○ Busur Panah Merah ○

2 1 0
                                    

18 Tahun Kemudian..

Kicauan burung-burung pagi ini terdengar riang sekali. Rumput pun enggan bergoyang karena memapah sisa bulir hujan yang menerpanya semalam.

Delapan belas tahun sudah, gunung ini dihuni oleh rakyatnya yang melebihi jumlah manusia. Musim dingin telah berlalu, kini musim baru siap menyambut.

Tsaaak!

Anak panah merah itu menembus daun yang masih bertengger di rantingnya, dan tertancap sempurna di batang pohon tepat di belakang daun itu.

Pemilik anak panah itu tidak memiliki ekspresi apapun. Bibirnya yang oranye-kemerahan terkatup sempurna. Hanya ada tatapan mematikan disertai alisnya bak burung camar yang menambah kesan karismanya yang membuatnya bercahaya.

Karisma yang menyelimutinya bak di dalam pelukan Naga yang Agung. Sekali lagi tangan lentiknya kembali menarik busur panah, matanya sama sekali tidak tertutup atau menyipit untuk membidik.

Ia membidik dengan hatinya, menargetkan sasarannya dengan insting kuatnya, menghujami sasarannya dengan keyakinan.

"Haewol, ayah sudah bilang berhenti menggunakan anak panah milik ayah."
Suara dalam itu terdengar begitu datar. Sama datarnya dengan wajah anak gadisnya itu.

"Kau tidak ke rumah bibi Kahi? Disana kau harus menjahit dan menyulam. Dan berhenti mencuri pedang dan panahku, anak nakal." Pandangannya kini jengah, pandangan yang tidak seberapa jelas itu tetap bisa melihat cahaya kemerahan dari putrinya.

"Tidak mau! Aku akan berburu hari ini." Tuturnya sama dengan raut wajahnya. Tampak dingin dan tegas.

"Sampai kapan kau seperti ini? Ayah hanya ingin kau bisa mengerjakan pekerjaan wanita. Hal dasar yang kau abaikan, Haewol."

"Nanti saja. Menjahit dan menyulam tidak membuat kita kaya. Aku akan mendapatkan buruan besar dan menjualnya di pasar hari ini." Tuturnya menyingsingkan lengan bajunya, tegap membenarkan ikatan bajunya di lengan kiri dan kanannya.

"Ayah jangan kemana-kemana, aku akan pulang sebelum makan malam. Dan juga membawakan obat untukmu." Haewol sungguh keras kepala, membuat ayahnya tidak dapat berkata-kata lagi.

"Kau ini, selalu saja melakukan yang hanya ingin kau lakuka- HEI!? kau sudah pergi? Hei! Dasar anak nakal!" Tidak ada kata yang dapat mewakilinya selain kata itu. Ayah sekaligus ibu untuk Haewol tidak muda untuknya.

"Yang Mulia, lihatlah tuan putri. Maafkan hamba yang membesarkannya menjadi kurang ajar." Tuturnya sedikit tersenyum dan juga lirih membungkukkan dirinya, menyapa mentari.

"Haewol, namanya sangat cocok untuknya Yang Mulia. Ia seperti mentari di satu sisi, dan disisi lainnya ia seperti bulan." Gerutunya seraya menghirup udara pagi pegunungan tempatnya menetap setelah insiden itu.

"Mengapa orang sering bingung mempertanyakan ia laki-laki atau perempuan? Jelas-jelas putriku sangat cantik." Ayah tunggal ini memang sedikit cerewet.

"Ya, meskipun disisi lain ia juga tampan. Bagaimana ia bisa mewarisi wajah ayahnya? Yang Mulia Putra Mahkota." Menggerutu pagi-pagi sepertinya memang kebiasaannya.

"Aku harus bisa melihat pesonanya dengan jelas lagi." Kini intonasinya lebih serius, seperti kembali pada dirinya sedia kala. Raut wajahnya tidak hanya sekadar datar, alusnya kini mengintimidasi.

Semenjak kejadian delapan belas tahun yang lalu, penglihatannya perlahan memudar.

○☆○

Ujung matanya yang tajam tp aku memancarkan api, bahkan mata bulatnya tidak redup sama sekali ketika mengarahkan anak panahnya pada salah satu rusa buruannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 11, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PESONA (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang