernya lebih menonjol. Matanya yang bulat sempurna mulai kemerahan dengan bara amarah.

"Omong kosong kau dukun sialan. Tubuhmu akan ku cabik-cabik dan kujadikan makanan anjing di pasar" lantang pria dengan jenggotnya yang mulai memutih dan tajam matanya penuh kebencian.

"Tubuhku akan utuh kembali dan hidup kembali di dalam raga yang akan membalikkan seluruh negeri. Huh! ingat itu."

"Keturunanmu akan mati dalam kesengsaraan, dan mati dalam wujud hancur dan busuk. Dia tidak akan mudah mati, sukmaku melindungi.."

Tssaaak!

Nafasnya tersenggal karena pedang menusuk jantungnya hingga menembus seluruh kulit belakangnya, "Hhuh, matahari aka-hk bangun... kembali.. a-ku bersumpah de-mi.. langit." ucapannya berakhir seraya nyawanya hilang kembali ke langit.

"Omong kosong. Cepat temukan putra Mahkota dan bunuh dia." Titahnya kepada bala tentaranya.

"Ya Tuan!" Serentak prajurit bergegas dan berpencar mencari keberadaan putra mahkota dan menggulingkannya.

Derap langkah dan sepatu kuda terdengar semakin mendekat ke arahnya. Tidak ada pilihan, jubah biru tua dengan lingkar dada yang berukirkan naga emas itu satu-satunya tanda.

Srrraaakk!

Sobekan jubah itu terdengar renyah, seolah replika hatinya ikut tersobek bersamaan dengan sobekan jubahnya.

"Yang Mulia? Apa yang sedang Yang Mulia lakukan?."

Tanya laki-laki dengan pedang di tangannya. Pedang yang sudah membunuh puluhan orang itu masih berbau amis.

"Bokju, tolong jaga anak ini dengan baik. Jangan sampai dunia mengetahuinya." Titahnya yang penuh rasa.

Karisma yang tidak tertutupi oleh gelap malam sedikit pun. Rinai rembulan yang memegang purnama memantul di mata jernihnya. Alisnya yang bak burung camar menggambarkan bahwa sama sekali tidak ada gentar untuk menjemput ajalnya sekali pun.

"Tapi Yang Mulia, bagaimana dengan Yang Mulia. Aku adalah hambamu-"

"Sekarang tuanmu adalah putriku. Segeralah, ini perintah terakhirku." Titahnya merobek sutra ukiran naga emas di dadanya, lalu menyelipkannya di antara bungkusan yang tertutup rapat itu.

"Putriku, betapa hebatnya kamu yang tidak menangis dalam keriuhan ini. Ku harap bangsa ini memelukmu. Jangan maafkan Ayah dan Ibu." Tuturnya yang kemudian mencium dan menyerahkan bungkusan sutra itu pada sosok setia yang menemaninya sampai akhir hayat.

Ada bulir air matanya, jiwanya yang menyimpan khawatir pada bangsa dan kerajaannya. Bahkan, keadilan untuknya dan orang tersayangnya tidak dapat ia lindungi. Setidaknya, ia berhasil melindungi satu-satunya hal yang bisa ia lindungi dengan menukar nyawanya.

HIYAAAAKK!!!!

Dalam satu hentakan, bersamaan dengan gertakan sang tuan, kuda putih itu berlaju seakan siap melompat pada bahaya apapun, kecuali kematian.

Sang Putra Mahkota memukul keras punggung kuda itu yang berakhir membawa pengawalnya pergi menjauh dengan perasaan bersalahnya.

"Bokju, aku percaya padamu." Tuturnya setelah memastikan putri dan pengawalnya hilang dari pandangannya. Kini tugasnya hanyalah menyelesaikan yang bisa ia selesaikan.

Mata bertemu dengan mata, giginya mampu merobek rahangnya sendiri, setidaknya ia harus menyelesaikan urusan istana untuk meminimalisir pertumpahan darah.

"Aku terlahir di istana, maka aku juga harus mati di istanaku." Ucapan itu berupa sumpah sebagai harga nyawanya yang sebanding dengan seluruh bangsa Josoen.

Cahaya merah dan ungu mengelilinginya. Aura disertai sinar aneh itu keluar dari segala arah, membuat matanya bersinar dan semakin bersinar di bawah rembulan yang sempurna. Kupu-kupu merah keunguan terbang mendampinginya, membentuk pesona.

¤ P E S O N A ¤

____


PESONA (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang