Sore itu, kaki jenjang Shaka membelah trotoar yang ia pijak untuk pertama kalinya sebagai rute lari sore baru. Langit sudah menguning, disekanya keringat yang dari tadi menetes. Lariannya tak berhenti sampai akhirnya ia tiba di pinggir jembatan. Jalanan sore itu lengang, kendaraan jarang berlalu-lalang. Mungkin karena bukan jalan raya.
"Eh, hey!" panggil Shaka.
Ditujukan pada seorang perempuan yang berdiri di pinggir jembatan, jarak dua meter dengannya. Rambut hitamnya yang panjang bersinar seiring sinar matahari melewatinya. Shaka melepas earphone-nya lalu memasukkan mereka ke saku hoodie-nya. Menatap perempuan yang jika tangannya melepas pinggiran jembatan, dipastikan ia akan terjun bebas.
"Hm ..., jadi kamu mau bunuh diri di sini, ya?" tanya Shaka setelah perempuan itu menoleh. Kepalanya menengok ke bawah, terpampang sungai besar di sana.
Lawan bicaranya bergeming bahkan sampai Shaka kembali menatapnya.
Aneh, batin Shaka. Habisnya, mata perempuan yang tengah bersiap untuk loncat ini sama sekali tidak ada raut gelisah, ketakutan, atau putus asa. Seolah kosong, melompong meski Shaka berusaha mengulik ke dalamnya.
Ia maju dua langkah dan perempuan itu langsung bereaksi, sedikit waspada sepertinya.
"Kurang tinggi," kata Shaka. Perempuan itu menatap tidak mengerti. "Kalau loncat dari sini, kurang tinggi. Kamu mau mati, kan? Kalau iya, pindah saja. Jangan di sini," jelasnya.
Lawan bicaranya mengerutkan alis. Menatap dengan tatapan: hah?
"Lagian apa enaknya mati tenggelam, sih? Kamu tahu nggak, kalau mati tenggelam tuh nyiksa banget? Katanya nanti kamu bakal kejang, terus hipoksia. Habis itu masih banyak tahap buat akhirnya kamu mati. Paru-paru kamu bakal keisi sama air. Kamu pikir itu enak?" Shaka menyerocos.
Perempuan itu mengutuk dalam hati. Sumpah, laki-laki di depannya adalah orang teraneh yang pernah ia temui. Ada ya, manusia yang melihat orang lain hendak bunuh diri tapi malah banyak bicara tentang hal seperti itu? Padahal biasanya orang-orang akan mencegahnya.
Bukannya pengen dicegah juga sih, batin perempuan itu.
"Kamu diem terus. Jangan-jangan nggak tahu hipoksia?" Shaka menyipitkan matanya.
"Kamu aneh."
Shaka membuka ponselnya, jemarinya menari di atas sana. Setelah beberapa saat, Shaka kembali bersuara. "Hipoksia adalah kondisi rendahnya kadar oksigen di sel dan jaringan. Akibatnya, sel dan jaringan yang ada di seluruh bagian tubuh tidak dapat berfungsi dengan normal," jelasnya. Kemudian ia memusatkan penglihantannya lagi ke lawan bicara sembari meringis. "Kata Alodokter."
"Kamu aneh," perempuan itu mengulang kalimatnya.
"Saya Shaka, bukan aneh," sanggahnya. "Tapi, kamu juga aneh, nggak sadar?"
"Saya Kala, bukan aneh."
"Jangan ngikutin saya, dasar gak kreatif!"
Kala mendengus kesal. "Kamu aneh banget," katanya. "Biasanya orang bakal panik kalau lihat yang kayak saya."
Kepala Shaka memiring, masih menatap Kala. "Orang siapa? Kayak kamu maksudnya kayak gimana?" tanyanya.
Entah Shaka yang pura-pura bodoh atau memang tidak mengerti yang Kala ucapkan, perempuan itu sendiri tidak mau tahu. Yang ia tahu hanyalah Shaka ini laki-laki yang super aneh. Pegangannya masih kuat pada pinggiran jembatan, belum ada niat melepaskan. Kala menghela napas sebelum menjelaskan, "Ya orang-orang. Biasanya panik buat nyegah kalau ada orang yang mau bunuh diri."
"Oh ...," Shaka manggut-manggut, "memang kamu mau dicegah?"
Mulut Kala tertutup rapat. Ya, nggak juga, ucapnya dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] Untung Kamu Tidak Jadi Mati Kemarin
Teen Fiction"Kurang tinggi," kata Shaka. Perempuan itu menatap tidak mengerti. "Kalau loncat dari sini, kurang tinggi. Kamu mau mati, kan? Kalau iya, pindah saja. Jangan di sini," jelasnya. Alis Kala mengerut mendengar penyataan laki-laki yang baru saja ia temu...