Cerpen

2 1 0
                                    

Sudah hampir pukul 3 sore, matahari masih saja terik, tapi aku harus bergegas keluar jika tidak Ingin kehilangan kesempatan mendapatkan uang lebih banyak.

Segera kupilih pakaian terbaikku, memakainya dan beranjak ke meja kecil disudut kamar. Di sana terdapat cermin rias yang telah pudar dan retak tapi setidaknya masih bisa kugunakan tuk melihat pantulan wajahku, berbagai alat rias yang sebenarnya sudah layak dibuang itu juga adalah senjataku.

Bagaimanapun dulu aku adalah primadona di tempat ini, disaat tempat inipun masih berjaya. Masih dapat kuingat dan kucium berbagai aroma kejayaanku, panggilan-panggilan sayang mereka yang menggoda dan mengelu-elukan namaku, memperebutkan perhatianku,

"Rianti--kemarilah, duduk disampingku."

"Jangan! Kemarilah Rianti, hari ini pasar sangat ramai, aku membawa uang yang banyak, kesinilah."

"Hei--hei, seberapa banyak uangmu itu, paling juga hanya mampu tuk membeli 1-2 botol minuman, lagakmu saja yang besar, kemari Rianti."

Ya panggilan-panggilan dan perebutan seperti itu sering menghiasi malam-malamku, tak jarang mami harus memanggil centeng-centengnya untuk melerai pertikaian akibat memperebutkanku.

Ah, menyenangkan sekali malam-malam itu, memang adakalanya malam-malam itu melelahkan dan menyebalkan tapi kepuasaan dielukan dan diperebutkan, juga banyaknya uang yang bisa kupakai untuk berfoya-foya sungguh sebanding dengan lelahku menghadapi semua laki-laki itu.

Sekarang semuanya hanya tinggal kenangan yang bahkan tak berbekas. Bagaimanapun aku tak bisa melawan waktu. Tubuhku menua, kulitku yang dulu indah kini penuh dengan kerutan keriput, bahkan aku yang sekarang telah berubah dari sang primadona menjadi nenek bongkok yang buruk rupa.

Begitupun juga dengan tempat ini, berpuluh-puluh tahun yang lalu merupakan lokalisasi berkedok hotel yang cukup megah diantara kios-kios pasar yang reot, tempat laki-laki mencari kebahagiaan, menghamburkan uang yang seharian telah susah payah mereka kumpulkan, tanpa mengingat anak istri di rumah, tapi kini, tempat ini hanyalah hotel tua reot diantara bangunan-bangunan baru yang berdiri megah. Semuanya seakan berbanding terbalik, dulu dan kini.

Tak jarang tikus-tikus got dan kecoa menghampiri kamar reotku, kamar sempit, gelap dan kusam yang sungguh tak layak dihuni oleh sang primadona. Yahhh tapi aku masih cukup bersyukur, aku masih bisa menempati kamar ini. Setidaknya aku tidak luntang lantung dijalan dihari tuaku.

Aku harus bergegas, biasanya pasar akan tutup pukul 4, biarlah sejam saja, aku sudah tidak kuat berjalan dan berdiri lama di teriknya matahari.

Ya, sekarang aku hanya bisa meminta belas kasihan orang-orang yang berlalu lalang di pasar yang terletak sekitar 100 meter dari hotel tempatku bernaung.

Pernah aku mencoba menjajakan jasaku, tapi siapa lagi yang mau pada nenek tua bongkok sepertiku, semuanya menolak.

Terakhir aku melayani lelaki, sekitar 10 tahun yang lalu, anak lelaki bau kencur, anak jalanan yang sepertinya sudah sangat putus asa melampiaskan nafsunya. Hingga nenek-nenek sepertikupun dy mau. Dari layananku itu, dia hanya membayar lima ribu rupiah.

Perempuan di mobil itu sepertinya baik, dy berjilbab lebar. Biasanya orang-orang agamis itu dermawan. Baiklah, begitu ia selesai memarkirkan mobil, aku akan mendekatinya.

'Tuk--tuk--tuk', kuketuk kaca jendela mobilnya, "Nak, ibu mau beli obat bisa tolong ibu?" kuutarakan maksudku dengan suara yang lirih begitu jendela kaca mobilnya telah terbuka, berharap ia menyodorkan beberapa lembar uang miliknya.

Kulihat ia tampak terkejut, mungkin tak menyangka akan ada seorang nenek dengan penampilan yang lebih cocok sebagai pemilik toko di pasar ini datang meminta-minta padanya.

Ia menoleh kepada lelaki dikursi belakang, sepertinya meminta uang kepadanya, tapi si lelaki menolak.

"Maaf ya bu, belum dulu." Itu jawabannya, aku masih berusaha membujuknya untuk memberiku uang, tapi ia tetap menolak.

"Pelit kamu, nanti juga kamu bakal tua!"

Sengaja kuucapkan kata-kata itu dengan ketus, walau dia menolakku dengan santun, aku sangat kesal padanya yang tak memberiku uang, tapi aku lebih kesal melihatnya yang masih muda dan cantik walau tanpa riasan sekalipun.

Segera aku berlalu, aku harus mencari orang lain yang mau memberiku uang dan melupakan perempuan itu yang hanya membuatku semakin mengutuki usia tua ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 04, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

NenekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang